Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Perjuangan dari Desa yang Tak Kenal Menyerah, Telaga Air Merah hingga Mangrove Sungai Bersejarah

Telaga Air Merah dulunya waduk PDAM yang terbengkalai. Ditutupi eceng gondok, penuh lumpur, dan hampir tak terlihat.

Editor: Sesri
Instagram
PT Imbang Tata Alam bersama puluhan peserta Field Trip dan Lomba Karya Tulis Jurnalistik (LKTJ) di lokasi Koperasi Jasa Usaha Mandiri Syariah (KJUMS) di Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti. 

Esoknya, kami beranjak dari Pelabuhan Selatpanjang ke Desa Teluk Belitung. Udara terasa hangat, dengan aroma asin laut yang sesekali terbawa angin. Di desa ini berdiri Koperasi Jasa Usaha Mandiri Syariah (KJUMS), lembaga yang kini menopang ekonomi warga.

Samaun, S.Sos, Ketua KJUMS, menuturkan kisah awalnya. Tahun 2007, masyarakat kesulitan akses modal. Akhirnya, 24 orang sepakat patungan. Masing-masing menyetor Rp 1 juta. Jadilah modal awal Rp 24 juta.

“Awal tahun malah rugi Rp 700 ribu. Jumlah yang kecil, tapi bikin kaget. Untung kami tidak menyerah,” ujar Samaun.

Bantuan datang dari PT Kondur Riau Petroleum yang bertransformasi menjadi kini PT ITA. Perusahaan membantu legalitas, kantor, hingga menghadirkan pendamping profesional selama tujuh tahun. Hasilnya luar biasa.

Dari pinjaman awal Rp 400 ribu, kini koperasi mampu menyalurkan pembiayaan hingga Rp 300 juta. Tabungan masyarakat menembus Rp 1,6 miliar, aset hampir Rp 5 miliar.

“Kalau pinjam, orang ke bank. Tapi kalau nabung, lebih enak di sini. Tidak ada potongan, semuanya jelas,” kata Jasmawarti, bendahara koperasi, sambil tersenyum.

Di sebuah ruangan sederhana, kami melihat ibu-ibu antre menyetor uang tabungan. Wajah mereka tampak lega, seolah yakin uangnya benar-benar aman. Di luar kantor, seorang anak kecil berlari-lari sambil menggenggam buku tabungan milik ibunya. Koperasi ini bukan sekadar lembaga keuangan. Ia adalah bagian dari denyut kehidupan desa.

Mangrove Sungai Bersejarah, Hutan yang Menjadi Sekolah

Kamis, 18 September 2025. Perjalanan berlanjut ke Kayuara Permai, Sungai Apit, Kabupaten Siak. Dari Pelabuhan Bunsur, mobil membawa kami melewati jalan tanah berdebu, kanan-kiri dipenuhi pohon sagu. Tak lama, kami tiba di sebuah kawasan hijau rimbun: Mangrove Sungai Bersejarah (MSB).

Suasana terasa teduh. 27 jenis mangrove tumbuh di sini, dari bakau merah hingga nyirih. Burung-burung kecil beterbangan, sementara angin membuat daun-daun berdesir, menghasilkan musik alam yang menenangkan.

“Dulu di sini ada pohon beringin besar sekali, akarnya sampai melintang di sungai. Dari situlah nama Sungai Bersejarah muncul,” kata Jumadi Afrizan, Ketua Laskar Mandiri MSB.

Sejak 2019, pemuda desa membangun jalur bambu sepanjang 250 meter. Swadaya, gotong royong, sedikit demi sedikit. Pandemi sempat membuat semua berhenti. Jembatan lapuk, pengunjung sepi. Tapi bersama PT ITA, mereka bangkit lagi. Jalur kayu dibangun ulang, kokoh di antara akar mangrove.

Kini, MSB menjadi lebih dari sekadar tempat wisata. Setiap Ahad pagi, lebih dari 90 anak berkumpul belajar di sekolah alam. Mereka belajar membaca, berhitung, hingga mengenal ekosistem mangrove.

Ngah Khaidir, seorang lulusan Ilmu Lingkungan Universitas Riau, menjadi pengajar utama. “Saya ingin anak-anak paham sejak dini pentingnya menjaga hutan ini. Supaya kelak, merekalah yang akan melanjutkan,” katanya.

Tak hanya anak-anak, kawasan ini kini jadi laboratorium hidup. Puluhan mahasiswa, peneliti, hingga mahasiswa S3 datang meneliti. Dari skripsi hingga disertasi lahir dari akar-akar bakau ini.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved