Pesawat Pembom Nuklir China Gentayangan di Atas Laut China Selatan, Jelajahnya Bisa Ke Indonesia
Pesawat pengintai yang dibekali rudal nuklir ini memiliki daya jelajah hingga 6000 kilometer.
Pesawat pengintai yang dibekali rudal nuklir ini memiliki daya jelajah hingga 6000 kilometer. Ia bisa mengitari Jepang, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Kekuatan militer China saat ini tak bisa dipandang sebelah mata.
Saat ini, militer China sudah dibekali persenjataan dan alutsista super canggih, membuat negara lain berpikir dua kali untuk menyerangnya.
Apalagi,baru-baru ini China telah sukses menerbangkan pesawat pembom nuklir jarak jauh H-6K di atas Laut China Selatan.
Hal itu tentunya menggemparkan dunia, termasuk negara-negara yang teritorialnya berdekatan dengan China. Tanpa kecuali Indonesia.
• KISAH Tentara Brunei Darussalam yang Dilatih Kopassus: Jokowi Ajak Sultan Menonton Aksi Baret Merah
• KISAH KOPASSUS Menyelinap ke Sarang GAM: Menyaru Jadi Pedagang Durian hingga Ditampar Aparat TNI
• Mengecoh Patroli TNI hingga Sembunyikan Istri Panglima Musuh, Ini Tugas Berbahaya Intelijen Kopassus
Pesawat pembom nuklir yang diproduksi China berdasar pengembangan dari pesawat Rusia, Tu-16 bermesin kembar itu sempat melaksanakan terbang secara leluasa di atas Laut China Selatan.
Ada kemungkinan berdasar data yang disampaikan oleh Asia Maritime Transparency Initiative, H-6K sempat melintasi wilayah udara Indonesia pada ketinggian 12.800 km (42.000 kaki) sebelum akhirnya mendarat di sebuah kepulauan (Woody Island) yang berada di Laut China Selatan.
Sejauh ini Angkatan Udara China memiliki lebih dari 100 unit pesawat pembom H-6K yang secara bertahap telah di up grade sehingga bisa digunakan sebagai pesawat peluncur rudal jelajah termasuk rudal-rudal nuklir.
Penerbangan H-6K yang bisa memiliki jelajah terbang hingga 6000 km di atas Laut China Selatan, jelas merupakan ancaman serius bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki konflik (overlapping) perbatasan laut dengan China, seperti Jepang, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Baru-baru ini China bahkan melarang kegiatan penangkapan ikan dan penambangan minyak di sepanjang Laut China Selatan, suatu larangan sepihak yang membuat marah negara-negara yang wilayah Zona Ekonomi Eksklusif maritimnya telah diklaim China.
Militer Amerika (US Navy) yang menggunakan jalur Laut China Selatan untuk sarana transportasi kapal-kapal perang di bawah komando Armada Ketujuh US Pacific Command, bahkan sudah sering berhadapan dengan kapal-kapal perang China tapi masih berusaha keras menghindari konflik.
Presiden AS Donald Trump sendiri sudah memperingatkan bahwa kehadiran kapal-kapal perang China ditambah penerbangan ‘provokasi’ pembom nuklir H-6K telah membuat AS merasa ‘ditantang’ untuk menurunkan kekuatan militer yang lebih besar di kawasan Laut China Selatan.
Namun China ternyata tidak gentar terhadap gertakan Presiden Trump karena faktanya kekuatan lautnya kini sudah menguasai kontrol di Laut China Selatan.
Para petinggi US Navy di Asia Pasific, seperti Laksamana Philip Davidson yang akan menjabat Panglima Armada Ketujuh US Pasific Command di waktu dekat, bahkan menyatakan jika saat ini kekuatan laut China ‘sudah sulit dilawan’ oleh AS.
Hingga perkembangan terkini kekuatan AL China terdiri dari 2 kapal induk, 57 kapal selam, sekitar 1000 kapal perang beragam jenis, dan 235.000 personel AL. Sedangkan US Navy 'hanya' memiliki kapal perang sebanyak 475 unit.
Suatu kekuatan militer AL yang memang sulit ditandingi oleh AS. Apalagi dilawan oleh negara berkekuatan AL yang masih ‘kecil’ seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, Jepang, dan Indonesia.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/pesawat-pembawa-rudal-nuklir-china.jpg)