Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Kabel Semrawut di Pekanbaru

Polemik Kabel Semrawut di Pekanbaru, Pakar: Mengurai Kabel, Memutus Mentalitas Korup

Masalah kabel semrawut di Pekanbaru menjadi masalah yang tak kunjung selesai.

Penulis: Alex | Editor: Ariestia
Foto/Dok Dr Elfiandri MSi
KABEL SEMRAWUT - Sosiolog Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, Dr Elfiandri MSi menyoroti masalah kabel semrawut di Pekanbaru yang menjadi masalah yang tak kunjung selesai. 

Sosiolog Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, Dr Elfiandri MSi

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Masalah kabel semrawut di Pekanbaru menjadi masalah yang tak kunjung selesai.

Pemandangan tiang listrik atau tiang telekomunikasi yang dipenuhi kabel kusut dan menggantung rendah bukan hanya merusak estetika kota, tetapi juga mengancam keselamatan warga. 

Beberapa kali kita mendengar kabar pengendara sepeda motor terjatuh karena terjerat kabel yang menjuntai.

Fenomena ini bukan sekadar soal teknis, tetapi juga mencerminkan tata kelola kota yang lemah dan budaya kerja yang abai terhadap keselamatan publik.

Di balik masalah kabel yang tak tertata ini, ada juga kita dengar praktik yang kerap dibicarakan di lingkungan kita, yakni uang kopi aparat di tingkat bawah, ketika sebuah provider ingin memasang kabel di wilayah tertentu. 

Baca juga: Kabel Semrawut di Pekanbaru Meresahkan, Antara Estetika Kota dan Ancaman Nyawa Pengendara

Meski sering dibungkus sebagai 'tanda terima kasih,' praktik ini membuka pintu bagi pemasangan kabel yang tak sesuai standar.

Ketika proses awalnya sudah dilandasi kompromi, wajar jika kualitas pekerjaan di lapangan pun ikut dikompromikan. Kabel pun bertambah semrawut, estetika kota makin tergerus.

Budaya memberi sebagai bentuk apresiasi dan terimakasih sebenarnya memang boleh-boleh saja dalam budaya kita.

Dalam banyak tradisi di Indonesia, memberi adalah simbol keramahan dan terima kasih.

Namun yang menjadi masalah adalah ketika 'pemberian' itu justru membuat standar keselamatan dan kualitas diabaikan.

Ini bukan lagi budaya positif, tetapi praktik yang menumbuhkan kelalaian. Korupsi, dalam bentuk sekecil apa pun, bukan hanya soal melanggar aturan, tetapi juga mencerminkan budaya yang salah kaprah.

Bayangkan jika suatu proyek pemasangan kabel dimenangkan oleh pihak yang memang tidak memenuhi syarat teknis, tetapi tetap lolos karena ada 'permainan' antara pemenang tender dan pengawas di lapangan. Tanpa pengawasan publik, celah seperti ini akan terus terbuka. 

Padahal, kontrak pekerjaan seharusnya juga tegas memuat syarat bahwa jika ada kelalaian yang menyebabkan kecelakaan, pihak pelaksana harus bertanggung jawab penuh, bahkan secara hukum.

Masyarakat sebenarnya punya peran besar untuk mengawasi.

Baik melalui LSM, mahasiswa, mau pun komunitas warga, bahkan penggiat media sosial bisa menjadi mata tambahan bagi kota ini. Pertanyaannya, kemana masyarakat bisa melapor jika melihat ada yang janggal? Jalur pelaporan harus dibuat jelas dan mudah diakses.

Tanpa itu, laporan warga hanya akan berhenti di obrolan warung kopi.

Kita tidak boleh lupa bahwa kecelakaan akibat kelalaian pemasangan kabel bisa masuk kategori kelalaian yang dapat dituntut secara hukum.

Sama halnya seperti jalan berlubang yang dibiarkan hingga menimbulkan korban, pemasangan kabel tanpa memperhatikan ketinggian aman adalah bentuk pelanggaran terhadap hak warga untuk merasa aman di ruang publik.

Dalam sepuluh tahun terakhir, transparansi proyek di kota ini kian memudar.

Kita jarang sekali melihat pengumuman terbuka tentang siapa pemenang proyek, berapa besar anggarannya, dan berapa lama masa pengerjaannya. 

Padahal, informasi ini penting agar masyarakat bisa mengawasi secara objektif. Transparansi bukan sekadar formalitas, tetapi benteng pencegahan terhadap praktik-praktik yang merugikan publik.

Di era digital, sebenarnya ada solusi sederhana yang bisa dilakukan. Pemerintah kota atau pihak terkait bisa mengunggah seluruh proses pengawasan proyek di media sosial resmi.

Foto progres, laporan mingguan, hingga dokumentasi inspeksi bisa diakses publik.

Dengan begitu, semua orang tahu apa yang sedang dikerjakan, oleh siapa, dan sejauh mana kualitasnya.

Pengawasan publik yang luas adalah cara mencegah sekaligus menekan budaya suap dan asal-asalan kerja.

Ketika semua orang bisa melihat dan mengomentari prosesnya, celah untuk bermain di bawah meja menjadi lebih kecil. 

Apalagi, estetika kota bukan hanya soal kenyamanan visual, tetapi juga bagian dari keamanan warga.

Kerapian kabel di kota harus dipandang sebagai indikator kemajuan peradaban perkotaan. Kota yang rapi kabelnya menunjukkan tata kelola yang baik, kesadaran keselamatan publik, dan penghormatan terhadap estetika. 

Sebaliknya, kabel semrawut menunjukkan lemahnya pengawasan, budaya kerja yang malas, dan mentalitas yang masih membenarkan praktik kompromi kualitas demi keuntungan pribadi.

Saya berdoa agar mentalitas orang yang terlibat dalam praktik semacam ini bisa berubah. Kita butuh orang-orang yang mau menegakkan standar tanpa terpengaruh 'uang kopi.'

Memberi sebagai ucapan terima kasih sah-sah saja, tetapi jangan sampai menghilangkan kualitas apalagi membahayakan masyarakat. Kota ini layak mendapatkan layanan infrastruktur yang rapi, aman, dan berkelas.

Pekanbaru bisa menjadi kota yang indah dan aman jika kita mau menegakkan standar, membuka jalur pengawasan publik, dan memutus budaya suap di tingkat sekecil apa pun.

Surat izin pemasangan kabel harus memuat syarat tambahan yang tegas, jika terjadi kecelakaan karena kelalaian, pelaksana wajib bertanggung jawab penuh.

Inilah cara sederhana tapi penting untuk memastikan bahwa kota ini tidak hanya tumbuh secara fisik, tetapi juga secara moral dan budaya. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved