Trans Celebes Bicycle Touring
Desa Suku Bajo Rasa Maldives, Asyiknya Surfing di Internet di Rumah Panggung Atas Laut
Perkampungan Suku Bajo tidak kalah dengan Maldives. Masyarakat hidup di atas lautan, di rumah panggung tradisional yang juga ada jaringan internetnya.
Setelah sukses dengan Tour de Borneo atau Borneo Long Distance Cycling, Tasman Jen (60), personel Trio Lisoi bersama Syaiful (56), Bambang Trave (53) dan Widodo (53), memulai Trans Celebes Bicycle Touring. Empat pesepeda ini akan blusukan di pulau Sulawesi dengan bersepeda sekitar 1.800 Km. Saat ini, mereka sudah sampai di perkampungan Suku Bajo. Berikut catatan perjalanannya yang dituliskan secara bersambung oleh Tasman Jen untuk pembaca Tribun Pekanbaru.
PADA 7 Februari, kami lanjutkan menuju Moutong. Sebelum Desa Ongka, jalan relatif datar dan sepi. Tanjakan mulai terasa 27 Km menjelang Desa Kayu Jati. Dari desa itu kami istirahat di balebale dan makan pisang segar sambil memandang sangarnya puncak Santigi (berasal dari kata Sangat tinggi) yang harus dilewati.
Lebih kurang 4 Km menanjak rasa seperti satu hari perjalanan. Rasa capek terbayar setelah memandang kebawah ke arah Desa Bolano lambunu. Jalan mulai datar hingga kami sampai di desa Moutong. Jam 5 sore kami berhenti dan kami numpang nginap di Masjid Pertamina Moutong.
Baca: Tasman dan Kawan-kawan Berkemah di Teluk Tomini Nan Memesona
Baca: Dari Kecil Sudah Berwajah Imut, Wajar Saja Artis Cantik Ini Jadi Idaman Pria, Bisa Tebak Siapa?
Keesokan harinya, sepeda kami kayuh lagi ke arah utara hingga 100 km dan sampai di Desa Lemito. Di pinggir jalan Trans Sulawesi kami melihat sebuah Masjid Jamik. Disitulah kami numpang nginap. Masjid itu bagus dan terawat. Menurut informasi, masjid ini dirawat dengan hasil kelapa salah seorang jamaah yang sudah neninggal. Sungguh luar biasa harta yang ditinggal manfaat untuk umat. Semoga Allah membalas dengan segala keberkahannya, amiin.
Malamnya kami berempat di jamu makan oleh seorang jamaah Pak Syamsu Rizal yang juga seorang petani jagung. Kami sangat bersyukur karena di daerah itu tidak ada warung makan. Kalau tidak dijamu tentu kami tidak bisa makan malam itu. Inilah cara Allah memberikan rezki pada kami.
Tanggal 9 Februari jam 7 pagi, dari Lemito kami berangkat menuju Merisa. Jalan Trans Sulawesi sepi dari kendaraan. Udara cerah dengan cahaya merah tembaga matahari pagi menambah semangat untuk mendayung sepeda.
Jarang terlihat rumah penduduk. Masuk perbatasan Desa Sejoli (Sulteng), terlihat gapura besar sebagai batas Propinsi Sulteng dengan Sultra. Desa pertama di Gorontalo yaitu Molosipat.
Sepanjang jalan dan perbukitan terlihat tanaman kelapa. Suatu kali kami mampir ke tempat petani sedang membelah kelapa untuk jadi kopra. Lalu kami menanyakan untuk membeli air kelapanya. Di luar dugaan petani tersebut mengatakan airnya gratis sampai berapapun. Karena selama ini airnya hanya dibuang hingga membuat becek dan menggenang di halaman rumahnya.
Baca: Heboh Isu Telur Palsu di Palembang, Kulit Seperti Kertas, Ini Penjelasannya!
Pukul 08.10 pagi kami sampai di pertigaan Desa Torosiaje. Kami mendayung sepeda lagi sekitar 1 Km kedalamnya di pinggir laut terdapat dermaga kecil ke desa. Objek wisata yang unik dan jarang diketahui wisatawan, saat ini ada di depan mata kami. Yaitu perkampungan suku Bajo di atas laut Tomini.
Saya pernah impikan untuk berkunjung ke Maldives, tapi belum kesampaian. Perlu kumpul dana yang aduhai mahalnya untuk ke sana. Tapi sekarang hasrat itu sudah kesampaian. Karena perkampungan Suku Bajo tidak kalah dengan Maldives.
Di sana, masyarakat hidup di atas lautan. Tapi bukan kapal pesiar melainkan rumah panggung tradisional yang di dalamnya dilengkapi fasilitas air tawar dan listrik dan juga ada jaringan internetnya. Sambil saya surfing di ìnternet sesekali merasakan angin semilir di lautan yang dapat membuat saya terbuai akan sentuhannya.
Sehingga saya pun terlena di suatu tempat yang membuat saya berpikir seakan hidup itu selalu dengan kedamaian, kalau hati sedang gundah bisa memandang ke dasar laut yang dalamnya hanya dua meter di situ berkejar kejaran ikan ikan beraneka warna di antara karang laut dengan riangnya.
Ternyata di Provinsi Gorontalo, Kabupaten Pohuwato, Kecamatan Popayato terdapat kampung di atas lautan yang bernama Torosiaje. Kampungnya Suku Bajo yang berada di air laut Teluk Tomini yang berjarak sekitar 600 meter dari daratan.
Torosiaje berasal dari kata "Toro" yang artinya Tanjung, kalau cara pengucapan suku Bugis sebutannya koro dan "Si Aje" yang berarti panggilan untuk Pak Haji yang bernama Patta Sompa, nama warga pertama yang mendiami kampung suku Bajo.
Baca: Pengantin Baru yang Tuliskan Suamiku Selamat Jalan, Inilah Kisah Lain dari Dyah Putri Utami
Mengapa Torosiaje disebut sebagai Kampung Suku Bajo? Menurut penuturan seorang ibu tempat kami nongkrong makan es campur,Suku Bajo sangat dominan dari suku lainnya. Padahal di Torosiaje tidak hanya suku Bajo saja yang hidup disini melainkan ada Suku Bugis, Makassar, Minahasa, Gorontalo, Mandar, Buton, Jawa dan Madura menjadi satu wilayah.
Walaupun berbeda suku tapi mereka hidup rukun satu sama lain. Mayoritas warga di Torosiaje adalah beragama Islam. Penghuni Torosiaje sekitar 1.400 jiwa penduduk, dan saat ini tidak ada izin untuk membuat rumah baru di komunitas itu lagi. Kalau mereka ingin membuat rumah baru dianjurkan di daratan.
Rasanya kita tidak akan menyesal bila sudah sampai di Torosiaje karena keunikan, budaya dan juga cara hidup mereka selama di lautan akan membuat saya merasa puas dengan segala perbedaannya dari yang hidup di daratan. Pengalaman ini sungguh mengesankan.
Pukul 08.30 WITA kami naik perahu menyeberangi hutan mangrove yang berdampingan dengan lautan yang memakan waktu selama 15 menit saja. Jarak yang tak terlalu jauh dengan biaya kapal Rp 5.000 pulang pergi. Sayangnya sewaktu kami bayar mereka tidak mau dengan harga tersebut. Jadi kami akhirnya membayar Rp60ribu untuk 4 orang plus satu sepeda.
Melintasi perkampungan dengan kapal disertai aroma laut yang begitu khas dengan kesibukan penduduk yang hidup di kampung Suku Bajo terlihat normal seperti kita yang hidup di daratan.
Saya lihat ke dasar laut terlihat warna warni koral dan aneka kehidupan laut. Aku merasa mimpi jadi kenyataan sekarang. Jadi aku nggak perlu ke Maldives lagi.
Baca: Istri Opick Meninggal, Ini Permintaan Mulia Istri Pertama Opick Terhadap Wulan
Dari jauh terlihat komunitas rumah rumah diatas laut lengkap dengan dermaga kayunya,perahu kami masuk kebawah kolong-kolong rumah penduduk. Aku ingat film Water World yang dibintangi Kevin Costner.
