Akar Konflik Keraton Solo Terungkap, Berawal Rebutan Tahta Usai Wafatnya Sang Raja
Para pewaris dan keturunan Keraton Solo terlibat bentrok. Bentrokan bermula dari rebutan tahta pada belasan tahun silam.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Bak kerajaan besar di dunia, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo juga tak lepas dari perebutan tahta antar pewarisnya.
Hingga saat ini, perselisihan itu bak api dalam sekam dan membesar pada waktu tertentu.
Teranyar, konflik antar keluarga Bangsawan Keraton Solo terjadi pada Jumat (23/12/2022) malam.
Kerusuhan itu mengakibatkan 4 orang luka-luka.
Dalam sepekan terakhir, terjadi beberapa kejadian di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah.
Mulai dari dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani kepada seorang sentana dalem.
Kemudian kasus pencurian yang dilaporkan putri Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, GRAy Devi Lelyana Dewi.
Yang terakhir ada kericuhan yang melibatkan dua kubu di Keraton Solo.
Bila dirunut lebih jauh, konflik di Keraton Solo berawal setelah meninggalnya Pakubuwono XII pada 12 Juni 2004 atau sekitar 18 tahun yang lalu.
Saat itu Pakubuwono XII tidak memiliki permaisuri dan mengangkat putra mahkota.
Sehingga terjadi perebutan takhta di antara anak keturunan Pakubuwono XII.
Dua kubu saling klaim sebagai pewaris tahta dan mendeklarasikan diri sebagai raja Keraton Solo.
Kubu tersebut adalah Hangabehi putra tertua dari selir ketiga Pakubuwono XII mendeklarasikan diri sebagai raja pada 31 Agutsus 2004.
Sementara putra Pakubuwono XII dari selir yang berbeda, Tedjowulan kemudian mendeklarasikan diri sebagai raja pada 9 November 2004.
Pada 2012, Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo dan anggota DPR Mooryati Sudibyo, mendamaikan dua kubu anak raja tersebut di Jakarta.
Hasilnya, Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.
Hangabehi yang merupakan putra tertua Pakubuwono XII tetap menjadi raja.
Sementara Tedjowulan menjadi mahapatih dengan gelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Panembahan Agung.
Meski begitu, sejumlah keturunan Pakubuwono XII menolak rekonsiliasi dan mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton.
Lembaga itu memberhentikan sang raja karena Hangabehi beberapa kali melakukan pelanggaran.
LDA juga melarang raja dan pendukungnya memasuki keraton.
Sejumlah pintu masuk raja menuju gedung utama Keraton Solo dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas.
Akibatnya, Pakubuwono XIII yang sudah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertakhta di Sasana Sewaka Keraton Solo.
Pada 2017, Presiden Jokowi pernah mengutus anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), Jenderal Purn Subagyo HS, melakukan upaya rekonsiliasi, tapi gagal.
Pada Februari 2021, kisruh Keraton Solo kembali terjadi setelah lima orang, di antaranya anak keturunan PB XII, terkurung di Istana.
Hingga pada Jumat (23/12/2022) malam kembali terjadi kisruh yang membuat empat orang dilarikan ke rumah sakit akibat luka-luka.
1. Kubu Paku Buwono XIII
Paku Buwono XIII adalah raja Keraton Solo yang berkuasa saat ini.
Ia bertakhta sejak 2004 setelah sang ayah, Paku Buwono XII mangkat atau meninggal.
Dikutip dari wikipedia.org, Paku Buwono XIII lahir di Surakarta pada 28 Juni 1948 sehingga saat ini usianya 74 tahun.
Putra tertua dari selir ketiga Pakubuwono XII, KRAy Pradapaningrum itu semula diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Suryadi.
Namun karena sakit-sakitan, sang nenek yang merupakan permaisuri Pakubuwana XI bernama GKR Pakubuwana mengganti nama GRM Suryadi menjadi GRM Suryo Partono.
Penggantian nama ini seperti lazimnya masyarakat kebanyakan mengikuti petuah spiritual dalam adat Jawa.
Pada 1979, GRM Suryo Partono yang merupakan putra laki-laki tertua berhak menyandang nama Hangabehi dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH).
Artinya, dia adalah seorang pangeran tertua yang disiapkan menjadi calon penerus takhta.
KGPH Hangabehi memiliki hobi bermain keyboard dan gemar menciptakan sejumlah lagu.
Ia juga menggemari olahraga bowling dan mengendarai motor.
Dalam pemerintahan Keraton Solo, KGPH Hangabehi pernah menjabat sebagai Pangageng Museum Keraton Surakarta.
Ia pernah mendapatkan anugerah Bintang Sri Kabadya I oleh Pakubuwana XII atas jasa-jasanya dalam mengatasi musibah kebakaran yang melanda Keraton Surakarta tahun 1985.
KGPH Hangabehi juga memperoleh gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Global (GULL, Amerika Serikat).
2. Kubu GKR Wandansari
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari atau yang karib disapa Gusti Moeng merupakan ketua LDA yang kini berkonflik dengan kubu Pakubuwana XIII.
Gusti Moeng atau Gusti Raden Ajeng Koes Moertiyah juga merupakan anak dari Pakubuwana XII.
Sehingga, ia masih bersaudara dengan Pakubuwana XIII yang saat ini menjadi raja Keraton Solo.
Gusti Moeng lahir pada 1 November 1960 sehingga saat ini, usianya 62 tahun.
Gusti Moeng merupakan istri dari Kanjeng Pangeran Eddy S Wirabhumi dan dianugerahi dua anak.
Gusti Moeng pernah menempuh pendidikan di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan melanjutkan pendidikan S2 di universitas yang sama.
Di luar keraton, Gusti Moeng dikenal sebagai sosok anggota DPR RI.
Ia sudah dua kali duduk di kursi DPR dari dua partai yang berbeda.
Pertama pada periode 1999-2004, menjadi legislator dari fraksi PDIP.
Lima tahun berikutnya, Gusti Moeng maju sebagai wakil rakyat dari Partai Demokrat.
Ia maju mewakili daerah pemilihan (dapil) Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali, Surakarta, dan Kabupaten Klaten pada periode 2009–2014.
Saat duduk di DPR, ia berada di Komisi II dengan lingkup tugas di bidang dalam negeri, sekretariat negara, dan pemilu.
Pada 2012, Gusti Moeng mendapatkan penghargaan Fukuoka Prize 2012 Arts and Culture.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Sosok 2 Kubu yang Berseteru di Keraton Solo: Paku Buwono XIII dan LDA Pimpinan Gusti Moeng.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/keraton_20170417_113629.jpg)