Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Nadia Murad Raih Nobel Perdamaian 2018: Begini Kisah Lengkap Mantan Budak Seks ISIS Itu

Masih ingat Nadia Murad yang pernah dijadikan budak seks ISIS? Nadia baru saja menerima nobel perdamaian

AP PHOTO
Nadia Murad, perempuan pegiat hak asasi manusia yang juga korban yang selamat dari kekejaman kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) 

Tak lama berselang, Salman menyuruhnya mandi, mengenakan gaun hanya sampai lutut. Ia juga disuruh menggunakan krim penghilang bulu di sekujur tubuhnya.

“Aku berdiri di depan cermin kamar mandi. Aku tahu jika tidak mengenakan make-up apa pun, akau akan dihukum. Aku lalu melihat sebuah tumpukan di samping. Biasanya, keponakanku dan aku sangat menyukai make-up baru. Kami akan berdiri di depan cermin, merias mata dengan warna-warna yang berbeda, lalu menutupi bintik-bintik dengan foundation. Di rumah Hajji Salman, aku hampir tidak kuat melihat diri di depan cermin. Aku memakai lipstik dan riasan mata merah muda—cukup, saya berharap, untuk menghindari pukulan.”

Si Salman ini punya tabiat suka pamer. Ketika memperkosa Murad, ia akan melenguh sekeras-kerasnya, seolah-olah ingin penjaga dan seluruh Mosul mendengar dan tahu bahwa ia berhasil memperkosa sabiyya.

“Sentuhannya dilebih-lebihkan, kuat, yang artinya sangat menyakitiku … aku seperti anak kecil, menangis karena ingat ibu,” tulis Murad lagi.

Sudah begitu, Murad tak pernah luput dari hukuman. Salman tidak senang dengan caranya membersihkan rumah. Salman juga akan sangat marah jika Murad menangis saat ia memperkosanya.

Lebih dari itu, Salman juga mengancam Murad jika berani melarikan diri.

Dan itu benar-benar ia lakukan saat mengetahui Murad beberapa kali mencoba melarikan diri dengan cara mengenakan jubah yang biasa dikenakan perempuan muslim.

Seminggu kemudian, Murad dikirim ke enam laki-laki lainnya dan memperkosanya serta memukulinya, sebelum diserahkan kepada laki-laki lain yang berniat membawanya ke Suriah.

Tapi pertama-tama, laki-laki itu harus membelikannya lebih banyak pakaian. Mau tidak mau, ia harus meninggalkannya dalam beberapa hari.

Dan kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Murad untuk melarikan diri. Pertama-tama ia mencoba mendobrak pintu depan, gagal. Ia mencobanya lagi lebih keras, dan akhirnya berhasil.

Entah kenapa, si laki-laki yang hendak membawanya ke Suriah itu membiarkannya tidak terkunci di rumah sendirian.

Setelah berhasil mendobrak pintu, Murad terus berjalan dan tak mau berhenti. Ia mengenakan pakaian abaya, dengan wajah tertutup laiknya perempuan muslim pada umumnya, dan, bagaimanapun juga, ia tetap sangat ketakutan.

“Jika ada Sunni yang mau menolongku, pastinya adalah Sunni yang miskin,” ia beralasan.

Setelah jauh berjalan, ia melihat sebuah rumah yang bangunannya mirip dengan rumahnya di Kocho. Ia mengetuk pintu rumah itu.

“Aku mohon, bantu aku,” katanya, tidak tahu apakah akan diselamatkan malah justru akan dihancurkan.

Salah seorang laki-laki yang ada di rumah itu kemudian menariknya. “Lebih aman di sini,” kata laki-laki itu.

Keluarga tersebut, yang membenci ISIS, membiarkannya tinggal bersama mereka selama beberapa hari sembari menyiapkan sebuah rencana: salah satu anak laki-laki di rumah, Nasser namanya, akan mengantarnya keluar dari wilayah ISIS.

