Ringkasan Isi Omnibus Law UU CIpta Kerja: Inilah Beberapa Pasal yang Ditolak & Berdampak bagi Buruh

Hal itu disebabkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, dinilai akan membawa dampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh.

(Mubarok/FSPMI)
Aliansi Buruh Banten Bersatu tidak mendapatkan izin melakukan aksi penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja di DPR 

Secara keseluruhan, ada 11 klaster yang menjadi pembahasan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yaitu: Penyederhanaan perizinan tanah Persyaratan investasi Ketenagakerjaan Kemudahan dan perlindungan UMKM Kemudahan berusaha Dukungan riset dan inovasi Administrasi pemerintahan Pengenaan sanksi Pengendalian lahan Kemudahan proyek pemerintah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sementara itu, seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (6/10/2020) UU Cipta Kerja, yang baru saja disahkan, terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.

Di dalamnya mengatur berbagai hal, mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Isi lengkap RUU Cipta Kerja (kini sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja) bisa diunduh di laman-laman berikut:

RUU Cipta Kerja (Baleg DPR PDF) RUU Cipta Kerja (Google Drive PDF) Surat Presiden Jokowi untuk pengajuan RUU Cipta Kerja (PDF) Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF I) Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF II)

Dampak bagi buruh Kompas.com mencatat beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59)

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

2. Hari libur dipangkas (Pasal 79)

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas.

Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved