TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Di pesisir Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau, sebuah bangunan tua berdiri gamang di bibir abrasi.
Bukan rumah kosong atau bangunan terlantar, tapi Puskesmas Pembantu (Pustu), satu-satunya fasilitas kesehatan bagi ribuan warga pesisir.
Atapnya bolong, dindingnya lapuk, lantainya digenangi lumpur air laut.
Sudah sejak 2005 berdiri, tak pernah tersentuh renovasi.
Bangunan tua itu berdiri di atas tanah berlumpur dan nyaris hilang akibat abrasi yang terus menggerus wilayah pesisir ini.
Kini jarak bangunan dengan bibir laut hanya sekitar 50 meter lagi.
Dari depan, bangunan tampak miring dan rusak berat.
Atap seng sudah bolong di banyak bagian, sebagian sisi sudah tak beratap sama sekali.
Dinding mengelupas, kusam, dan mulai lapuk dimakan usia.
Plafon di dalam ruangan tampak jebol, memperlihatkan rangka atap yang sudah keropos.
Air laut sering naik ke daratan, membuat area sekitar bangunan tergenang lumpur dan sulit dilalui, terutama saat pasang.
Masuk ke dalam, suasana tidak lebih baik. Meja kerja seadanya, kursi robek, dan lemari obat dalam kondisi berkarat.
Obat-obatan dan alat kesehatan disimpan di rak-rak tua yang sudah keropos.
Fasilitas toilet juga jauh dari standar layak: keramik pecah, air tampak terbatas, dan ventilasi minim.
Di sinilah Fauzi, seorang petugas kesehatan, tetap datang setiap hari.
Dengan meja reyot, kursi sobek, dan lemari karat, ia melayani warga yang sakit, butuh suntikan imunisasi, atau hanya ingin memastikan bayinya tumbuh sehat.
"Sudah kami usulkan relokasi sejak 2014. Tanahnya pun sudah kami siapkan. Tapi sampai sekarang belum juga direalisasikan," kata Fauzi yang juga dipercaya sebagai kepala Pustu Desa Kuala Selat, Senin (4/8/2025).
Sudah belasan tahun mereka menunggu. Tapi janji relokasi hanya tinggal cerita.
Sementara ombak terus menggerogoti tanah di bawah pondasi.
Puskesmas ini tak butuh belas kasihan, tapi keputusan yang nyata. Sebelum akhirnya lenyap ditelan laut.
Puskesmas Pembantu tempat Fauzi bekerja kini sudah tak layak pakai.
Kondisinya sangat memprihatinkan. Dibangun sejak 2005 lalu, hingga kini belum mendapatkan sentuhan renovasi.
Bangunan puskemas itu tinggal menunggu hari saja, karena ancaman abrasi sangat nyata didepan mata.
Daratan perlahan hilang tergerus ombak.
"Memang beberapa waktu yang lalu pernah ada rencana mau direnovasi, tapi kami tolak. Karena buat apa renovasi kalau bangunannya sudah di ujung laut dan kena abrasi," tambahnya.
Puskesmas ini berdiri di garis depan pelayanan kesehatan untuk masyarakat pesisir Kuala Selat, namun kini kondisinya tidak aman untuk aktivitas medis.
Tidak hanya mengganggu pelayanan, kondisi ini juga membahayakan petugas kesehatan yang bertugas di sana.
Tindakan cepat dan nyata sangat dibutuhkan, baik untuk renovasi menyeluruh atau relokasi ke tempat yang lebih aman dari abrasi.
Masyarakat Kuala Selat berhak mendapat fasilitas kesehatan yang layak dan manusiawi.
“Kadang malu juga kalau masyarakat nanya, kenapa puskemas kita belum dibangun juga. Saya bingung jawabnya. Kadang saya mikir, ini Indonesia nggak sih?” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Sri Sadono Mulyanto, mengaku telah menerima laporan terkait kondisi Puskesmas Pembantu di Kuala Selat yang sudah tidak layak digunakan.
“Saya sudah mendapat laporan tentang kondisi Pustu Kuala Selat. Memang secara fisik bangunannya tidak memenuhi standar lagi. Kami dari Dinas Kesehatan akan mengkaji ulang usulan relokasi yang telah diajukan dan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar ada percepatan solusi,” ujarnya.
Ibeng menambahkan bahwa pemerintah provinsi tidak menutup mata terhadap situasi para tenaga kesehatan di daerah terpencil.
Namun, proses birokrasi, ketersediaan anggaran, dan prioritas pembangunan kadang menjadi kendala.
Apalagi saat ini Pemprov Riau memang sedang mengalami defisit anggaran yang cukup besar.
“Yang jelas, kita tidak akan membiarkan pengabdian seperti Fauzi ini berjalan sendiri tanpa dukungan. Kita akan perjuangkan agar fasilitas kesehatan di sana dapat diperbaiki atau direlokasi sesuai kebutuhan, termasuk memperhatikan kesejahteraan tenaga medisnya,” tegas Ibeng.
Ancaman Serius
Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, menghadapi ancaman serius dari krisis iklim.
Abrasi pesisir yang kian menggila telah menggerus lebih dari satu kilometer daratan, rumah hilang, kebun kelapa rusak, dan warga perlahan kehilangan pijakan hidupnya.
Abrasi tak hanya menggerus tanah, tapi juga harapan. Barisan pohon kelapa yang dulu menjadi tumpuan ekonomi warga kini tampak gundul dan tak berbuah.
Sekitar 2.000 hektar kebun kelapa di sisi utara desa rusak total, tak ada lagi yang bisa dipanen. Sebanyak 144 keluarga petani kehilangan mata pencarian, dan sebagian dari mereka memilih meninggalkan desa.
Petani yang tersisa bertahan mengais rezeki dari sekitar 3.000 hektar kebun kelapa di bagian selatan desa yang masih bisa digarap. Tapi kondisinya juga kian terancam.
Tanggul darurat hanya 30 meter dari laut dan sudah bocor. Intrusi air asin membuat tanah tak lagi subur, buah mengecil, bahkan air kelapa pun tak layak konsumsi.
Musim angin utara kini menjadi momok. Setiap kali datang antara Desember hingga Februari, warga harus bersiap menghadapi ombak besar.
Banyak yang telah berkali-kali mengungsi dan pindah rumah, berharap tanah baru lebih aman, walau tak ada jaminan.
Nelayan pun ikut terdampak. Mereka enggan melaut karena takut diterjang gelombang. Padahal, laut adalah sumber utama kehidupan mereka.
Tak hanya sektor produksi, dampak sosial-ekonomi juga terasa nyata. Daya beli warga menurun drastis.
Jika dulu beras dibeli per karung, kini mereka hanya mampu membeli satu kilogram.
Pengeluaran sangat dihemat. Warga menahan diri untuk belanja, kecuali benar-benar mendesak.
Prediksi paling suram menyebutkan, Kuala Selat bisa tenggelam dalam waktu 10 tahun jika tak ada tindakan nyata.
Namun, hingga kini belum ada langkah pemulihan berarti. Warga mendesak pemerintah turun tangan cepat.
“Ini bukan sekadar abrasi biasa. Ini darurat. Kami tak tahu harus pindah ke mana kalau desa ini hilang,” kata seorang tokoh masyarakat setempat.
Penanganan Kuala Selat tak bisa setengah hati. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor dan pemangku kebijakan.
Salah satu langkah penting adalah menyusun skema tata air terpadu untuk mencegah air laut terus merangsek masuk dan memperbanyak cadangan air tawar di dalam tanah.
Tanpa upaya sistematis dan berkelanjutan, Kuala Selat bukan hanya akan kehilangan daratan, tapi juga masa depan.
(Tribunpekanbaru.com/Syaiful Misgiono)