Penduduk melihat kami biasa biasa saja mungkin mereka sudah terbiasa dikunjungi turis seperti kami. Setelah mengelilingi komunal tersebut lalu perahu motor kami berhenti di dermaga dan kami naik ke jalan kayu yang menghubungkan rumah rumah tersebut. Di komplek tersebut terdapat beberapa jalan atau jembatan kayu dan masing-masing jalan mempunyai nama juga seperti jalanan di darat.
Disana juga terdapat taman kanak-kanak, sekolah menengah dasar hingga sekolah menengah pertama. Bahkan ada juga lapangan untuk bermain bulu tangkis. Sungguh luar biasa kehidupan di lautan yang terlihat sama saja seperti kita di daratan.
Sempat terpikir kalau mereka yang hidup di atas laut tidak akan pernah merasakan bangku sekolah atau mungkin bisa bermain atau oah raga selayaknya kita yang ada di daratan. Hanya saja sepeda kami tidak ada gunanya disini khawatir bersepeda disini bisa masuk laut atau nyeruduk orang.
Persepsi saya selama ini ternyata salah. Kehidupan dilaut sama saja dan tidak ada perbedaan. Hanya tempat tinggalnya saja yang berbeda.
Penduduk di Torosiaje sangatlah ramah dengan segala keaneka ragaman budaya. Anak anaknya sedikit agak pemalu,mereka susah diajak berfoto bersama. Tapi mereka bisa berbaur satu sama lain.
Pekerjaan penduduk Torosiaje mayoritas adalah nelayan kalaupun ada yang petani itu hanya sekedar sampingan saja. Karena menurut mereka menjadi nelayan adalah pekerjaan utama yang selalu mendapatkan ikan setiap saat.
Bahkan ditiap pekarangan rumah pasti ada keramba ikan. Mereka memelihara berbagai jenis ikan. Hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh sebagian untuk diperjual belikan dan sebagian untuk makanan mereka sehari-hari.
Ikan hasil tangkapan tidak pernah mereka simpan karena berapapun hasil tangkapan ikannya akan dengan segera mungkin mereka habiskan saat itu juga.
Kami mampir dan duduk di sebuah kafe Thorsee namanya. Kafenya didekorasi gaya punk. Disitu ada karaoke. Kami pesan kopi disitu dan pelayannya seorang pria muda bertato dan saya coba cari informasi dari dia kemudian saya jalan kepojok lain tidak jauh dari kafe ada masjid dan madrasah. Bangunan ini sepertinya berdiri di darat dan muncul kepermukaan.
Saya coba masuk kesebuah rumah warga yang buka warung dan es campur. Rumahnya bersih dan tentu tidak ada debu sama sekali. Saya pesan es campur,harga Rp5000 per mangkok dari ibu Ani yang ternyata orang Gorontalo dan tinggal di komplek tersebut.
Umumnya rumah-rumah disitu tertata dengan rapi dan sangat bersih. Memang beberapa kali saya masuk ke rumah Suku Bajo tersebut keadaannya selalu rapi dan bersih. Lantai yang saya pijak pun tidak berdebu ataupun terasa kotor. Dari penduduk saya dapat info disitu juga ada penginapan dengan tarif Rp. 100.000 per malam.
Penginapan itu disediakan oleh pemerintah jikalau ada pengunjung yang berdatangan. Kamar disana yang tersedia hanya ada 6 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Kalau pengunjung tidak kebagian penginapan saya rasa tidak perlu khawatir karena mereka bisa menginap di rumah warga dengan harga yang dapat mereka tentukan sendiri. Atau bisa menumpang tidur di masjid seperti gaya kami. Nyari gratis terus, he he.
Jam 12 siang, dengan berat hati kampung Suku Bajo atau surganya di Teluk Tomini ini harus kami tinggalkan. Di siang hari dengan matahari yang makin menyengat kulit kami kembali ke jalan Trans Sulawesi. Sepeda kami dayung lagi untuk meneruskan perjalanan ke arah Marisa yang masih berjarak 70 km lagi. Sore jam 18 kamu sampai di kota Marisa dan menginap di Masjid Jamik. (BERSAMBUNG)