Memanas Akibat China, Ratusan Personil Tiga Matra TNI Dikerahkan, Indonesia Siaga Tempur di Natuna
Pengerahan personel ke Natuna merupakan buntut China yang mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah dari China.
Pengerahan personel ke Natuna merupakan buntut China yang mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah dari China.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I) Laksamana Madya (Laksdya) TNI Yudo Margono, S.E., M.M. memimpin apel gelar pasukan intensitas operasi rutin TNI dalam pengamanan laut Natuna di Paslabuh, Selat Lampa, Ranai, Natuna, Jumat (3/1/2020).
Pasukan yang terlibat dalam apel tersebut berjumlah kurang lebih 600 personel, terdiri dari 1 Kompi TNI AD Batalyon Komposit 1 Gardapati, 1 Kompi Gabungan TNI AL terdiri dari personel Lanal Ranai, unsur KRI Teuku Umar 385 dan KRI Tjiptadi 381, Satgas Komposit Marinir Setengar, serta 1 Kompi TNI AU (Lanud Raden Sadjad dan Satrad 212 Natuna).
Untuk itu, TNI wajib melakukan penindakan hukum terhadap pelanggar asing yang telah memasuki wilayah dan kegiatan ilegal berupa penangkapan ikan tanpa ijin dari pemerintah Indonesia.
Mulai 1 Januari 2020, telah didelegasikan tugas dan wewenang kepada Pangkogabwilhan I untuk menggelar operasi menjaga wilayah kedaulatan Indonesia dari pelanggar negara asing.
Operasi ini dilaksanakan oleh TNI dari unsur laut, udara dan darat.
Di akhir pengarahannya, Pangkogabwilhan I memberikan beberapa perhatian kepada seluruh prajurit TNI yang bertugas, khususnya pengawak KRI dan pesawat udara.
Pertama, agar memahami aturan-aturan yang berlaku baik hukum laut internasional maupun hukum nasional di wilayah laut Indonesia.
Kedua, melaksanakan penindakan secara terukur dan profesional, sehingga tidak mengganggu hubungan negara tetangga yang sudah terjalin dengan baik.
Ketiga, gunakan Role of Engagement (RoE) yang sudah dipakai dalam operasi sehari-hari.
“Diakhir pengarahannya Pangkogabwilhan menekankan kepada prajurit TNI yang bertugas agar tidak terprovokasi dan terpancing dari unsur-unsur kapal asing yang selalu melakukan provokasi apabila ada kehadiran KRI. “Kehadiran Kapal Perang Indonesia adalah representasi negara, sehingga mereka harusnya paham ketika negara mengeluarkan Kapal perangnya bahwa negara pun sudah hadir disitu,” tegasnya.
China terbangkan pesawat pembom nuklir di Laut China Selatan
Dikutip dari GridHot.ID, baru-baru ini China telah sukses menerbangkan pesawat pembom nuklir jarak jauh H-6K di atas Laut China Selatan.
Hal itu tentunya menggemparkan dunia, termasuk negara-negara yang teritorialnya berdekatan dengan China. Tanpa kecuali Indonesia.
Pesawat pembom nuklir yang diproduksi China berdasar pengembangan dari pesawat Rusia, Tu-16 bermesin kembar itu sempat melaksanakan terbang secara leluasa di atas Laut China Selatan.
Ada kemungkinan berdasar data yang disampaikan oleh Asia Maritime Transparency Initiative, H-6K sempat melintasi wilayah udara Indonesia pada ketinggian 12.800 km (42.000 kaki) sebelum akhirnya mendarat di sebuah kepulauan (Woody Island) yang berada di Laut China Selatan.
Sejauh ini Angkatan Udara China memiliki lebih dari 100 unit pesawat pembom H-6K yang secara bertahap telah di up grade sehingga bisa digunakan sebagai pesawat peluncur rudal jelajah termasuk rudal-rudal nuklir.
Penerbangan H-6K yang bisa memiliki jelajah terbang hingga 6000 km di atas Laut China Selatan, jelas merupakan ancaman serius bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki konflik (overlapping) perbatasan laut dengan China, seperti Jepang, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Baru-baru ini China bahkan melarang kegiatan penangkapan ikan dan penambangan minyak di sepanjang Laut China Selatan, suatu larangan sepihak yang membuat marah negara-negara yang wilayah Zona Ekonomi Eksklusif maritimnya telah diklaim China.
Militer Amerika (US Navy) yang menggunakan jalur Laut China Selatan untuk sarana transportasi kapal-kapal perang di bawah komando Armada Ketujuh US Pacific Command, bahkan sudah sering berhadapan dengan kapal-kapal perang China tapi masih berusaha keras menghindari konflik.
Presiden AS Donald Trump sendiri sudah memperingatkan bahwa kehadiran kapal-kapal perang China ditambah penerbangan ‘provokasi’ pembom nuklir H-6K telah membuat AS merasa ‘ditantang’ untuk menurunkan kekuatan militer yang lebih besar di kawasan Laut China Selatan.
Namun China ternyata tidak gentar terhadap gertakan Presiden Trump karena faktanya kekuatan lautnya kini sudah menguasai kontrol di Laut China Selatan.
Para petinggi US Navy di Asia Pasific, seperti Laksamana Philip Davidson yang akan menjabat Panglima Armada Ketujuh US Pasific Command di waktu dekat, bahkan menyatakan jika saat ini kekuatan laut China ‘sudah sulit dilawan’ oleh AS.
Hingga perkembangan terkini kekuatan AL China terdiri dari 2 kapal induk, 57 kapal selam, sekitar 1000 kapal perang beragam jenis, dan 235.000 personel AL. Sedangkan US Navy 'hanya' memiliki kapal perang sebanyak 475 unit.
Suatu kekuatan militer AL yang memang sulit ditandingi oleh AS. Apalagi dilawan oleh negara berkekuatan AL yang masih ‘kecil’ seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, Jepang, dan Indonesia.
(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/apel-pasukan-gabungan-tni-terintegrasi-natuna.jpg)