Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Mengenal Tan Malaka: Diminta Bacakan Teks Proklamasi oleh Soekarno

1949 Tan meninggal di ujung bedil tentara republik di seputaran Kediri, Jawa Timur.Dan sampai mati, Tan tetaplah Bapak Revolusi yang sunyi.

Wikipedia/Dari Pendjara ke Pendjara
Tan Malaka 

Mengenal Tan Malaka: Diminta Bacakan Teks Proklamasi, Pendiri & Korban ‘PKI’ Hingga Punya Mimpi Ini

TRIBUNPEKANBARU.COM - Sosok Tan Malaka memang seolah menjadi misteri tersendiri dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Dia menjadi konseptor pertama tentang Republik Indonesia, namun, di sisi lain, dirinya seolah 'makhluk gaib' yang sangat sulit ditemui.

Kerap kali dirinya hadir secara diam-diam dalam acara penting jelang kemerdekaan, namun menggunakan nama samaran.

Padahal, Sutan Sjahrir lebih memilih Tan Malaka yang membacakan teks proklamasi, bukan Soekarno.

Bahkan, Soekarno sendiri sempat meminta Tan Malaka untuk menjadi 'cadangan'pembaca teks proklamasi.

Sebab, Bung Karnot takut terjadi sesuatu pada dirinya atau Bung Hatta.

Sebuah permintaan yang dibalas Tan Malak dengan sebuah kalimat yang benar-benar menunjukkan kenegarawanan dirinya.

Berikut ini kisah lengkapnya.

Kala itu Juli 1945, Sutan Sjahrir mencari Tan Malaka karena dianggap sebagai tokoh yang paling layak membacakan teks proklamasi.

Meskipun dikenal juga sebagai tokoh gerakan bawah tanah menentang Jepang, Sjahrir bukanlah sosok yang pantas, karena dia dianggap kurang begitu populer di kalangan masyarakat. Sedangkan Sukarno-Hatta adalah kolaborator Jepang.

Rudolf Mrazek dalam bukunya, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, menceritakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan Sjahrir untuk mencari Tan yang 20 tahun  berada dalam pelarian.

Setelah beberapa kali mencari, Sjharir akhirnya berhasil bertemu dengan Tan.

Tapi upaya Sjahrir gagal, Tan merasa tidak siap untuk membacakan teks proklamasi.

Sebenarnya sangat disayangkan, ketika proklamasi dikumandangkan, tidak ada sosok Tan Malaka di sana.

Apalagi mengingat bahwa konseptor pertama Republik Indonesia adalah Tan, ini tertuang dalam salah satu opus magnum-nya, Naar de Republiek Indonesia, yang ia susun tahun 1925 saat masih di Belanda.

Buku itu selanjutnya menjadi pegangan wajib tokoh-tokoh pergerakan nasional waktu itu, termasuk juga Sukarno.

Tidak bisa hadir saat proklamasi bisa jadi menjadi penyesalan terbesar bagi tokoh sekaliber Tan Malaka.

Meski demikian, bukan berarti dia tidak mempunyai peran penting.

Beberapa literatur mengatakan, bahwa tokoh yang menggerakkan Sukarni dan rekan-rekannya, adalah Tan Malaka.

Waktu itu, 6 Agustus 1945, Tan datang ke rumah Sukarni menggunakan nama Ilyas Husain.

Beberapa tokoh pemuda juga datang. Tak hanya sekali, 14 Agustus, untuk kali kedua Tan datang ke rumah Sukarni, lagi-lagi membicarakan masalah nasib bangsa.

Meski demikian, Tan Malaka tidak bisa seenaknya keluar menampakkan diri, karena dia masih dalam status buron pemerintah militer Jepang.

Sekira tiga minggu selepas proklamasi, Sukarno menyuruh Sayuti Melik mencari Tan Malaka.

Sukarno ingin bertemu karena ia mendengar bahwa Tan tengah berada di Jakarta.

Sebagai bagian dari golongan muda, Sayuti cukup tahu di mana Tan berada. Pertemuan pun diatur sedemikian rupa.

Dalam kesaksiannya yang pernah dimuat di Sinar Harapa 1976, Sayuti mengatakan bahwa Sukarno berpesan kepada Tan untuk mengganti posisi Sukarno jika ada sesuatu terjadi dengan dirinya dan Hatta.

Amanah Sukarno ditanggapi dengan biasa oleh Tan. Itu tertulis dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan, “saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah lama saya idamkan.”

Kemerdekaan tidak menjadikan hidup Tan merdeka, ia tetap menjadi tokoh yang dikejar-kejar, bahkan oleh negara yang dicita-citakannya sendiri.

1949 Tan meninggal di ujung bedil tentara republik di seputaran Kediri, Jawa Timur.

Dan sampai mati, Tan tetaplah Bapak Revolusi yang sunyi.

()

Haji Subagyo I.N, artikel ini pertama kali dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1971 dengan judul asli “Ketemu Alimin dan Tan Malaka”.

TRIBUNPEKANBARU.COM - Untuk kali pertama saya melihat pribadi Tan Malaka ialah pada waktu Kongres Persatuan Wartawan Indonesia, yang diadakan di Solo.

Pada hari kedua, yaitu menjelang penutupan Kongres, di sociteit Mangkunegaran yang konon pada clash ke-II sudah dibumi hanguskan.

Pembicaraan Kongres sudah selesai dan sebagai “gong“-nya segenap hadirin akan diminta mendengarkan pidato Ibrahim Gelar Sutan Malaka.

Orangnya sudah cukup tua, badannya cukup kekar, dalam arti bahwa otot-ototnya masih belum begitu nampak kendor.

Raut mukanya tajam, kulitnya agak kehitam-hitaman.

Tanggapan saya pertama kali: agak malu-malu. Atau bescheiden?

Lama Tan Malaka berpidato. Konon sampai tiga jam.

Dia uraikan pengalamannya selama bertualang meninggalkan Tanah Air, dari satu negara ke negara yang lain, keluar masuk penjara, berebut ulung dengan polisi internasional yang senantiasa mengintip gerak langkahnya.

Yang saya ingat lagi dari pidatonya itu ialah tentang kekuatan umat Islam yang tersebar sejak dari Afrika Utara sebelah Barat, di Maghribi (Maroko) terus kearah Timur ke Libia, ke Tunisia, Mesir, Timur Tengah, India (Pakistan), semenanjung Melayu sampai ke Indonesia.

Menurut Tan Malaka, alangkah hebatnya kekuatan itu apabila dapat dipersatukan.

Tetapi kenyataannya, jutaan umat yang hidup dari Maghribi sampai ke Indonesia itu terpecah-pecah ibaratkan pasir kering.

Hebat sekali! Pikir saya. Dan masih panjang lagi pidato pemimpin komunis yang oleh PKI disebut sebagai Trotzky-ist itu.

Kedua kalinya saya melihat (dan kali ini dekat sekali, hanya dibatasi oleh meja) Tan Malaka ialah di Yogya, di kantor Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia.

Entah siapa dewasa itu yang mengambil prakarsa, tetapi saya mendapat tahu bahwa pada malam itu Tan Malaka akan datang di kantor GPII. Dan benarlah!

Seingat saja yang membuka pertemuan dewasa itu Harsono (Tjokroaminoto) yang kini menjabat Menteri dalam Kabinet Pembangunan itu.

Dengan gaya khas Harsono — kalem, antep, tenang, — dibukalah pertemuan dan mengucapkan terima kasih kepada tetamunya, yang disebutnya Pak Tan Malaka.

Oleh Harsono juga dikisahkan pengalamannya semasa zaman Jepang, sewaktu dia untuk kali pertama melihat Tan Malaka ini.

Yang membawa kerumahnya ialah kakak kandungnya, Anwar Tjokroaminoto. Harsono dewasa itu berdiam di Tanahi Tinggi Galur, sedangkan Anwar di Gg. Kramat Baru.

Kedua kakak beradik itu ketika itu sama sekali belum mengetahui, bahwa orang setengah tua yang menjadi tetamunya itu ialah Tan Malaka, seorang jago pergerakan yang sudah dikenal namanya, karena sebaya dan seangkatan dengan almarhum Ayahnya sendiri Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Soalnya ialah, karena dewasa itu tetamunya itu memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hoesein, seorang pemimpin roomusha dari Bajah, suatu daerah pertambangan di Banten.

Baru setelah menjelang proklamasi, Harsono dari orang lain mendapat tahu, bahwa orang  setengah umur itu sebenarnya adalah Tan Malaka seorang pemimpin yang namanja sudah dikenal sebelumnya.

Kini, karena takdir Tuhan juga maka dia dapat diketemukan lagi berhadapan muka sebagai sesama teman seperjuangan. Demikian antara lain Harsono Tjokroaminoto.

Seingat saya, dewasa itu pertemuan berlangsung tidak begitu lama. Mungkin, karena Tan Malaka masih harus pergi ke suatu tempat.

Maklum, pada waktu revolusi sedang hebat bergolak, dan manusia seperti Tan Malaka itu menurut perasaan saya pada masa-masa semacam itu tenaga dan pikiran serta pendapatnya sangat dibutuhkan.

Jika saja tidak salah tangkap, Tan Malaka (ketika itu) kurang menghargai adanya UNO. Antara lain dia berkata: “UNO, you no!". Dan hadirin yang mengerti bahwa huruf U dalam bahasa Inggeris harus dibaca seperti “yu", tersenyum juga dibuatnya.

Secara kebetulan sekali untuk ketiga kalinya saya melihat Tan Malaka ialah sewaktu di Solo diadakan Kongres Masyumi yang kedua.

Rombongan PP GPII diinapkan dalam sebuah losmen. (Nama dan tempatnya saya sendiri sudah lupa. Yang terang saja bukan hotel atau penginapan yang mewah).

 Di dalam kamar penginapan itu seorang teman menyampaikan kepada saya, bahwa Tan Malaka dan Mohammad Yamin juga kebetulan bermalam disitu.

Apa yang diutarakan teman tadi ternyata betul, sewaktu saya ke luar kamar hendak pergi guna sesuatu urusan, saya melihat Tan Malaka dari luar hendak menuju ke kamarnya.

Sedangkan dibelakangnya berjalan Mohammad Yamin dengan menenteng setumpuk buku.

Baru kemudian (di penginapan itu juga) saya tahu, bahwa buku tadi adalah karangan Mohammad Yamin sendiri.

Namanya (jika tidak keliru): Tan Malaka, Bapak Pergerakan Indonesia. Sampulnya kertas karton putih, untuk zaman itu merupakan produk tipografi yang lumayan juga.

Masih sekali saya melihat Tan Malaka, yaitu di suatu rapat umum di Alun-Alun Utara juga.

Tetapi saya melihat hanya dari arah jauh, kendatipun untuk para wartawan juga disediakan tempat di anggung.

Sejarah berputar terus. Lebih-lebih di daerah pedalaman. Di bagian negara Republik Indonesia yang tidak diduduki Belanda.

Peristiwa demi peristiwa terjadi. Yang satu diikuti oleh yang lain. Yang satu lebih hebat ketimbang yang lain.

Syahrir diculik. Persatuan Perjuangan menuntut diputuskannya perundingan dengan Belanda.

Perundingan Linggarjati, Peristiwa Juli, Pemogokan Delanggu, Pemberontakan Madiun dan seribu satu macam peristiwa lainnya lagi.

Semuanya berjalan dengan kencang dan lajunya. Tiap hari, tiap detik terjadi peristiwa bersejarah, kait berkait, sambung menyambung.

Sampai Belanda menyerbu Republik, Soekarno-Hatta dan pemimpin-pemimpin RI lainnya ditawan.

Sampai perundingan Roem-Royen sampai penyerahan kedaulatan.

Dan pasukan TNI dibenarkan kembali masuk ke kota-kota yang semula diduduki Belanda.

Untuk kali pertama jenderal mayor Sungkono dari divisi Brawijaya mengadakan pertemuan dengan pers di Hotel Oranye Surabaya. Baru saja pasukan TNI memasuki kota tersebut.

Pada kesempatan itu saya ajukan pertanyaan: “Benarkah bahwa Tan Malaka sudah meninggal dunia?". Jawabnya singkat: “Saya dengar memang demikian!".

“Di mana?" “Sepanjang pendengaran saya di suatu tempat di Jawa Timur".

Dan beliau tidak bersedia lagi menguraikan lebih jelas dan panjang mengenai hal itu. Pembicaraan lalu diarahkan ke persoalan lain.

Setengah orang ada yang mengatakan, bahwa Tan Malaka ditembak oleh tentara serta mayatnya dicemplungkan di sungai Brantas.

Setengah orang lagi berteori bahwa yang membunuh Tan Malaka ialah orang-orang PKI.

Sebabnya ialah karena hingga kini tidak ada orang yang tahu di mana kuburnya Tan Malaka.

Oleh PKI memang disengaja hendak dihapus jejak Tan Malaka, sebagaimana mereka juga menghapus jejak dokter Mawardi (Barisan Banteng) yang telah mereka culik dan bunuh di Solo.

Dan kita ingat saja bagaimana orang-orang komunis juga berusaha hendak menghilangkan jejak para jenderal yang telah mereka bunuh pada Hari Naas tanggal 1 Oktober pagi hari itu.

Kuburan mereka hendak mereka tutup-tutupi dan hendak mereka hilangkan, agar khalayak ramai tidak dapat mengetahuinya.

Meneliti praktek-praktek PKI begitu itu orangpun tidak dapat menyalahkan, apabila ada orang yang mempunjai teori bahwa kematian Tan Malaka karena dibunuh kaum komunis juga.

Wallahu'alam bissawab. (Ade Sulaeman)

Mengenal Tan Malaka: Diminta Bacakan Teks Proklamasi, Pendiri & Korban ‘PKI’ Hingga Punya Mimpi Ini

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved