TRIBUNPEKANBARU.COM, SIAK - Di atas aliran Sungai Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Apit, tual-tual kayu tersusun rapi seperti rakit, mengapung sepanjang ratusan meter.
Siang itu, Senin (9/6/2025) matahari bersinar cerah, memantulkan kilau di permukaan air kecokelatan.
Keindahan alam yang dibelah sungai tidak lagi menyita perhatian Bupati Siak, Afni Z karena sedih bercampur rasa kecewa melihat bertual-tual kayu mahang ditebang tanpa izin.
Ia berdiri di atas gelondongan kayu itu, mengernyitkan dahi.
Sepertinya, ia ingin para pelaku segera diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah merusak alam dan ekosistem lingkungan di kampung Rawa Mekar Jaya.
“Ini kayu alam, Pak. Kalau tidak ada dokumen, sita saja,” katanya, sembari menelepon Kapolsek Sungai Apit.
Perjalanan Afni ke jantung penebangan liar di Sungai Apit ditemani Camat Sungai Apit, Tengku Mukhtasar, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Amin Soimin dan sejumlah pejabat dan staf Pemkab Siak.
Kayu-kayu itu bukan jenis Hutan Tanaman Industri (HTI). Mahang, begitu namanya disebut, kayu alam yang seakan-akan boleh dibabat begitu saja.
Di wilayah Riau, kayu ini tergolong produk hutan alam yang tidak boleh ditebang sembarangan.
Terlebih, angkutan melalui jalur sungai, yang biasa digunakan masyarakat, membuat praktik seperti ini sulit terlacak dan kerap dimanfaatkan oleh pelaku pembalakan liar.
Tak satu pun orang di lokasi yang mengaku sebagai pemilik.
Tak ada operator, tak ada penjaga rakit, bahkan tak tampak aktivitas bongkar muat.
Keheningan itu justru mencurigakan.
Afni menyebut, ini bukan kali pertama pihaknya menerima laporan soal kayu misterius di Sungai Apit.
Tapi baru kali ini ia turun langsung melihat dengan mata kepala sendiri.