Berkontribusi Besar Dalam Penyelamatan Ekosistem Gambut, BRG Diharapkan Bisa Terus Hadir
BRG bekerja secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Karena tak main-main, BRG langsung bertanggung jawab ke presiden.
Penulis: Rizky Armanda | Editor: M Iqbal
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Kontribusi Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam melindungi ekosistem gambut, sangat berdampak besar.
Tak bisa dipungkiri, sejak resmi dibentuk pada 6 Januari 2016 silam melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, BRG langsung tancap gas, bekerja dengan keras dalam mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak, terutama akibat kebakaran dan pengeringan.
BRG bekerja secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Karena tak main-main, BRG langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Prof. Dr. Ashaluddin Jalil, pakar pemetaan sosial dan kelembagaan menilai, sejak BRG dikukuhkan oleh Presiden Joko Widodo, semua orang sudah mulai memandang. Bahwa gambut memang harus diselamatkan.
"Cara menyelamatkan gambut itu, yakni dengan merestorasi. Ini bahasa science. Masyarakat bertanya, seperti apa? Artinya menjaga gambut supaya tidak rusak. Caranya bagaimana? Nah ketika BRG muncul khususnya di 7 Provinsi yang menjadi fokus, termasuk Riau, mulai ada intensitas, pandangan, perhatian, dan kepedulian terhadap gambut, itu sudah mulai kelihatan," ungkap dia saat diwawancara, Kamis (16/7/2020).
Dia melanjutkan, kehadiran BRG yang peduli akan gambut, secara masif sudah ikut menyadarkan banyak pihak.
Diantaranya para pemerhati lingkungan, pegiat lingkungan, pejabat, tokoh-tokoh utama publik, termasuk masyarakat.
Bahwa semua elemen harus ikut serta dalam upaya penyelamatan gambut lewat skema restorasi. Karena jika tidak, maka akan muncul suasana hebat masa lalu, yaitu kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
"Maka diharapkan BRG bisa hadir terus. Karena pekerjaan merestorasi itu bukan pekerjaan sebentar. Tapi perlu waktu, sangat lama. Bahkan Jepang yang hanya tidak sampai 100 hektare (gambut), itu minimal 20 tahun mereka lakukan. Apalagi kita yang jutaan hektare. BRG baru 5 tahun," ucapnya.
Menurutnya, ketika BRG mulai melakukan restorasi, sebagian masyarakat masih bertanya. Seperti apa seharusnya melakukan restorasi terhadap gambut.
"Ketika kita bincangkan masa lalu, ketika hutan masih ada, gambut masih bagus. Mereka mencari kehidupan di hutan. Sekarang hutan sudah menipis, gambut gampang dibakar, apa yang harus dilakukan? Masyarakat bilang harus dijaga. Ya itu, lewat BRG, mulai diperkenalkan berbagai upaya. Kita tanami kembali gambut, membuat sekat kanal, kita lakukan pembasahan," jelas Prof Ashaluddin Jalil yang juga mantan Rektor Universitas Riau ini.
Bahkan hebatnya kata dia, upaya itu juga diiringi dengan dibukanya peluang bagi masyarakat untuk menambah penghasilan lewat skema menjaga gambut.
Disinggung kinerja BRG di Bumi Lancang Kuning, Prof. Ashaluddin Jalil menyatakan sudah sangat baik.
"Karena pegiat lingkungan mulai banyak, masyarakat mulai sadar, bahkan masyarakat peduli api (MPA) itu, biasanya mereka yang hanya terus memperhatikan kawasan itu (gambut), tapi sekarang sudah ada yang membentuk kelompok untuk mengolah lahan bagaimana menjaganya, melakukan kontrol, melakukan usaha bersama. Ini sudah memberikan nilai positif," urainya.
Khawatirnya disebutkan Prof. Jalil, apabila tidak ada lagi BRG, yang juga secara langsung program-programnya menyentuh ke masyarakat, maka semangat untuk menjaga gambut akan melemah.