Jika ada yang bertanya, ia akan berpura-pura menjadi suaminya. Dan rencana itu berhasil dengan sangat baik.

Dengan menggunakan kartu identitas palsu serta sebuah alasan baru saja mengunjungi keluarga di Irak yang dikuasai Kurdi, Murad dan Nasser berhasil melewati banyak pos pemeriksaan ISIS sampai ia bertemu kembali dengan dua saudara laki-lakinya di sebuah kamp pengungsian.

Tapi perjuangan Murad belum berhenti sampai di situ.

Saat dilakukan filter terhadap para pengungsi baru, Murad akhirnya tahu apa yang telah terjadi dengan orang-orang terkasihnya.

Ibunya telah ditembak dan dikubur di sebuah kuburan dangkal bersama dengan 85 perempuan Yazidi lainnya.

Lima saudara laki-lakinya dieksekusi. Keponakannya diculik ISIS dan akan dicucui otaknya. Dan dua saudara perempuannya, masih di dalam tahanan.

Untungnya, salah satu saudara laki-lakinya berhasil ditemukan di rumah sakit terdekat. Murad menolak bercerita kepada saudara laki-lakinya yang masih hidup tentang apa saja yang telah ia alami.

Ia tahu, cerita tersebut justru akan menyakiti keluarganya.

Meski begitu, Murad menceritakan beberapa penggal kisahnya kepada beberapa reporter berita.

Ketika Murad Ismael, direktur eksekutif Yazda, sebuah kelompok advokasi Yazidi, sedang mencari orang yang mau bercerita kepadanya untuk dibawa ke Dewa Keamanan PBB, Murad bersedia bercerita.

Lebih dari setahun kemudian, Murad diterbangkan melintasi Samudra Atlantik untuk pertama kalinya. Tujuannya adalah New York, di mana ia harus berpidato di depan PBB.

Dengan tenang, ia bilang: “Kalian adalah yang menentukan apakah gadis-gadis lain, di belahan dunia lain, akan menjalani kehidupan yang sederhana atau dipaksa hidup dalam penderitaan dan perbudakan—seperti aku.”

Pidato itu kemudian menjadi titik balik.

“Aku percaya pidato Nadia meningkatkan kesadaran tentang tirani ISIS, yang sekarang telah mengalami kemunduran,” ujar Ismael kepada The Post.

Agustus tahun lalu, Dewan Keamanan mengeluarkan sebuah resolusi untuk menunjuk penyelidik independen untuk mengumpulkan bukti kejahatan ISIS, sebuah langkah awal untuk meminta pertanggung jawaban mereka atas eksekusi massalnya.

The Post melaporkan, lebih dari 3.000 perempuan dan anak-anak masih diperbudak ISIS dan 300 ribu orang Yazidi masih mengungsi.

Murad sekarang tinggal di sebuah kota di dekat Stuttgart, Jerman, melalui sebuah program yang melibatkan 1.100 pengungsi Yazidi pada 2015 lalu.

Pada September 2016, UN Office on Drugs and Crime menunjuknya sebagai duta korban perdagangan manusia yang selamat. Ia juga dinominasikan untuk mendapatkan Nobel Perdamaian.

Oleh Time, ia juga disebut sebagai perempuan paling berpengaruh pada 2016 lalu.

Tak lama berselang, dua saudara perempuannya juga dibebaskan dari perbudakan ISIS. Dimal (34) kemudian tinggal di Jerman bersama Murad, sementara Adke (31) berada di sebuah kamp pengungsian di Kurdistan.

Lepas dari itu, Murad hanya berharap bukunya bisa menjangkau khalayak yang lebih luas.

Sebagian dari hasil penjualan buku itu, katanya, digunakan untuk mendukung korban-korban selamat dan membawa ISIS ke pengadilan.

Sumber: Grid.ID
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved