Ia menjelaskan, pemakzulan tidak bisa dilakukan semata-mata hanya karena opini atau tekanan politik.
Proses pemakzulan haruslah berdasarkan ketentuan konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran," ujar Yance.
Di samping itu, ia menjelaskan bahwa pemakzulan dapat dilakukan jika presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana berat lainnya; atau perbuatan tercela, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
"Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini," ujar Yance.
Surat Belum Dibaca DPR
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum membaca surat dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang meminta pemakzulan Gibran.
Dasco menyebut, surat usulan tersebut masih berada di Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar dan DPR tengah menjalani masa reses.
"Iya ini kan kebetulan reses, saya kan datang Pak Sekjen-nya juga enggak ada. Saya pengen lihat suratnya, suratnya masih di Sekjen. Jadi belum sempat lihat surat," ujar Dasco.
Dasco belum bisa merespons surat usulan pemakzulan Gibran tersebut, karena ia belum membaca surat tersebut.
"Belum baca, gimana nanggapin," ujar Dasco.