Yan Prana Arahkan Pemotongan Anggaran Perjalanan Dinas 10 Persen, Saksi Sebut Tak Berani Protes
Pengakuan saksi, ungkap bahwa terdakwa Yan Prana Jaya mengarahkan pemotongan 10 persen dari anggaran perjalanan dinas, dugaan korupsi Bappeda Siak
Penulis: Rizky Armanda | Editor: Ariestia
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Saksi mengungkap bahwa terdakwa Yan Prana Jaya mengarahkan pemotongan 10 persen dari anggaran perjalanan dinas, dalam sidang perkara dugaan korupsi anggaran rutin di Bappeda Siak 2014- 2017, Senin (19/4/2021).
Sebanyak 5 orang saksi dihadirkan dalam persidangan kasus korupsi di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Siak 2014- 2017 tersebut.
Sidang lanjutan ini digelar di Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, dengan dipimpin majelis hakim yang diketuai hakim Lilin Herlina.
Duduk sebagai pesakitan dalam perkara ini, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau non aktif, Yan Prana Jaya.
Saat dugaan rasuah terjadi, Yan Prana menjabat Kepala Bappeda di Kabupaten berjuluk Kota Istana tersebut. Dia sekaligus bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA).
Dalam sidang kali ini, terdakwa Yan Prana hadir langsung di persidangan. Dia terlihat mengenakan stelan pakaian batik lengan panjang dipadu celana hitam.
Adapun 5 saksi yang diperiksa di persidangan, antara lain Rio Arta, Raja Juarisman, Ade Hendri Alamsyah, Iskandar, dan Putra Jaya.
Rata-rata para saksi mengakui adanya pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 10 persen.
Saksi Rio Arta yang juga merupakan mantan bendahara pengeluaran di Bappeda Siak, dalam kesaksiannya mengaku mengetahui langsung terdakwa yang mengarahkan adanya pemotongan anggaran tersebut.
Pria berstatus ASN ini memaparkan, saat terdakwa Yan Prana menjabat Kepala Bappeda Siak, dia bekerja sebagai staf keuangan.
Sepengetahuannya, pemotongan 10 persen dari anggaran perjalanan dinas itu dibahas dalam sebuah rapat di awal tahun 2014.
"Ada arahan pemotongan SPPD 10 persen," jelas Rio Arta.
"Lalu apa tanggapan yang hadir dalam rapat itu?," tanya hakim ketua.
"Diam saja," jawab terdakwa.
"Saat itu ada Kabid, Kasubbid, dan lain-lain," sambung saksi Rio Arta mengingat siapa-siapa saja yang hadir dalam rapat itu.
"Waktu rapat itu kok sampai diarahkan, apa pembicaraan kok tiba-tiba ada pemotongan?," cecar hakim lagi.
"Lupa saya, karena rapatnya tidak itu saja. Cuma ada arahan (pemotongan), itu aja," ungkap Rio.
"Masa rapat bisa lupa Menurut saudara tidak penting ini?," tanya hakim heran.
"Penting bu," jawab saksi.
"Kalau yang penting pasti ingat, apalagi saudara bukan orangtua. Jadi apa pembicaraannya?," ungkap hakim Lilin Herlina melontarkan pertanyaan.
"Disampaikan nanti ada pemotongan 10 persen, semua SPPD-nya," jawab Rio.
"Itu disampaikan terdakwa," tanya hakim.
"Iya," jawab saksi lagi.
Menurut saksi, saat itu peserta rapat hanya diam saja, tidak ada yang menanggapi atas adanya pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 10 persen itu. Termasuk dia sendiri.
"Saya diam saja. Keberatan, saya diam karena atasan, saya tidak berani," aku Rio.
"Dipotong 10 persen merugikan siapa?," tanya hakim.
"Yang melakukan perjalanan dinas," jawab Rio.
Hakim pun mempertanyakan apa ada disebutkan untuk apa 10 persen anggaran yang disunat itu.
Masih menurut Rio, waktu itu tidak ada disampaikan. Bahkan tidak ada yang berani bertanya.
"Oo gitu ya, kalian takut sekali? Kalau saya, saya tidak mau. Saudara S2 loh. Harusnya bertanya. Bisa pula rapat gitu ya, dipotong 10 persen diam semua," ungkap hakim kesal.
"Setelah itu setiap perjalanan dinas saudara dipotong?," tanya hakim.
"Iya, tapi setelah 2017 tidak lagi dipotong," terangnya.
Saksi lainnya, Iskandar, juga mengakui adanya pemotongan 10 persen anggaran perjalanan dinas. Ia menuturkan, uang yang diterimanya tidak sesuai dengan kuitansi yang ditandatanganinya saat pencairan.
Ia juga menyatakan tidak berani untuk protes dan mempertanyakan soal adanya pemotongan tersebut.
Dalam sidang perdana sebelumnya dengan agenda pembacaan surat dakwaan, terungkap sejumlah fakta.
Dimana, terdakwa Yan Prana, saat masih menjabat Kepala Bappeda Siak, pernah mengadakan rapat di Kantor Bappeda Siak, dan dihadiri oleh hampir seluruh pegawai. Dia juga sekaligus bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA).
"Didalam rapat tersebut terdakwa menyampaikan agar setiap anggaran SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas, red) di Bappeda Kabupaten Siak, dipotong sebesar 10 persen," kata JPU.
Lanjut JPU, dari yang hadir dalam rapat itu, ada yang bertanya, untuk apa uang perjalanan dinas tersebut dipotong. Saat itu terdakwa menjawab, bahwa hasil pemotongan itu akan digunakan untuk membiayai keperluan lainnya.
"Pada saat itu terdakwa sempat bertanya, apakah ada yang keberatan? Dilanjutkan dengan terdakwa mengatakan, kalau tidak ada yang keberatan saya anggap semua setuju," ucap JPU lagi menirukan perkataan Yan Prana kepada para bawahannya saat itu.
Dalam dakwaannya JPU menyebutkan, dugaan korupsi terjadi di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda), Komplek Perkantoran Tanjung Agung, Mempura Kabupaten Siak, Kabupaten Siak sekitar Januari 2013-2017.
Dugaan korupsi dilakukan Yan Prana Jaya selaku Kepala Bappeda Kabupaten Siak bersama-sama Donna Fitria (perkaranya diajukan dalam berkas perkara terpisah), bersama-sama pula dengan Ade Kusendang dan Erita.
Perbuatan dilakukan berlanjut
secara melawan hukum. Ada tiga anggaran kegiatan yang diduga dikelola secara melawan hukum di masa Yan Prana menjabat Kepala Bappeda di Kabupaten berjuluk Kota Istana itu.
Diantaranya anggaran perjalanan dinas, anggaran pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan pengelolaan anggaran makan minum.
"Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperkaya terdakwa sebesar Rp.2.896.349.844,37 sebagai mana laporan hasil audit Inspektorat Kota Pekanbaru," ujar JPU.
Atas anggaran perjalanan dinas 2013-2017, terdakwa melakukan pemotongan sebesar 10 persen.
Adapun rincian realisasinya, anggaran 2013, sebesar Rp2.757.426.500, anggaran 2014 sebesar Rp4.860.007.800, anggaran 2015 Rp3.518.677.750, anggaran 2016 Rp1.958.718.000, dan anggaran 2017 Rp 2.473.280.300.
Berdasarkan DPPA SKPD Nomor 1.06.1.06.01 Tahun 2013 - 2017 itu, total realisasi anggaran perjalanan dinas yakni sebesar Rp15.658.110.350.
Pada bulan Januari Tahun 2013 saat terjadi pergantian bendahara pengeluaran dari Rio Arta kepada Donna Fitria, terdakwa mengarahkan untuk melakukan pemotongan biaya sebesar 10 persen dari setiap pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas.
Donna Fitria sebagai bendahara pengeluaran, lantas melakukan pemotongan anggaran perjalanan dinas Bappeda Kabupaten Siak tahun anggaran 2013 sampai dengan Maret 2015 pada saat pencairan anggaran SPPD setiap pelaksanaan kegiatan.
Besaran pemotongan berdasarkan total penerimaan yang terdapat didalam Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) perjalanan dinas, dipotong sebesar 10 persen.
Uang yang diterima masing-masing pelaksana kegiatan, tidak sesuai dengan tanda terima biaya perjalanan dinas.
Pelaksana kegiatan sebagaimana yang tercantum pada Surat Perintah Tugas, terkait pelaksanaan perjalanan dinas Bappeda Kabupaten Siak pada tahun 2013, sebelumnya sudah mengetahui bahwa terdapat pemotongan anggaran perjalanan dinas Bappeda Kabupaten Siak atas arahan Yan Prana Jaya.
Alhasil, pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 10 persen tersebut, dilakukan setiap pencairan.
Uang dikumpulkan dan disimpan Donna Fitria selaku bendahara pengeluaran di brangkas bendahara, Kantor Bappeda Kabupaten Siak
Donna Fitria, mencatat dan menyerahkan kepada terdakwa secara bertahap sesuai dengan permintaannya.
Terhadap bawahannya yang lain, Ade Kusendang, terdakwa mengarahkan supaya pemotongan sebesar 10 persen dilanjutkan.
"Atas arahan itu, Ade Kusendang mengatakan kepada terdakwa, takut menimbulkan fitnah, karena ada desas-desus yang kurang enak atas pemotongan 10 persen," ungkap JPU.
Namun terdakwa berupaya meyakinkan Ade Kusendang. Sampai akhirnya dia menerima dan menjalankan apa yang diinginkan terdakwa. (Tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)
