Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Komunitas Kebaya Menari Tampil di KBRI Takhta Suci

Pentas Budaya ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan ulang tahun ke-75 Hubungan Diplomatik Republik Indonesia dan Takhta Suci.

Editor: Sesri
FOTO/DOK
KBRI Takhta Suci menggelar pentas budaya bekerja sama dengan Komunitas Kebaya Menari, Sabtu (24/10). 

Tarian sebagai Media

Tarian yang dipentaskan di KBRI Takhta Suci, antara lain  tari Legong Bapang Durga (Bali), representasi agama Hindu. Dalam sejumlah tulisan, termasuk jurnal ilmiah, Tari Legong Bapang Durga, disebut sebagai tari klasik.

Tarian ini pada tahun 1933 ditarikan oleh Ni Ketut Polok, seorang penari legendaris palegongan dari Kelandis, Denpasar yang menikah dengan Le Mayeur–seorang pelukis dari Belgia. 

Tarian ini, sarat makna.  Antara lain, menggambarkan karakter ketegasan dan ketangkasan dari gerak legong yang tersirat dalam bentuk bapang. Kata "Durga" bagi masyarakat Hindu, mengacu pada nama istri Dewa Siwa. 

Durga juga dikenal dengan nama Uma atau Parwati. Durga adalah ibu dunia; yang bertugas melindungi manusia dari kesulitan yang ditimbulkan oleh serangan musuh atau orang jahat. Dewi Durga disebut sebagai ibu alam semesta. Sebab, ia merupakan perwujudan dari kasih sayang serta kelembutan.

Di berbagai kebudayaan, Durga digambarkan memiliki beraneka wujud dan rupa. Di India, misalnya, ia biasanya digambarkan sebagai wanita cantik berkulit kuning yang menunggangi seekor harimau. Durga digambarkan memiliki banyak tangan yang memegang senjata berbeda, hadiah dari para dewa.

Maka tarian Legong Bapang Durga yang begitu atraktif--gerak kaki, tangan, jemari hingga sudut mata--sangat membuat penonton kagum. Tarian ini, menyampaikan nilai-nilai budaya, nilai-nilai kehidupan, dan mitologi. 

Selain tari Legong  Bapang Durga, ditampilkan juga tari Bedhaya Ura-ura (Jawa,), representasi agama Katolik, dan Tari Zatin (Sumatera) representasi agama Islam.  Tari Bedhaya pada awalnya difungsikan untuk sebuah pertunjukan atau ritual. Tari Bedhaya Ketawang, misalnya,  merupakan jenis tarian kebesaran yang memiliki nilai kesakralan tinggi dan hanya dipentaskan dalam momen-momen istimewa seperti penobatan serta peringatan naik takhta raja di lingkungan Kesunanan Surakarta. 

Karena itu, tarian ini memiliki tempat khusus di hati masyarakat maupun keluarga keraton karena dianggap suci dan sarat makna spiritual.

Asal mula tarian ini berkaitan dengan pengalaman spiritual Sultan Agung saat menjabat sebagai penguasa Kesultanan Mataram pada tahun 1613 hingga 1645. 

Namun, di era kontemporer seperti saat ini, bedhaya sudah tidak lagi selalu dikaitkan dengan prosesi ritual melainkan hiburan dalam sebuah pertunjukan. Meskipun ditarikan secara gemulai oleh tujuh perempuan penari, tetapi suasana meditatif masih sangat terasa, karena  iringan gamelan minimal. 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved