Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Trans Celebes Bicycle Touring

Tafakur di Makam Tuanku Imam Bonjol, Tasman dan Pesepeda Lainnya Berhasil Tempuh 2.000 Km

Atap Bagonjong di kompleks makam Tuanku Imam Bonjol mengingatkanku akan kampung halaman menjadi penanda yang khas dari Rumah Adat Minangkabau

Editor: harismanto
Foto/Tasman Jen
Tasman Jen di Makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol di Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara 

Setelah sukses dengan Tour de Borneo atau Borneo Long Distance Cycling, Tasman Jen (60), personel Trio Lisoi bersama Syaiful (56), Bambang Trave (53) dan Widodo (53), memulai Trans Celebes Bicycle Touring. Empat pesepeda yang blusukan di pulau Sulawesi dengan bersepeda ini akhirnya berhasil menempuh jarak sekitar 2.000 Km. Berikut catatan perjalanannya yang dituliskan secara bersambung oleh Tasman Jen untuk pembaca Tribun Pekanbaru.

INNAALILLAHI wainnailahi rojiun. Inilah ucapan untuk mengawali. Pagi ini jam 09.00 WITA, saat kami akan melewati Desa Blongko Kecamatan Sinonsayang, Amurang Minahasa Selatan, terjadi tanah longsor dan banjir Bandang dari Bukit Blonko. Penduduk setempat panik berlarian di jalan raya ke arah selatan searah datangnya kami dari Desa Boyong.

Terlihat mereka membawa barang yang bisa diselamatkan. Sepeda kami tempatkan di zona yang dirasa aman lalu aku berusaha mencari sumber longsor dan berpapasan dengan masyarakat yang terlihat panik, menangis, berteriak memanggil keluarganya. Timbunan tanah campur lumpur terlihat menutupi beberapa unit rumah dan jalan aspal trans Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Utara dengan Gorontalo.

Baca: Tasman dan Kawan-kawan Berkemah di Teluk Tomini Nan Memesona

Menurut penduduk setempat longsor sudah dimulai sejak malam disusul pagi sewaktu kami lewat. Saya belum dapatkan info apakah ada korban atau tidak. Petugas kepolisian sudah ada yang datang untuk evakuasi masarakat ketempat aman.

Aku mencari alternatif naik perahu melewati laut ke ujung jalan arah Manado tapi tukang perahu juga enggan membawa kami karena gelombang laut tinggi sangat berbahaya. Insya Allah kami akan tunggu disini dengan masyarakat setempat,mohon doanya. Salam dari Minahasa Selatan.

Saat ini sudah jam 3 sore. Hampir 5 jam kami menunggu tapi kelihatannya banjir bandang di Desa Blongko tidak mungkin bisa berakhir hari ini karena hujan masih berlangsung terus dan pembukaan jalan yang tertimbun tidak mungkin bisa dilakukan.

Posisi kami saat ini berada diantara bukit dan pantai. Jalan raya dipenuhi kendaraan dan penumpang ditambah penduduk lokal yang terlihat kebingungan dan ketakutan. Aku juga merasakan perasaan galau itu terbayang seandainya longsor juga terjadi di bukit dekat tempat kami sekarang tidak ada tempat untuk berlindung ataupun melarikan diri.

Baca: Tasman Jen dan Pesepeda Lainnya Ziarah ke Makam Dato Karama Ulama Asal Minangkabau di Palu

Kami mengambil keputusan untuk kembali ke daerah aman dengan menumpang bus-bus yang terjebak dan akan kembali ke Gorontalo atau cari jalan alternatif ke Manado.

Sopir bus Harvest yang dari tadi nongkrong akhirnya menyerah dan mereka akan pulang mencari jalan alternatif ke Manado. Dengan bus ini akhirnya kami diizinkan menumpang ke luar ke daerah aman. Kami sudah tidak peduli mau dibawa kemana yang penting cari daerah aman dulu.

Sepeda dan barang sudah kami loading di bus lalu kami cari makan siang warung muslim dan istirahat serta sholat di masjid Almuhajirin yang berjarak 500 meter dengan bus.

Hujan masih terus turun. Kami berteduh di rumah warga. Tiba-tiba terlihat bus harvest yang kami tumpangi jalan balik ke arah selatan. Kami berempat sempat kaget lalu berhamburan dalam hujan lebat mengejar bus seperti atlit sprinter 100 meter sambil berteriak memanggil bus.

