Ribuan PNS Disebut Terima Bansos, Pakar UGM: Mentalitas Miskin Penyebab Salah Sasaran
Dengan demikian, program bantuan sosial ini diperuntukkan misalnya untuk masyarakat rentan dan masyarakat terdampak bencana.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Fenomena PNS Dapat Bansos menarik perhatian banyak pihak.
Ribuan ASN yang terindikasi menerima berbagai jenis bantuan sosial (bansos) yang bukan menjadi haknya, dinilai pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) terjadi akibat mentalitas miskin.
Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM, Hempri Suyatna menilai bahwa mentalitas miskin masyarakat membuat bantuan sosial sering salah sasaran.
“Jika mereka sadar bahwa ini bukan hak mereka, seharusnya segera dikembalikan. Bentuk-bentuk mentalitas miskin ini yang harus dibenahi agar program bansos juga tepat sasaran,” paparnya seperti dilansir dari laman UGM, Senin (22/11/2021).
Ia berharap ada kesadaran dari para ASN penerima bansos untuk mengembalikan bantuan yang bukan haknya. Pemerintah perlu memberikan bukan sekadar anjuran tetapi kewajiban bagi para ASN ini.
“Dalam perspektif agama pun, menerima sesuatu yang bukan haknya juga tidak baik,” kata Hempri.
Ia menerangkan, bantuan sosial idealnya diberikan untuk mengatasi berbagai risiko sosial baik dari aspek rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan, dan penanggulangan kemiskinan.
Dengan demikian, program bantuan sosial ini diperuntukkan misalnya untuk masyarakat rentan dan masyarakat terdampak bencana.
Persoalan pada penyaluran yang salah sasaran, terang dia, membuat kebijakan bantuan sosial menjadi kurang efektif.
“Memang sudah banyak kebijakan bansos yang dilakukan pemerintah. Secara umum dapat saya katakan kurang efektif karena selain masih banyak salah sasaran, program-program bansos ini cenderung hanya menjadi pemadam kebakaran dan parsial,” ucapnya.
Sejumlah faktor penyebab bansos salah sasaran
Selain persoalan mentalitas, menurutnya terdapat sejumlah faktor yang mengakibatkan penyaluran bansos salah sasaran.
Faktor pertama, kata dia, verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak berjalan dengan baik sehingga banyak warga mampu masih terdata. Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah atau desa juga tidak berjalan dengan baik.
“Pemerintah Kabupaten seharusnya lebih update terkait perkembangan data-data kemiskinan yang ada di wilayah masing-masing,” ucapnya.
Selain itu, menurutnya ada konflik regulasi dan minim sinkronisasi antara pemangku kepentingan, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Desa, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi/Kabupaten, dan sebagainya, dalam penyaluran bantuan sosial.
