Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Ngobrol Pintar AI dan Pendidikan

Di Hadapan Ratusan Guru, Guru Besar Unri Praktikkan Ngobrol dengan AI

Prof Afrianto guru besar Unri menjadi narasumber dalam Diskusi Pintar Artifisial Intelligence (AI) dan Pendidikan

Editor: M Iqbal
Tribunpekanbaru.com/Hendra Simanjuntak
ARTIFICIAL INTELLIGENCE - Guru Besar Universitas Riau (Unri), Prof Dr Afrianto Daud, S.Pd berbicara tentang artificial intelligence di hadapan ratusan guru peserta Ngobrol Pintar AI dan Pendidikan yang digelar PT Telkom Indonesia bersama Tribun Pekanbaru, Jumat (25/7/2025).  

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Dunia saat ini tengah menghadapi era digital native generation. Intinya, generasi muda sekarang banyak yang sudah terekspos ke benda digital bahkan, sebelum mereka terlahir di dunia. 


"Sejak masih dalam kandungan, calon bayi sudah terhubung dengan benda digital. Contohnya alat USG. Setelah mereka lahir, kebanyakan orangtua langsung memfoto momen tersebut," ujar Guru Besar Universitas Riau (Unri), Prof Dr Afrianto Daud, S.Pd pada Jumat (25/7/2025).


Prof Afrianto merupakan satu dari empat pemateri yang berbicara di hadapan 550 guru peserta Diskusi Pintar Artifisial Intelligence (AI) dan Pendidikan yang ditaja PT Telkom Indonesia bersama Tribun Pekanbaru di Hotel Furaya Pekanbaru. 


Tak heran, tambahnya, anak-anak yang diajar saat ini tidak pernah bermasalah untuk beradaptasi dengan teknologi. Mereka secara natural bisa beradaptasi. "Justru, tantangannya adalah para pengajar. Karena itu guru tidak boleh Gaptek," tuturnya.


Prof Afrianto menyebut, cara mengajar tidak bisa lagi sama dengan guru di masa lalu. Karena, ada sebagian cara mengajar zaman dulu yang tidak lagi relevan dengan saat ini.  


Dulu, terangnya, ketika guru sakit, siswa di sekolah biasanya tidak belajar. Tapi sekarang, guru tidak hadir belum tentu siswa tak belajar. Karena saat ini banyak media yang dapat dipakai oleh siswa untuk belajar dari jarak jauh. Di era digital ini, belajar dapat dilakukan jika orang tersambung dengan jaringan internet.   


Belajar dapat dilakukan dari berbagai platform. Contohnya lewat media sosial. Dari Twitter atau X, banyak informasi yang dapat diketahui. Di samping itu, banyak tempat kuliah, kursus dan sebagainya yang dapat diakses secara digital. Berbayar maupun gratis. 


Perubahan dunia yang begitu cepat salah satunya dipicu oleh berkembangnya AI. Yaitu kemampuan komputer mengerjakan sebagian tugas yang biasanya dilakukan oleh manusia. 


AI, tuturnya bukan hanya ChatGPT. Jenisnya banyak sekali. Jenisnya pun ada dua. Yaitu AI yang lemah (Weak AI) dengan AI yang kuat (Strong AI). Weak AI adalah yang didesain menyelesaikan tugas spesifik. Contohnya Google Translate.  


Sementara Strong AI adalah yang didesain menyelesaikan banyak jenis pekerjaan. Contohnya yaitu ChatGPT yang mampu melakukan banyak tugas. ChatGPT bisa menggantikan Google Translate, membuat gambar, puisi, esai atau oleh mahasiswa disuruh membuat skripsi dan tesis.


"Kalau tidak ada aturan, sekarang bikin tesis bisa selesai 1 jam saja dengan AI," tuturnya. Selain ChatGPT, juga ada Gemini dari Google dan Bing Copilot dari Microsoft. Itulah kenapa, di satu sisi AI bisa membantu, namun di sisi lain justru membahayakan. "Ini seperti dua mata pisau," tuturnya.


Agar bisa menggunakan AI untuk pendidikan, ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama yaitu Embrace (merangkul). Lalu mengeksplorasinya lebih dalam. AI, tuturnya, dapat menjelaskan suatu tempat dengan lebih rinci. Jadi, ketika datang ke suatu tempat, tak perlu lagi bertanya dengan orang lain. 


"AI juga bisa dipakai sebagai teman berdiskusi," ucap Prof Afrianto. Ia juga sempat mempraktikkan ngobrol langsung dengan AI di hadapan seluruh peserta. "AI bisa jadi teman yang luar biasa," tambahnya. 
 
Ketiga, aspek etik perlu diperhatikan. Intinya, ada batasan dalam penggunaan AI. Apalagi di dunia pendidikan. Kondisi ini dengan cepat direspon oleh kementerian. Dimana, sudah ada panduan kementerian terkait penggunaan generative AI di perguruan tinggi. Di Unri juga sudah ada peraturan rektor yang meregulasi penggunaan AI. 


"Gunakan AI sebagai suplemen, bukan menggantikan posisi kita. Kita sebagai guru tetap jadi pengontrolnya," tutur dia. Lalu, verifikasi pula informasi yang diberikan oleh AI. Karena ada informasi dari AI yang belum tentu benar. (Tribunpekanbaru.com/Hendra Simanjuntak)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved