Polri Dilaporkan Lakukan Dugaan Pelanggaran Ham Berat, KAMI Lapor ke Komnas HAM
Tim Advokasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) melaporkan institusi Polri kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
TRIBUNPEKANBARU.COM - Diduga lakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Polri dilaporkan ke Komnas HAM.
Tak main-main, Polri dilaporkan karena dugaan pelanggaran Ham berat.
Tim Advokasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) melaporkan institusi Polri kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dugaan pelanggaran HAM terjadi dalam proses penangkapan tiga petinggi KAMI, yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.
Koordinator Tim Advokasi KAMI Abdullah Al Katiri menjelaskan kronologi penangkapan tiga petinggi KAMI, yang mengindikasikan ada sejumlah pelanggaran HAM berat oleh Polri.
Al Katiri menilai Polri telah mengganggu tempat tinggal dan atau kediaman para pejuang dan jejaring KAMI di daerah, dengan memaksa dan menerobos masuk ke dalam rumah.
Itu terjadi ketika Polri berupaya mengamankan Anton Permana, Jumhur Hidayat, dan Syahganda Nainggolan di kediamannya masing-masing.
"Ketika memasuki kediaman Saudara Anton Permana, teradu (Polri) memanjat pagar dan memutus/memotong jaringan kamera CCTV," ungkap Al Katiri di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Selanjutnya, saat memasuki rumah dan kamar pribadi Jumhur Hidayat, polisi menggedor dan melakukan cara paksa untuk masuk ke kediaman Jumhur Hidayat.
Saat itu istri Jumhur bahkan sempat meminta waktu untuk ganti pakaian, namun tidak diperkenankan.
"Tragisnya saat Saudara Moh Jumhur Hidayat meminta waktu untuk mengambil obat karena sedang sakit parah pasca-operasi batu empedu yang dilaksanakan sehari sebelumnya," bebernya.
Al Katiri mengatakan, dalam kondisi luka jahitan yang masih basah, Jumhur Hidayat digelandang petugas Polri.
Bahkan saat itu infus masih menempel di tubuh Jumhur Hidayat.
"Bahwa teradu menginjak atau memasuki pekarangan tempat kediaman para pejuang KAMI dan jejaring KAMI di daerah dengan cara yang tidak patut."
"Dan bertentangan dengan kehendak yang bersangkutan," tuturnya.
Baca juga:
Mau Masuk Riau? Suhu Tubuh Pengendara dan Penumpang Harus Normal, Kalau 37 Derajat akan Rapid Test
Jalan Amblas, Pengendara Bisa Melintas Lewat Desa Pulo Godang atau Lipat Kain
Bukti Cinta Arie Untung Terhadap Islam, Tas-tas Mahal Harga Ratusan Juta Produk Perancis Ia Buang
Tim Advokasi KAMI juga menilai Polri telah merampas kemerdekaan dan privasi para pejuang dan jejaring KAMI di daerah.
Dalam hal ini, Polri mengakses akun medsos milik para pejuang dan jejaring KAMI di daerah, tanpa seizin yang bersangkutan.
Kemudian saat Polri menampilkan dan mempertontonkan para pejuang dan jejaring KAMI di daerah, dalam jumpa pers dengan media beberapa waktu lalu.
Jumpa pers itu disiarkan secara luas, menampilkan tiga petinggi KAMI Itu dalam kondisi tangan diborgol.
"Itu melanggar prinsip asas persamaan hak warga negara di depan hukum atau equality before the law."
"Dan bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah presumption of innocent dalam praktek hukum yang berkeadilan," jelas Al Katiri.
Al Katiri menjelaskan, ada kejanggalan dalam proses penangkapan Syahganda Nainggolan jika dilihat dari dimensi waktu.
"Dasar laporan polisi (LP) tanggal 12 Oktober 2020 dan keluarnya sprindik tanggal 13 Oktober 2020."
"Sementara penangkapan dilakukan beberapa jam kemudian pada hari yang sama tanggal 13 Oktober," beber Al Katiri.
Al Katiri menjelaskan, jika melihat dimensi waktu ini, penangkapan Syahganda Nainggolan jelas tidak lazim dan menyalahi prosedur.
Hal ini berdasarkan pasal 1 angka 14, 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor 21/PUI-XII /2014, tentang perlu adanya minimal dua barang bukti.
Dan, UU ITE pasal 45 terkait frasa 'dapat menimbulkan', maka penangkapan para tokoh KAMI tersebut, diyakini mengandung tujuan politis, dengan menggunakan instrumen hukum.
"Bahwa pada intinya para pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah ditangkap, ditahan, dipaksa oleh teradu (Polri) secara sewenang-wenang dan tidak berperikemanusiaan."
"Serta melanggar ketentuan peraturan hukum dan perundang undangan yang berlaku," ujar Al Katiri.
Selain itu, lanjut Al Katiri, petugas Polri juga menghalangi tiga petinggi KAMI itu untuk bertemu penasihat hukum, keluarga, dan kerabatnya.
Atas dasar itu, tim advokasi KAMI meminta agar proses hukum terhadap tiga petinggi KAMI itu, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Moh Jumhur Hidayat, dihentikan.
Sebab, proses hukum kepada ketiganya dinilai tidak manusiawi, melanggar peraturan perundang-undangan, serta memperalat hukum dan menuduhkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar pada fakta-fakta hukum yang sesungguhnya.
"Tuntutan KAMI adalah agar seluruh pejuang KAMI dan jejaring KAMI di daerah yang dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar pada fakta-fakta hukum yang sesungguhnya bisa dibebaskan," paparnya.
Selain itu, tim advokasi KAMI turut mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat terkait penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka kepada tiga petinggi KAMI itu.
"Proses yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, khususnya terhadap Saudara Syahganda Nainggolan, Moh Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lain-lain tanpa didasari minimal dua alat bukti yang kuat," beber Al Katiri.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Ini Dugaan Pelanggaran HAM Berat Polri Saat Tangkap Petinggi KAMI, Panjat Pagar Hingga Cabut CCTV, https://wartakota.tribunnews.com/2020/10/28/ini-dugaan-pelanggaran-ham-berat-polri-saat-tangkap-petinggi-kami-panjat-pagar-hingga-cabut-cctv?page=all.
Editor: Yaspen Martinus
