Sengketa 4 Pulau Aceh

4 Pulau di Aceh 'Diambil' Sumut, Tito Karnavian Persilahkan Aceh Gugat ke PTUN: Kami Terbuka

Tito mengatakan, pemerintah pusat tidak memiliki kepentingan pribadi, melainkan hanya ingin menyelesaikan masalah batas wilayah secara objektif dan le

|
Editor: Muhammad Ridho
HUMASPROV KALTIM/ YUVITA
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempersilakan Pemerintah Aceh untuk menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait penetapan batas wilayah yang memasukkan empat pulau di Aceh Singkil–Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek--ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut).  

TRIBUNPEKANBARU.COM - 4 pulau yang telah lama dikelola masyarakat dan Pemerintah Aceh Singkil, Provinsi Aceh diambil Sumatera Utara.

Keempat pulau itu adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang dan Pulau Lipan. 

Saat ini, secara adminitratif disebut milik Sumatera Utara, tapi berbagai catatan agraria, data kepemilikan lahan hingga peta batas wilayah menunjukkan keempat pulau itu merupakan bagian dari Aceh. 

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempersilakan Pemerintah Aceh untuk menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait penetapan batas wilayah yang memasukkan empat pulau di Aceh Singkil–Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek--ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut). 

Hal ini disampaikan Tito, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/6/2026).

"Kami memahami kalau ada pihak yang tidak puas. Tapi kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke PTUN. Silakan saja," katanya.

Ia mengatakan, pemerintah pusat tidak memiliki kepentingan pribadi, melainkan hanya ingin menyelesaikan masalah batas wilayah secara objektif dan legal.

Keempat pulau yang dimaksud, yakni Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek, kini tidak lagi bagian dari Provinsi Aceh, melainkan masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Dikatakan Tito, persoalan ini memiliki sejarah panjang dan melibatkan banyak pihak serta instansi sejak awal konflik itu muncul pada 1928.

"Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkali-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga," ujarnya.

Tito menegaskan bahwa persoalan batas wilayah bukan hanya terjadi antara Aceh dan Sumut. Saat ini terdapat ratusan kasus serupa di seluruh Indonesia.

Dari sekitar 70 ribu desa di Indonesia, kata Tito, baru sekitar seribu desa yang batas wilayahnya benar-benar telah selesai secara hukum.

Ia menjelaskan bahwa penyelesaian batas wilayah sangat penting karena menyangkut kepastian hukum, penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), tata ruang, dan perencanaan pembangunan.

Jika batas tidak jelas, kata Tito, pembangunan di wilayah sengketa bisa menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Kalau satu wilayah membangun, padahal status lahannya masuk dalam sengketa, itu bisa jadi masalah hukum. Batas wilayah harus ada kejelasan agar tidak menimbulkan persoalan administrasi ke depannya," katanya.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved