Emosi China Mendidih, Amerika Serikat Malah Suplai Taiwan dengan Torpedo Mematikan Penghancur Kapal
China pun kini nampaknya makin emosi melihat Taiwan dengan Amerika Serikat kian mesra dari hari ke hari.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Konflik nampaknya tak bisa dihindari lagi.
China pun kini nampaknya makin emosi melihat Taiwan dengan Amerika Serikat kian mesra dari hari ke hari.
Diketahui Taiwan, negara yang memiliki nenek moyang sama dengan China ini tak mau jika mereka jadi satu dengan Negeri Tirai Bambu.
Presiden Tsai Ing-wen bahkan secara terang-terangan menegaskan jika Taiwan merupakan negara merdeka, bukan bagian dari China.
"Kami sudah menjadi negara merdeka dan menyebut diri kami Republik Taiwan," tegas Tsai pada Januari 2020 silam kala China selalu menekan kedaulatan negaranya seperti dikutip dari Asia Nikkei.
Mengutip Reuters, Kamis (21/5/2020) Amerika Serikat (AS) yang mendukung Taiwan lantas bergerak cepat demi membantu sekutunya itu.
Bantuan ini diwujudkan dimana Kongres AS menyetujui penjualan torpedo ke Taiwan senilai 180 juta dolar AS (Rp 2,66 triliun).
Torpedo berjenis MK-48 Mod6 Advanced Technology Heavy Weight memang sengaja dijual ke Taiwan agar angkatan lautnya mampu menjagal kapal induk China Liaoning.
AS berdalih penjualan ini merupakan "upaya berkelanjutan Taiwan untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya dan mempertahankan kemampuan pertahanan yang kredibel".
Tentu penjualan ini membuat Beijing panas.
Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan AS (DSCA) menyatakan jika Deplu AS membenarkan penjualan senjata strategis ini.
"Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan memberikan sertifikasi yang diperlukan untuk memberi tahu Kongres tentang kemungkinan penjualan tesebut," kata DSCA, Rabu (20/5), seperti dikutip Reuters.

(*)
Lecehkan Amerika Serikat, Negara Donald Trump Siapkan Kapal Induk Theodore Roosevelt Lawan China
Konflik dan panasnya hubungan antara Amerika Serikat dan China sudah terjadi dalam beberapa waktu belakangan.
Kali ini Amerika Serikat (AS) pun tak tinggal diam.
Ya, AS akan kembali melayarkan kapal induknya, USS Theodore Roosevelt pada pekan depan atau mulai bersiap akhir pekan ini, setelah hampir dua bulan absen.
Sebelumnya sejumlah kapal perang neagara yang dipimpin Donald Trump itu terpaksa harus menepi ke pelabuhan karena lebih dari 1.000 awaknya dinyatakan positif terinfeksi virus corona.
Hal itu dikatakan para pejabat Angkatan Laut AS pada hari Selasa (19/5/2020) seperti dilansir Foxnews.com.
Sejak kapal-kapal perang AS menepi di pelabuhan karena corona, China tampaknya telah mengambil kesempatan itu dengan meningkatkan pelecehan terhadap militer AS dan sekutu regionalnya di tengah pandemi global tersebut.
Kapal induk bertenaga nuklir ini ditambatkan di Pulau Guam, Samudara Paisifik, namun selama berada di Guam, justru militer Tiongkok memperlihatkan perilaku berisiko, menurut seorang pejabat senior Pentagon.
Sejak pertengahan Maret lalu, bersamaan dengan waktu kapal induk AS ditarik ke Guam, jet tempur China telah melecehkan pesawat pengintai AS setidaknya sembilan kali di Laut China Selatan, menurut Wakil Asisten Sekretaris Pertahanan Reed B.Werner untuk Asia Tenggara dalam sebuah wawancara dengan Fox News.
Perilaku provokatif China tidak terbatas di udara, tapi kapal perusak berpeluru kendali yang berpusat di Jepang, yakni USS Mustin bulan lalu juga mengalami pelecehan di dekat sebuah rombongan Kapal Induk China yang tengah berpatroli di Laut China Selatan.
Sebuah kapal pengawal China bermanuver dengan cara yang tidak aman dan tidak profesional di sekitar kapal perang AS.
Werner mengatakan, pihaknya menilai aksi China tersebut sudah masuk tahap mengkhawatirkan. Pemerintah AS telah mengajukan pengaduan resmi atas aksi yang tidak aman melalui saluran pribadi.
Namun Werner mengatakan, pihak terus melihat perilaku destabilisasi China di Laut China Selatan selama pandemi virus corona.
"Saat negara-negara lain fokus membenahi kondisi dalam negeri, China justru fokus ke luar," tuturnya.
Pekan lalu, Angkatan Laut AS mengirim kapal perang litoral Gabrielle Giffords di dekat anjungan minyak dan gas di Malaysia setelah dilecehkan oleh kapal riset milik pemerintah China dan kapal perang lainnya.
China telah berdiskusi dengan anggota Asean mengenai kode etik yang mencakup sebagian besar di Laut China Selatan. Namun Werner mengatakan, Pentagon tetap skeptis mengenai kesungguhan China dalam perundingan tersebut.
"Mereka (China) terus mengintimidasi dan menggertak orang lain," katanya.
Ia mengatakan Beijing telah melanggarkan janji Presiden China Xi Jinping di Gedung Putih pada 2015 untuk tidak melakukan militerisasi di Pulau-Pulau buatan manusia di Luat China Selatan.
Werner juga mengatakan armada kapal penangkap ikan China menuju semakin jauh ke arah selatan dalam lima tahun terakhir dari rantai pulau Paracel yang disengketakan di Laut China Selatan hingga Kepulauan Natuna dekat Malaysia dan Indonesia.
Werner menuduh Beijing melakukan perilaku pemaksaan, destabilisasi, dan ekstraktif komersial di Asia Tenggara.
Sejak Theodore Roosevelt tiba di Guam, Angkatan Laut AS telah mengirim lebih banyak kapal perang ke Laut Cina Selatan di dekat pulau-pulau yang diperebutkan China dan Angkatan Udara telah menerbangkan pesawat pembom B-1.
Kapal serbu amfibi Amerika baru-baru ini bergabung dengan kapal penjelajah berpeluru kendali Bunker Hill serta kapal fregat Australia untuk operasi di Laut Cina Selatan.
Saat ditanya apakah Pentagon akan mendukung rencana anggota parlemen dari Partai Republik, Mac Thornberry untuk meluncurkan dana kontra-China baru senilai US$ 6 miliar per tahun, mirip dengan European Deterrence Initiative yang didirikan pada 2014 untuk melawan Rusia, Werner mengatakan, "Saat ini, kami mendiskusikan masalah ini di dalam departemen”.
Dalam sebuah laporan baru-baru ini di The Times, para pejabat pertahanan AS dikutip secara anonim mengatakan pasukan Amerika akan "kewalahan" menghadapi China dalam pertempuran laut dan tidak dapat menghentikan invasi ke Taiwan.
"Setiap simulasi yang telah dilakukan melihat ancaman dari China pada tahun 2030 semuanya berakhir dengan kekalahan A.S.," ujar Bonnie Glaser dari Pusat Pemikir Strategis dan Studi Internasional (CSIS) Washington mengatakan kepada The Times.
(*)
