Haji 2018
6 Bulan di Atas Kapal, Perjalanan Haji Tahun 1800 Butuh Perjuangan hingga Sampai Tanah Suci
Jemaah calon haji diberikan tempat khusus dalam ruang gudang (palka) dengan masing-masing berukuran 1-1,5 meter persegi.
TRIBUNPEKANBARU.COM- Perjalanan haji pada masa lalu menyimpan banyak cerita.
Pada masa itu, berhaji merupakan perjalanan ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mapan secara ekonomi.
Perjalanan yang dilalui dari Indonesia menuju Tanah Suci juga tak mudah.
Jalur laut menjadi pilihan utama, karena perjalanan haji via udara baru berlaku tahun 1952, dengan tarif yang dua kali lebih mahal daripada dengan menggunakan kapal laut.
Bagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya, pada 1800-an?
Kala itu, sistem perjalanan haji diatur oleh pemerintah Kolonial.
Baca: Ponsel Meledak di Tangan Saat Dengar Musik, 3 Jari Bocah Ini Putus
Baca: Ini Klarifikasi Rektor UIN Suska Riau Pasca Aksi Protes Saat PBAK Mahasiswa Baru
Baca: Buang Sampah Sembarangan, Puluhan Warga Terjaring OTT, Ada yang Ditahan!
Haji pada Masa Kolonial
Pada abad 18, sistem ibadah haji dikuasai dan dikelola oleh pihak kolonial.
Pemerintahan kolonial melakukan pendataan terhadap seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji.
Selain itu, mereka melakukan kontrol terhadap sistem perhajian pada masa itu.
Dikutip dari buku " Naik Haji di Masa Silam Tahun 1482-1890" yang ditulis oleh Henri Chambert-Loir, Gubernur Jenderal Daendles menetapkan bahwa demi keamanan dan ketertiban, para jemaah haji harus mengantongi dokumen perjalanan selama bepergian ke Tanah Suci.
Pada 1825, calon haji harus membeli sebuah paspor dengan harga 110 gulden di Kantor Bupati.
Angka ini termasuk mahal pada masa itu.
Sementara, secara tak resmi, Bupati ditugaskan untuk memperlambat arus haji.
Pada 1859, kebijakan kolonial berubah lagi.