Padang
Ingat Larangan Bercadar di IAIN Bukittinggi, Ombudsman Temukan Keganjilan Kebijakan Rektor IAIN
Ada beberapa keganjilan dari kebijakan Rektor IAIN Bukittinggi yang diduga menyalahi aturan pemberian sanksi kode etik terhadap dosen Hayati.
Laporan Kontributor Tribunpadang.com, Riki Suardi
Tribunpadang.com, PADANG- Meski polemik pelarangan bercadar yang dikeluarkan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar) pada 20 Februari 2018 lalu sudah mereda, namun Ombudsman RI Perwakilan Sumbar tetap menindaklanjuti laporan pengaduan Hayati Syafri yang merupakan dosen di institut yang berada di daerah berhawa sejuk tersebut.
Pasalnya, hingga kini pihak IAIN Bukittinggi tersebut tidak juga memberikan jam mengajar kepada Hayati Syafri.
Dosen bergelar doktor itu dianggap tidak mematuhi aturan yang dikeluarkan pihak kampus, yaitu memakai penutup wajah atau cadar.
Baca: Foto Slip Gaji Guru Viral, Penghasilannya Bikin Gak Nyangka
Baca: Yusril Ihza Mahendra Hadir di Pekanbaru, Begini Jawabnya Saat Ditanya Pilpres 2019
Pelaksana Tugas Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar, Adel Wahidi mengatakan, tadi siang pihaknya sudah memintai keterangan dari Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda, yang datang ke kantor Ombudsman Perwakilan Sumbar.
Keterangan itu diminta, sebut Adel, setelah Ombudsman melakukan pemanggilan terkait dengan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang dilakukan Ombudsman perwakilan Sumbar dalam menyelidiki pengaduan yang disampaikan oleh Hayati tersebut.
"Dari LAHP itu, kami menemukan indikasi dugaan maladministrasi dalam pemberian sanksi kode etik dan disiplin pegawai yang diberikan IAIN Bukittinggi kepada Hayati," kata Adel saat dihubungi kepada tribunpadang.com via handphone, Senin (30/4/2018) malam.
Disebutkannya, ada beberapa keganjilan dari kebijakan Rektor IAIN Bukittinggi yang diduga menyalahi aturan pemberian sanksi kode etik terhadap dosen Hayati.
Di antaranya, soal sanksi yang dijatuhkan Rektor berdasarkan rekomendasi Dewan Kehormatan Dosen (DKD).
Padahal dari temuan di lapangan, DKD tersebut baru dibentuk IAIN Bukittinggi pada tanggal 28 Desember 2017, sedangkan Hayati sendiri mendapat sanksi pertama di tanggal 4 Desember 2017 berupa teguran tertulis dan sanksi kedua pada Februari 2018.
"Seharusnya, DKD ini dibentuk terlebih dahulu dan sanksi untuk Hayati dijatuhkan berdasarkan keputusan DKD. Namun sayangnya, DKD sendiri justru dibentuk setelah pihak IAIN mengeluarkan sanksi pertama untuk Hayati. Selain itu, pihak kampus juga belum mengatur tentang kode etik berpakaian formal sebelum sanksi dijatuhkan," ujarnya.
Oleh sebab itu, sambung Adel, atas dugaan maladministrasi tersebut, Ombudsman Perwakilan Sumbar meminta agar Rektor IAIN Bukittinggi segera mencabut dan membatalkan sanksi yang telah diberikan kepada Hayati, serta memulihkan hak fungsional Hayati sebagai dosen.
"Termasuk memberikan jam mengajar untuk Hayati," ucal Adel.
Baca: Kumalasari Habiskan Miliaran Rupiah Rombak Tubuh Seperti Barbie, Hotman Paris Kaget
Baca: Anak Kecil Tergeletak Pingsan di Lantai Bus Usai Dibanting dan Kepala Diinjak Seorang Pria
Baca: Diupah Hanya Rp 15 Juta, Ternyata Sabu yang Dibawa Kurir KA Bisa Bahayakan 24.500 Jiwa
Kemudian, ketika ditanya berapa lama tenggat waktu yang diberikan Ombudsman perwakilan Sumbar kepada IAIN Bukittinggi untuk membatalkan saksi dan memulihkan hak Hayati sebagai dosen, Adel pun menyebut selama 60 hari.
"Kami berikan waktu 60 hari. Kalau tak dilaksanakan, maka kasus ini akan berlanjut sampai ke Kementerian," bebernya.
Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda yang datang ke Kantor Ombudsman Perwakilan Sumbar mewakili Rektor, tambah Adel, menyebut bahwa IAIN Bukittingi akan menindaklanjuti LAHP Ombudsman.
Bahkan, Syahrul pun menyebut bahwa pihak IAIN Bukittinggi akan menyesuaikannya jadwal mengajar Hayati di semester baru, karena saat ini jadwal semester genap tahun ajaran 2017/2018 masih berjalan.
"Kata Kepala Biro Admisnistrasi yang datang ke sini (Kantor Ombudsman Perwakilan Sumbar) begitu. Mudah-mudahan hasil LHAP ini segera ditindaklanjuti IAIN Bukittinggi," pungkas Adel pada tribunpadang.com.
Sebelumnya, larangan cadar bagi dosen dan mahasiswa dikeluarkan oleh IAIN Bukittinggi melalui surat edaran yang dikeluarkan pada Februari 2018 lalu.
Salah seorang dosen bernama Hayati Syafri kemudian menentang larangan tersebut.
Akibatnya, Dewan Kehormatan Dosen (DKD) IAIN Bukittinggi menjatuhkan sanksi kepada Hayati sebanyak dua kali.
Saksi kedua yang diterima Hayati, yaitu tidak boleh mengajar selama semester genap tahun ajaran 2017/2018, karena dianggap menentang kebijakan kampus yang melarang dosen dan mahasiswa bercadar.
Tak terima dengan sanksi tersebut, Hayati kemudian mengadu ke Ombudsman RI Perwakilan Sumbar pada 14 Maret 2018 lalu.
Baca: Zodiak Ini Nggak Bisa Ngontrol Pengeluaran Alias Boros, Tak Salah Jaga-jaga Mulai Sekarang!
Baca: Rawat dengan Telaten, Bocah Ini Suapi Bubur untuk Neneknya yang Cacat, Lihatnya Bikin Jiwa Bergetar!
Selain Ombudsman, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar juga getol menentang kebijakan yang dianggap keliru tersebut.
Pihak kampus IAIN Bukitinggi yang tak ingin larangan bercadar itu menjadi konflik berkepanjangan, akhirnya mengganti kata cadar menjadi penutup wajah.
Terkait pergantian "kata" tersebut, Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar menulis sebuah kritikan sindiran di akun Facebook pribadinya dengan judul "Bermain Kata Tak Merubah Makna"(*)