Soal Proyek Whoosh, Pengamat Nilai Sulit Langsung Meminta Tanggung Jawab Jokowi
Whoosh digadang-gadang sebagai salah satu proyek mercusuar dan ambisius di masa pemerintahan mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
TRIBUNPEKANBARU.COM - Ahli kebijakan publik dari Universitas Diponegoro (UNDIP), Teguh Yuwono, memberikan pandangannya mengenai pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas besarnya utang dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Proyek transportasi modern tersebut diketahui menimbulkan beban utang yang sangat besar, mencapai lebih dari Rp100 triliun, yang kini turut menekan keuangan BUMN, terutama PT KAI (Persero) selaku salah satu pemegang saham utama.
Kereta cepat yang mulai beroperasi pada 2 Oktober 2023 itu mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sekitar 1,2 miliar dolar AS setara dengan Rp19,54 triliun dari rencana awal sebesar 6,07 miliar dolar AS.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS (Rp116 triliun) pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Adapun proyek Whoosh digadang-gadang sebagai salah satu proyek mercusuar dan ambisius di masa pemerintahan mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Setelah terungkap besarnya beban dari proyek kereta cepat ini, nama Jokowi pun turut terseret hingga dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Baca juga: Lula Tepuk Tangan Usai Prabowo Putuskan Bahasa Portugis Jadi Pelajaran di Sekolah Indonesia
Baca juga: Sutikno Resmi Jabat Kajati Riau, Dilantik Jaksa Agung ST Burhanuddin
Lantas, benarkah Jokowi harus menanggung utang proyek tersebut?
Pakar Kebijakan Publik: Tidak Bisa Dibebankan Hanya kepada Jokowi
Mulanya, Teguh Yuwono menyebut, suatu proyek pemerintah, ketika dicanangkan dan dilaksanakan, maka sifatnya adalah institusional.
Pihak-pihak yang menandatangani proyek tersebut bukan lagi perorangan, melainkan sudah atas nama negara atau pemerintah.
Hal ini dia sampaikan ketika menjadi narasumber dalam program On Focus yang diunggah di kanal YouTube Tribunnews, Rabu (22/10/2025).
"Perlu dicatat, dalam sistem pemerintahan kita, ketika negara atau pemerintah mengambil keputusan, maka keputusan itu bersifat institusional," tutur Teguh.
"Ketika seseorang [pejabat publik] sudah menandatangani sesuatu, itu dia atas nama negara, atas nama pemerintah. Jadi pihak-pihak [yang menandatangani] itu bukan perorangan."
"Jadi, saya kira, ada orang yang salah memahami tata kelola pemerintahan. Harusnya, pihak-pihak yang melakukan tanda tangan kontrak, maka itu adalah kontrak kelembagaan atau institusional."
| Sebentar Lagi Diumumkan, KPK Bocorkan Ciri-Ciri Calon Tersangka Kasus Korupsi Kuota Haji |
|
|---|
| 'Gibran Jadi Beban Politis Presiden Prabowo' Direktur IPO Sebut Sang Wapres Tak Dianggap |
|
|---|
| BABAK Baru Kasus Istri Potong Alat Vital Suami: Pelaku Pakai Pisau Cutter, Sempat Dilarikan ke RS |
|
|---|
| Prabowo Subianto Akan Jadikan Bahasa Portugis Menjadi Bahasa Prioritas di Sistem Pendidikan |
|
|---|
| Kunci Jawaban Tugas Halaman 155 IPA Kelas 7 SMP/MTs Kurikulum Merdeka Identifikasi Tumbuhan |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.