Orang ramai di warung ketawa geli dan keheranan melihat kami lari terbirit-birit. Akhirnya setelah 300 meter bus berhenti. Kami naik bus dengan badan basah kuyup seperti ayam kehujanan.

Baca: Balik Kampung Hendak Lihat Candi Muara Takus, IKMAL Justru Kecewa

Sambil ngos-ngosan mengatur nafas saya tanya sama supir bus rencana mau kemana dia menjawab sambil becanda "Kita akan kembali ke Palu om" katanya. Aduh masih sempat becanda dia,Palu kan di Sulawesi tengah. Ah sudahlah,aku sudah nggak peduli kemanapun dibawa yang penting keluar dari daerah rawan longsor tersebut.

Dibandingkan menunggu yang tak jelas lebih baik berangkat dan kita masih punya harapan dan tujuan saat ini. Om Syaiful mencoba buka GPS memastikan posisi kita ternyata posisi mengarah ke selatan dan sebelum kota Baroko dan di desa Nanasi belok kiri menuju kota Mobagu dan menelusuri jalan yang ujungnya sampai di Danau Moat. Yaitu danau kecil dan jalan yang jarang dilewati kendaraan.

Ranting ranting pohon yang rendah sering tertabrak badan kendaraan yang menimbulkan bunyi pletak..pletuk. Sopir bus agak kewalahan menelusuri jalan kecil yang belum dikenalnya di malam yang gelap tanpa penduduk.

Perasaan agak tegang juga dengan kodisi jalan yang kecil dan berlobang-lobang ini. Aku coba perhatikan di Google Map nama jalannya Trans Kota Mobagu dan akhirnya setelah 8 jam perjalanan kami keluar dekat Benteng Portugis Amurang. Lokasinya bisa tembus ke jalan Trans Sulawesi kabupaten Amurang yang sudah melewati tempat bencana longsor Blongko. Bus mulai berjalan normal tenang di pagi yang dingin itu.

Aku lihat Om Bambang, Om Widodo terkulai layu tidur mengikuti goyangan bus di bangku paling belakang. Didepan mereka berjejer sepeda kami. Kami terlalu lelah untuk mengamankan sepeda agar tidak lecet. Ternyata sewaktu sampai di Manado beberapa bagian dari frame sepeda ada yang lecet.

Aku duduk di kursi kedua dari belakang. Di sebelahku Om Syaiful tertidur pulas. Begitu juga mataku mulai terpejam diayun lembut bus dijalan yang mulus hingga kernet bus membangunkanku bahwa kita sudah sampai di kota Manado.

Baca: Bergelimang Harta dan Kemewahan, Siapa Sangka Artis Ini Punya Rumah Seperti Ini, Jangan Kaget Ya

Aku lihat jam menunjukan pukul 00.30 tengah malam dan hujan masih turun deras. Tidak banyak terlihat orang disitu hanya beberapa angkot dan sopirnya menunggu dengan penawaran jasa angkutannya. Dari papan nama di warung menunjukan bahwa kita berada di terminal bus Malalayang Dua Manado.

Sepeda dan barang yang tempatnya berserakan di bus kami kumpulkan di lantai terminal yang basah dan becek oleh genangan hujan lalu memasang semua perlengkapan barang-barang di sepeda.

Ada beberapa sopir angkutan yang menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke penginapan. Tapi dengan halus kami tolak karena kami mengatakan akan pergi ke masjid.

Tengah malam yang sepi masih diliputi hujan rintik-rintik sepeda kami bergulir lagi menuju ke masjid Asmaul Husna di kecamatan Malalayang yang tidak jauh dari terminal bus. Tidak ada Marbot atau penjaga masjid waktu itu. Tapi alhamdulillah pagar masjid tidak di kunci jadi kami masuk saja dan sholat serta istirahat di terasnya.

Ziarah ke Makam Tuanku Imam Bonjol
Subhanallah terasa lega setelah badan dikeringkan dan melakukan sholat magrib dan isya yang di jamak takhir. Selesai subuh kami dapat pesan singkat om Herri Parera dari komunitas sepeda Manado bahwa beliau menjemput kami. Hingga akhirnya bertemu di sebuah warung nasi Briani di jalan RW Mongonsidi kearah Pineleng.

Selesai sarapan kami lanjut ziarah ke makam Tuanku Imam Bonjol di sebuah Desa Lota. Desa Lota saat ini adalah sebuah desa kecil di Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Tak jauh dari Kota Manado.

Jarak tempuhnya hanya sekitar 9 km jalan cukup datar sedikit ada rolling terasa enak untuk bersepeda pagi itu. Di samping jembatan, belok kiri ada sebuah gapura bertuliskan ‘Gerbang Menuju Makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol’.

Kami masuk ke jalan kecil beraspal dan menanjak. Di pinggir jalan ada beberapa rumah penduduk. Semakin ke dalam, Lota terkesan tenang, asri dan sejuk. Tak heran terdapat beberapa biara Katolik di sini.

Tempatnya memang cocok bagi para pencari keheningan, tapi tentu berbeda dengan perasaan Tuanku Imam bonjol disaat diasingkan oleh penjajah ke situ dan dipisahkan dengan sahabatnya ke daerah asing tidak berpenghuni pada tahun 1854 silam.

Setelah lebih kurang 3 Km menanjak kami sampai di sebuah lokasi di sebelah kanan kami ada masjid Imam Bonjol. Di seberang mesjid, kamboja merah muda tumbuh subur menjadi bingkai penghias tugu informasi makam Sang Pahlawan Nasional.

Pelataran parkir lengang dan sepi. Angin semilir menghembuskan samar aroma mawar hutan bercampur Kamboja. Taman di muka makam itu asri, sederhana namun rapi. Bunga bunga yang menghiasi jalan ke makam terlihat begitu anggun menghiasi makam sang pejuang.

Kompleks depan makam berada di area pemukimam warga, dibatasi dinding yang tidak terlalu tinggi. Sementara area makam ke belakang adalah sepetak tanah yang dipenuhi pohon rindang dan rumpun bambu, terus menurun hingga ke tepian sungai berair deras.

Atap Bagonjong mengingatkanku akan kampung halaman menjadi penanda yang khas dari Rumah Adat Minangkabau di belakang taman. Menapaki tangga kira-kira 25 pijakan, bangunan bercat putih dengan tujuh pintu berteralis berdiri senyap.

Di dalamnya bersemayam Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin dalam pusara berkeramik putih. Makam bernuansa Islam ini dipagari rantai berkeliling setinggi setengah meter. Terdapat kaligrafi ayat Alquran di bagian tengah makam.

Dinding ruangan bernuansa putih berkeramik dari lantai hingga dinding. Terdapat relief Tuanku Imam Bonjol mengacungkan tangannya di atas seekor kuda putih. Keberanian melawan penjajah tercermin dari kepalan tangan dan sorot matanya.

Secara jasmani, perjuangan Tuanku Imam Bonjol berakhir di Lotta. Tetapi, seperti terlihat dari relief di dinding keramik, ada bara perjuangan di hati dan pikirannya.

Aku coba tafakur dan mengenang perjuangan dan pengorbanan beliau yang begitu mulia. Terasa sendu di kerongkonganku betapa berat beban mental yang harus dipikulnya saat itu. Sebagai rasa hormatku aku panjatkan doa semoga beliau di tempatkan di alam sana bersama orang orang sholeh yang dimuliakan Allah. Amin!

Tidak jauh dari komplek makam kira kira 600 meter turun menuju sungai Malalayang kiri kanan ditumbuhi pohon bambu. Ada satu batu alam sebesar 1x2meter yang permukaannya datar dahulunya terletak persis di pinggir sungai tapi sekarang sudah di pagar dengan bangunan sebagai mushala.

Konon di batu itu adalah tempat sang Imam menunaikan sholat. Saya agak kaget juga karena dibatu itu dirumahkan dan disatu sudut ada dupa entah apa maksudnya. Mudah-mudahan jangan terjadi praktik kesyirikan disitu.

Masuk waktu dzuhur kami sholat di masjid Imam Bonjol kemudian kami meninggalkan komplek makam menuju kota dan menginap di rumah om Heri Parera.

Keesokan harinya, tanggal 13 Februari 2018 adalah hari ke 28 perjalanan sepeda ekpedisi kami di pulau Sulawesi. Dimulai dari Makassar ujung selatan Sulawesi sampai ujung utara Sulawesi yaitu Manado.

Sampai disini kami ingin beristirahat dulu setelah menempuh perjalanan sejauh lebih kurang 2.000 km dengan segala suka dan duka. Pencapaian ini bukanlah karena kehebatan kami tapi semua ini semata mata atas karunia dan izin Allah.

Pesan moral dari perjalanan ini "untuk mencapai tujuan percaya pada diri sendiri tetaplah bersemangat dan berdoa". Terimakasih pada para pembaca yang telah sudi mengikuti dan memberikan doa pada kami selama di perjalanan dan sampai jumpa di perjalanan berikutnya. (TAMAT)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved