Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Menjaga Napas Bakau di Antara Riuh Angin Selat Rupat

Bandar Bakau bukan sekadar bentang alam. Ia adalah "tameng hidup"  yang melindungi Dumai dari abrasi laut yang setiap tahun

Penulis: Donny Kusuma Putra | Editor: Sesri
Tribunpekanbaru.com/Donny Putra
Darwis M. Saleh saat berada di sekitar bandar Bakau di Dumai 

TRIBUNPEKANBARU.COM, DUMAI - Di tepian Jalan Nelayan Laut, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Provinsi Riau, hamparan hijau mangrove tumbuh rapat, menutup pandangan ke Selat Rupat.

Akar-akar udara yang menjuntai seperti jemari tua itu seolah menjadi penjaga abadi pesisir. Inilah "Bandar Bakau" hutan mangrove seluas hampir 26 hektare rumah bagi 24 jenis bakau dari 36 jenis yang ditemukan di Kota Dumai, Riau.

Bandar Bakau bukan sekadar bentang alam. Ia adalah "tameng hidup"  yang melindungi Dumai dari abrasi laut yang setiap tahun semakin menggerus garis pantai 2 sampai 5 meter.

Bukan semata-mata menahan abrasi, Bandar Bakau adalah rumah kehidupan, tempat primata luar biasa monyet, lutung, kepiting bakau, ikan tembakul, ular air dan bakau, dan burung-burung  bernaung dan berkembang biak.

Dari akar hingga pucuk daunnya, setiap bagian pohon bakau menopang kehidupan lain.

Bandar Bakau menjadi ekosistem alami yang menampung rantai kehidupan yang saling bergantung. Ketika air pasang datang, ikan-ikan kecil berlindung di sela akar, saat surut, burung-burung bermigrasi singgah mencari makan.

Semua hidup dalam keseimbangan yang dijaga oleh tangan-tangan manusia yang mencintai alam.

Bila hutan ini hilang, bisa dibayangkan, daratan pesisir Dumai akan terkikis ombak perlahan-lahan, dan Kecamatan Dumai Kota Akan tenggelam.

Di balik rimbun bakau itu, ada sosok yang telah mengabdikan separuh hidupnya untuk menjaga kawasan ini.

Namanya Darwis Muhammad Saleh  atau akrab disapa Atuk Wis sapaan khas Melayu untuk seorang yang dituakan.

Atuk Wis menyambut tamu di pondok kayu sederhana yang berdiri di tengah hutan mangrove. Berkaos lusuh dan bersarung, pria berusia 57 tahun itu menyiapkan dua cangkir kopi hitam. Angin selat Rupat yang menyusup di sela-sela dedaunan bakau membuat aroma kopi makin pekat.

"Sudah 15 tahun saya tinggal di sini, di tengah-tengah bakau," ujarnya sambil tersenyum.

"Kalau orang lain sibuk dengan kota, saya sibuk dengan akar bakau yang saya cintai layaknya istri," ucapnya sambil menyeruput kopi hitam pekat buatan sang Istri tercinta

Dari pondok itulah, Atuk Wis menghabiskan hari-harinya. Setiap pagi Ia berjalan menyusuri jembatan susur  menuju pantai, memeriksa tunas-tunas baru yang tumbuh dari lumpur, sekaligus menikmati nyanyian berbagai jenis burung yang singgah. 

Ceritanya tentang perjuangan menjaga bakau atau benteng pertahanan terakhir  ini dimulai sejak 1999  jauh sebelum kawasan itu dikenal dengan nama "Bandar Bakau". Kala itu, area ini hanyalah lahan bakau biasa yang hendak digarap dan ditebang untuk perluasan pelabuhan oleh PT Pelindo I Dumai.

"Saat itu Saya protes dengan cara saya sendiri. Waktu itu  orang sibuk menebang Bakau, saya tanam lagi. Ditebang lagi, saya tanam lagi. Begitu terus. Saya yakin, bakau ini bagian dari nafas, bukan sekadar pohon," celoteh Darwis

Nama Bandar Bakau  baru diresmikan Atuk Wis pada 2010 silam, terinspirasi dari Bandar Serai di Kota Pekanbaru. Dalam budaya Melayu, bandar  adalah pusat kehidupan dan keramaian. "Kalau Pekanbaru punya Bandar Serai, kenapa Dumai tak punya? Maka saya namakan saja Bandar Bakau," ungkap Atuk Wis

Sejak itu, kawasan ini perlahan menjadi ikon lingkungan dan edukasi di Kota Dumai. Selain menyimpan keanekaragaman hayati, kawasan ini juga sarat nilai budaya.

Atuk Wis mengaitkan keberadaan hutan bakau ini dengan legenda Putri Tujuh, kisah rakyat yang melekat dalam memori orang Melayu Dumai

Dalam cerita itu, buah bakau disebut sebagai senjata magis yang menaklukkan pasukan kerajaan Empang Kuala. "Saya percaya, bakau di sini bagian dari warisan legenda itu. Buahnya tumbuh, jadi hutan yang melindungi kota," ujar Darwis

Perjuangan Atuk Wis menjaga Bandar Bakau tak selalu mulus. Ia kerap dianggap mengganggu rencana pembangunan daerah, bahkan sempat dianggap menempati lahan tanpa izin, namun Ia tak gentar.

Perlahan, suara dan tindakannya justru menarik perhatian pemerintah dan lembaga lingkungan, yang mana Upayanya berbuah manis, hal itu dibuktikan dengan sejumlah penghargaan nasional Ia raih diantaranya, Adi Bhakti Mina Bahari 2009 dari Menteri Kelautan, Kader Konservasi Nasional 2010 dari Kementerian Kehutanan, Setia Lestari Bumi 2010  dari Gubernur Riau.

Puncaknya, melalui SK Menteri KLHK No. 903 Tahun 2016, kawasan Bandar Bakau ditetapkan sebagai hutan produksi terbatas, kemudian diperkuat dengan Perda Provinsi Riau No. 10/2018 dan No. 15/2019. Status hukum itu menegaskan bahwa kawasan ini kini terlindungi.

Meski begitu, perjalanan Atuk Wis tak selalu seindah penghargaan yang menghiasi dinding pondoknya. Di masa pandemi Covid-19, pengunjung sepi, dana konservasi seret, jembatan susur mulai lapuk. Ia sempat putus asa.

Namun, pada  2022 , datang kabar baik.  PT Pertamina Hulu Rokan (PHR)  hadir membawa semangat baru lewat program  Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

"Waktu itu seperti angin segar di tengah musim kemarau. PHR datang, bukan hanya bawa bantuan, tapi bawa harapan," kata Atuk Wis tersenyum

Sejak 2022 hingga saat ini 2025,  kolaborasi antara PHR dan Kelompok Pecinta Alam Bahari yang dipimpin Atuk Wis terus  berjalan, yang mana  PHR membantu pembangunan berbagai fasilitas penting di kawasan bandar Bakau.

Mulai Jembatan susur kayu sepanjang 85 meter dan susur batu 65 meter, Gapura utama, Balai seminar 10x12 meter, Panggung teater alam 15x15 meter serta Pusat Informasi Mangrove.

Tak berhenti di sana, PHR juga mendukung budidaya 5.000 bibit mangrove dan penanaman rutin di kawasan pesisir Dumai.

Program berlanjut di 2024 dan 2025 penyambungan jalur trekking, pembangunan toilet, spot swafoto, pemberdayaan UMKM lokal, hingga galeri batik tulis berbahan pewarna alami dari mangrove hingga menjadikan kawasan ini Ecoeduwisata

Seiring dukungan itu, Bandar Bakau kini menjelma menjadi kawasan ecoeduwisata tempat belajar sekaligus wisata. Setiap minggu dan bulan, rombongan pelajar datang untuk mengenal ekosistem pesisir, menanam bibit mangrove, dan memahami pentingnya konservasi.

"Anak-anak sekarang bisa belajar langsung dari alam. Mereka tahu kenapa bakau harus dijaga, bukan hanya karena indah, tapi karena ia pelindung," ujar Atuk Wis

Kini wajah Bandar Bakau berubah. Jalur beton menggantikan papan-papan rapuh. Di panggung teater, anak-anak muda sering tampil membawakan puisi bertema alam. Di kios kecil, ibu-ibu menjual minuman dingin dan cendera mata.

Selain wisatawan lokal, Bandar Bakau juga kerap dikunjungi mahasiswa, peneliti, hingga turis mancanegara. Mereka datang meneliti ekosistem bakau atau sekadar menikmati senja di antara akar dan lumpur yang sunyi.

Kelompok Pecinta Alam Bahari yang dibina Atuk Wis kini berkembang menjadi beberapa subkelompok, Kelompok tani hutan yang fokus pada pembibitan, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) untuk promosi wisata, serta  UMKM dan kelompok usaha bersama yang membuat produk kuliner dan batik mangrove.

Setiap tiga bulan, mereka rutin melakukan penanaman mangrove baru. Hingga kini, sekitar 50.000 pohon  telah ditanam di pesisir Dumai.

"Menanam bakau itu seperti menanam masa depan, Mungkin saya tak sempat melihat hasilnya seratus tahun lagi, tapi anak cucu kami akan merasakannya," lirihnya ‎

Kolaborasi PHR dengan masyarakat Dumai menjadi contoh nyata bahwa pelestarian lingkungan bisa sejalan dengan pemberdayaan ekonomi. Dari bakau, tumbuh wisata dari wisata, tumbuh kehidupan baru.

Sr Officer Media Relation Zona Rokan Victorio Chatra Primantara mengaku kolaborasi antara PHR dan pencinta Alam ini adalah wujud nyata penerapan pola pentahelix sinergi antara perusahaan, akademisi, pemerintah, komunitas, dan media.

"Kami ingin ekosistem mangrove ini menjadi warisan bagi generasi mendatang. Bukan hanya lestari, tapi juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat," ujar Victorio

Victorio menegaskan, PHR akan terus berkomitmen menjalankan program TJSL di bidang lingkungan, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pihaknya  ingin menjaga alam, sekaligus menumbuhkan nilai kemanusiaan di dalamnya.

‎"Kami akan tetap akan berkolaborasi untuk menjaga Kota Dumai dari Abrasi, melalui tanaman Bakau sebagai benteng terakhir melawan serangan ombak selat rupat," tegas Victorio

‎Perhatian juga datang dari Wali Kota Dumai, Paisal memberikan apresiasi tinggi terhadap dedikasi Atuk Wis dan kerja sama PHR dalam menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir. 

Menurutnya, sosok seperti Atuk Wis adalah contoh nyata bagaimana kepedulian masyarakat bisa menjadi kekuatan utama dalam pelestarian alam.

"Kami bangga Dumai memiliki figur seperti Atuk Wis, seorang pencinta alam sejati yang konsisten menjaga hutan bakau. Beliau bukan hanya pelestari lingkungan, tapi juga penggerak edukasi bagi generasi muda," ujar Paisal.

"Kami berharap kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan PHR terus berlanjut agar Bandar Bakau tetap menjadi perisai alami Dumai dari ancaman abrasi," tambahnya

Pemerintah Kota Dumai, lanjut Paisal, telah memasukkan Bandar Bakau sebagai kawasan wisata alam unggulan berkelanjutan di Kota Dumai.

Kawasan ini akan dikembangkan sebagai destinasi edukatif berbasis konservasi, dengan konsep ecoeduwisata yang melibatkan masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha.

"Kami ingin Bandar Bakau menjadi kebanggaan Dumai, bukan hanya karena keindahan alamnya, tapi karena semangat gotong royong masyarakat dan kolaborasi lintas sektor yang menjaga kelestariannya," ungkapnya Paisal

‎Sementara, Rangga salah satu warga Dumai sekaligus pengunjung ‎Bandar mengaku bahwa wajah hutan bakau di Bandar Bakau sudah sangat menarik dan nyaman di kunjungi. 

"Bersantai bersama rekan rekan di tengah Bandar Bakau  nyaman, spot foto semakin banyak, dan tempat Kopi juga ada," imbuh Rangga

Rangga berharap keberadaan Bandar Bakau bisa terus hadir dan semakin berkembang, jangan sampai Bandar Bakau sebagai Tameng Dumai melawan kejamnya ombak selat Rupat. 

Menatap ke arah laut di ujung jembatan susur yang kini kokoh, Atuk Wis terdiam sejenak. Di wajahnya tersirat lega. 

Semoga Bandar Bakau tetap menjadi pelindung Dumai dari abrasi, dan PHR terus bersamanya menjaga hutan ini tetap hidup.

Baginya, kolaborasi bukan sekadar program, tapi pertautan hati antara manusia dan alam. Selama akar bakau masih tumbuh di lumpur, Ia yakin, Dumai akan tetap berdiri kokoh menghadapi ombak

Di Bandar Bakau, kehidupan bukan sekadar tumbuh Ia berakar, bertahan, dan memberi makna, dan di antara akar-akar itu, nama Atuk Wis  akan selalu dikenang sebagai penjaga yang menolak menyerah, bahkan ketika dunia hampir lupa pada hutan kecil di tepian Dumai.

(Tribunpekanbaru.com/donny kusuma putra)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved