Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Ingat Penganiayaan Balita oleh Pelajar SMP di Rohul? Berkas Kasus Dikembalikan ke Polsek, Ada Apa?

Pada Mei lalu itu bermula ketika balita sebut saja Mawar, ditemukan bersimbah darah dengan luka sayatan menganga di dekat leher dan perutnya.

Penulis: Syahrul | Editor: Ariestia
Desain Grafis Tribun Pekanbaru/Didik
Ilustrasi 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PASIRPANGARAIAN - Masih ingat dengan kasus penganiayaan anak oleh seorang pelajar SMP di Pasir Pangaraian Rokan Hulu medio Mei lalu?

Saat ini kasus tersebut masih mangkrak di Polsek Rambah

Kanit Reskrim Polsek Rambah Bripka Arif saat dikonfirmasi pada Selasa (17/11) mengatakan, berkas penyidikan sudah pernah dilimpahkan ke Kejari Rohul, namun dikembalikan dengan sejumlah alasan. 

"Salah satu alasannya, kita diminta untuk melengkapi berkas ahli," kata Kanit. 

Terpisah, Kasi Pidum Kejari Rokan Hulu Reza Rizki Fadillah membenarkan adanya pengembalian berkas tersebut dengan alasan tidak memenuhi unsur 'Barangsiapa' dalam KUHP. 

Baca juga: Remaja Pelaku Penganiayaan Balita di Rohul Kini Dirawat di RSJ, Kasus Sudah Sampai Tahap Penyidikan

"Mengacu pada Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang berbunyi 'Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau berubah sakit' maka tak dapat diproses hukumnya," kata Reza. 

Ilustrasi penganiayaan bayi
Ilustrasi (Kompas.com/ERICSSEN)

Dilanjutkannya, sekalipun si pelaku baru mendapatkan keterangan mengalami gangguan jiwa berat usai diproses polisi, bukti rekam medis tersebut membuat perkara itu tak bisa lanjut ke pengadilan. 

"Mengacu pada pasal tersebut, proses hukumnya tetap tak bisa lanjut," paparnya lagi. 

Baca juga: Sebelum Bunuh Anak dan Gantung Diri Ternyata Ibu Muda di Pekanbaru Cekcok Sama Suami, Soal Ekonomi?

Baca juga: Modus Berikan Pekerjaan di Perusahaan, Pria di Dumai Menipu dengan Minta Rp1 Juta, Korbannya 7 Orang

Baca juga: Berulang Kali Jadi Tempat Prostitusi dan Mesum, Pemko Pekanbaru Ancam Cabut Izin Penginapan Ini

Menanggapi hal tersebut, Tokoh Masyarakat Rokan Hulu dari kalangan agaman Ustadz Yulihesman mengatakan, jawaban penegak hukum dalam kasus tersebut sangat mengecewakan. 

"Tidak terang benderangnya proses hukum tersebut oleh pihak Kejaksaan membuat preseden buruk bagi penegakan hukum di Rokan Hulu," jelasnya. 

Bukan tanpa alasan, menurut Yulihesman, perkara itu mustinya dibuktikan di pengadilan, bukan dalam proses penyidikan dan pelimpahan di kejaksaan. 

"Jika dalam perkara sadis begitu keluarga korban tak bisa mendapatkan keadilan, bagaimana dalam perkara lain? Wajar kemudian jika tingkat kepercayaan masyarakat untuk memperoleh keadilan menjadi berkurang," tandasnya. 

Sebelumnya, perkara yang terjadi pada Mei lalu itu bermula ketika korban, sebut saja Mawar, ditemukan bersimbah darah dengan luka sayatan menganga di dekat leher dan perutnya. 

Saat ditemukan, korban yang masih berusia empat tahun itu sedang terbujur di sebuah parit dalam keadaan tidak berpakain.

Baca juga: Terdengar Suara Minta Tolong Orang Jatuh ke Laut di Dumai, Korban Lalu Ditemukan Tak Bernyawa

Baca juga: Daftar Harga TBS Sawit Riau Periode 18-23 November 2020, Ini yang Memicu Turunnya Harga

Polsek Rambah yang kemudian melakukan penyelidikan, menangkap seorang bocah laki-laki berstatus pelajar SMP yang diduga sebagai pelaku. 

Setelah dilakukan pemeriksaan, pelaku kemudian diarahkan ke RSJ Tampan untuk divisum kejiwaannya yang kemudian dinyatakan mengalami gangguan jiwa berat. 

Padahal sebelumnya, pelaku belum pernah dinyatakan memiliki gangguan kejiwaan yang dibuktikan secara medis. 

Setelah berjalan selama hampir enam bulan sejak pemeriksaan tersebut, keluarga korban belum mendapatkan keadilan lantaran berkasnya dikembalikan ke Polsek Rambah oleh Kejari Rohul. 

Kriminolog DR Erdianto Effendi SH MH: Demi Rasa Keadilan, Proses Hukum Tak Dapat Berhenti di Kejaksaan 

Alasan tidak bisa dilakukannya proses penegakan hukum bagi terduga pelaku pidana dengan status gangguan kejiwaan berdasarkan Pasal 44 Ayat 1 KUHP tidaklah bersifat mutlak. 

Apalagi, jika hal tersebut dijadikan dasar bagi seorang terduga pelaku pidana yang belum memiliki catatan gangguan kejiwaan sebelumnya. 

Di dalam Hukum Pidana Indonesia yang menganut paham dualistis, pembuktian dua arah baik dari sisi pelaku dan korban memang dibutuhkan. 

Baca juga: Rincian Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Suap DAK dan Gratifikasi yang Menjerat Walikota Dumai Zul AS

Dalam konteks penganiayaan anak di Rokan Hulu, mustinya proses pembuktian hukum di pengadilan harus dilalui terlebih dahulu. 

Artinya, yang dapat memutuskan pelaku mengalami gangguan kejiwaan dan proses hukumnya tak dapat berlanjut hanyalah pengadilan, bukan di tingkat Kejaksaan. 

Apalagi, jika unsur-unsur pidananya terhadap penganiayaan berat di perkara tersebut sudah terpenuhi unsurnya. 

Mustinya, proses pembuktian tetap dilakukan melalui pengadilan. Dengan demikian, kepuasan masyarakat dalam mencari keadilan menjadi terpenuhi. 

Begitu juga dengan pihak Kejaksaan, jika memang unsur pidananya terpenuhi, mustinya proses hukumnya bisa tetap berlanjut ke tingkat pembuktian. 

Bukan justru menggugurkannya dengan alasan Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang mana pasal tersebut, jika dilanjutkan ke Ayat 2, diterangkan 'Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa'. 

Dengan demikian, penegakan hukum dan pelayanan rasa keadilan dalam perkara tersebut dapat dilakukan melalui proses pengadilan, bukan di tingkat Kejaksaan.

(Tribun Pekanbaru/Syahrul Ramadhan)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved