TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU — Tak banyak yang tahu, Mahkota Kerajaan Siak yang kini menjadi pusaka berharga di Museum Nasional Indonesia, ternyata dibuat oleh seorang ahli dari Jawa. Terbuat dari emas nyaris dua kilogram, mahkota ini juga bertabur intan dan batu rubi.
Ketua Dewan Pimpinan Harian LAM Riau, Datuk Seri Taufik Ikram Jamil, mengungkapkan hal ini saat menyambut kedatangan tiga benda pusaka Kerajaan Siak di Gedung LAM Riau, Rabu (6/8/2025).
“Mahkota ini dibuat di Siak, tapi ahlinya didatangkan langsung dari Jawa. Namanya Raden Mas Singo Sarwaki,” ujarnya.
Sang pengrajin kemudian diberi gelar kehormatan oleh Sultan dan dikenal dengan nama Pangeran Ali. Bahkan namanya diabadikan sebagai nama jalan di Kota Siak.
Menurut Taufik, Pangeran Ali datang bersama anak-anaknya, seperti Karto, Sarbuni (atau Karsuni), dan lainnya. Mereka merupakan bagian dari suku Hamba Raja Dalam, kelompok pengabdi istana yang memiliki keterampilan khusus.
Bahan pembuatan mahkota pun luar biasa. Emas murni seberat hampir 2 kilogram. Dipadukan dengan taburan intan dan batu rubi. Kemewahan ini mencerminkan kejayaan dan kemegahan Kerajaan Siak di masa lampau.
Namun lebih dari itu, mahkota ini juga sarat makna spiritual.
“Di bagian depan ada hiasan kuncup teratai dengan simbol Bala Ruh Tajalli,” jelas Taufik.
Simbol itu berasal dari bahasa Arab. Balaruh berarti pengakuan ruh atas keesaan Allah. Tajalli bermakna pancaran ilham Tuhan kepada hamba-hamba pilihan.
“Maknanya sangat dalam. Mahkota ini adalah lambang keabsahan seorang raja. Bahwa ia adalah khalifah Tuhan di muka bumi, berkuasa secara adat dan Islam,” ujarnya.
Selain itu, mahkota juga dihiasi tiga bunga teratai atau seroja. Dalam budaya Melayu, teratai melambangkan kesucian jiwa. Meskipun tumbuh di lumpur, bunga ini tetap bersih dan mekar indah.
“Itulah gambaran pemimpin yang luhur. Tetap bersih meski berada di lingkungan yang buruk,” ujar Taufik lagi.
Mahkota megah ini dibuat pada masa Sultan Syarif Kasim I, menjelang penobatan Sultan Syarif Hasyim pada tahun 1864. Kini, mahkota tersebut menjadi pusaka kerajaan yang dilindungi, dan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Tak Benda Nasional.
“Mahkota ini bukan sekadar benda bersejarah. Ia adalah warisan spiritual, kebudayaan, dan simbol kekuasaan yang sah. Pusaka yang sangat langka dan harus terus kita jaga,” kata Taufik. (Tribunpekanbaru.com/Syaiful Misgiono)