Larangan Ekspor CPO dan Migor
Pengamat Ekonomi Universitas Riau Prediksi Larangan Ekspor CPO Tak Bakal Lama, Ini Sebabnya
Pengamat Ekonomi Universitas Riau, Dr Edyanus tidak yakin pelaranagn ekspor CPO dan migor bisa diterapkan, banyak yang berkepentingan di bisnis itu
Penulis: Rizky Armanda | Editor: Nurul Qomariah
Lalu para pengusaha juga jangan terlalu orientasi profit. Ada yang perlu dipikirkan soal kemaslahatan berbangsa dan bernegara, untuk rakyat.
Sebab kalau rakyat bergejolak, tidak ada gunanya mereka jadi pengusaha. Tidak akan sulit bagi rakyat untuk melakukan tindakan brutal untuk merusak usaha para pengusaha juga.
Ini tentu tidak akan terkontrol tanpa peran pemerintah. Jadi semua stakeholder mari kita bersama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
"Jadi kalau pengusaha nurut semua, tidak akan ada persoalan. Dalam 20 persen domestic market obligation (DMO), kita hanya butuh 5 - 6 juta ton minyak goreng setiap tahun. Itu akan bisa terpenuhi semua oleh produsen minyak goreng," urainya.
Tapi harus dijaga, jangan sampai ada penyimpangan di mana-mana, seperti di distribusi.
Mereka para produsen tidak akan rugi, tapi memang opportunity lost-nya ada.
Kalau 100 persen dijual ke luar negeri tentu lebih banyak keuntungan. Kalau 20 persen dijual dalam negeri, sedikit keuntungan.
Tapi dari cost production mereka tidak rugi. Keuntungan 80 persen yang dijual ke luar negeri pasti akan menutupi yang 20 persen di dalam negeri.
Sekarang di distribusi, di pengawasan, oknum aparat ini harus diingatkan untuk menjaga itu. Supaya harga minyak goreng dalam negeri memenuhi kriteria harga terjangkau oleh masyarakat.
Ada 107 produsen minyak goreng di Indonesia. Ada 5 yang sudah bangkrut, karena tidak bisa melayani pasar dalam negeri. Padahal kebutuhan minyak goreng tinggi.
Cost production memang naik, karena CPO naik. Makanya ada DMO, itu seharusnya semua bisa ditangani. Kenapa tidak efektif?
"Yang saya prediksi tidak efektif, justru tutup total ekspor. Tentu penyelundupan juga bisa banyak terjadi. Semakin banyak pula peluang KKN dari aparat ini," ucapnya.
"Kemudian pengusaha tentu tidak mau rugi total. Karena mereka investasi. Kebanyakan perusahaan sawit khususnya di Riau, itu dari Malaysia. Tentu akan ada resonansi dari Pemerintah Malaysia kepada Pemerintah Indonesia," tutup Edyanus.
( Tribunpekanbaru.com / Rizky Armanda )
