Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

UPDATE Kondisi Gunung Anak Krakatau: Puncak Hilang Setengah Sebabkan Laut di Sekitar Berubah Warna

video kondisi terkini Gunung Anak Krakatau yang banyak beredar, terlihat warna air laut disekitar gunung tiba-tiba berubah warna menjadi oranye.

Foto-fot PLANET LABS, INC via BBC Indonesia
Kondisi Gunung Anak Krakatau 

UPDATE Kondisi Gunung Anak Krakatau: Puncak Hilang Setengah Sebabkan Laut di Sekitar Berubah Warna

TRIBUNPEKANBARU.COM - Kondisi terkini Gunung Anak Krakatau tampak dibagikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.

Sutopo Purwo Nugroho membagikan video kondisi terkini Gunung Anak Krakatau melalui akun Twitter pribadinya.

Berdasarkan video kondisi terkini Gunung Anak Krakatau yang banyak beredar, terlihat warna air laut disekitar gunung tiba-tiba berubah warna menjadi oranye.

Perubahan warna air laut dari biru menjadi oranye tersebut terjadi pasca Gunung Anak Krakatau (GAK) berkali-kali mengalami erupsi.

Namun ternyata tak hanya air laut di sekitar GAK yang berubah oranye, tubuh gunung juga hilang lebih dari setengah dair volume sebelumnya.

Dilansir tribunpekanbaru.com dari laman kompas.com, volume Gunung Anak Krakatau mengalami pengurangan dari 338 meter menjadi tinggal 110 MDPL.

Baca: UPDATE Kondisi Terkini Gunung Anak Krakatau, Aktivitas Vulkanik Menurun, Warga Mulai Pulang

Baca: Bukan Cuma Gunung Anak Krakatau, 3 Gunung di Indonesia Ini juga Berstatus Siaga III

Baca: VIDEO: Live Streaming Final Thailand Master 2019 Pukul 13.00 WIB, Fitriani Wakili Indonesia

Data tersebut disampaikan secara langsung oleh sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM, Antonius Ratmopurbo.

Antonius mengungkapkan bahwa hilangnya puncak Gunun Anak Krakatau disebabkan karena pembentukan tubuh gunung api yang disertai erupsi.

Pengamat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) membenarkan kabar tersebut.

"Berdasarkan analisis visual pada Jumat (28/12/2018) pukul 14.18 WIB, sudah dikonfirmasi Gunung Anak Krakatau yang tinggi semula 338 meter sekarang tinggal 110 meter," tulis PVMBG dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Minggu (30/12/2018).

"Berkurangnya volume tubuh GAK diperkirakan karena adanya proses rayapan tubuh gunung api disertai laju erupsi yang tinggi pada 24 sampai 27 Desember 2018," imbuh PVMBG.

Lalu seperti apa kondisi terkini Gunung Anak Krakatau?

Dari twitter Sutopo Purwo, berikut kondisi terkini Gunung Anak Krakatau, Minggu (13/1/2019).

Baca: Terungkap Bagian Tubuh Manusia yang Paling Awal Mengalami Penuaan, Waspada!

Baca: Sedang Live IG Handphone Cewek Cantik Ini Dilarikan Monyet, Coba Terka Dibawa Kemana?

Baca: Intip Teaser Drama Korea Terbaru Lee Jong Suk Romance Is A Bonus Book, Tayang 26 Januari 2019

 Video terlekat 

Sutopo Purwo juga tampak membubuhkan keterangan terkait fenomena perubahan warna laut di sekitar Gunung Anak Krakatau yang berwarna oranye tersebut.

Sutopo menjelaskan warna orange kecokelatan tersebut adalah hidrosida besi (FeOH3) yang mengandung zat besi tinggi yang keluar dari kawah dan larut ke dalam air laut.

"Kondisi Gunung Anak Krakatau pada 11/1/2019 yang didokumentasikan @EarthUncutTV.

Warna orange kecokelatan adalah hidrosida besi (FeOH3) yang mengandung zat besi tinggi yang keluar dari kawah dan larut ke dalam air laut.

Tubuh Gunung Anak Krakatau telah banyak berubah," tulis Sutopo Purwo.

Tak hanya mengunggah video kondisi terkini Gunung Anak Krakatau dan fenomena berubahnya warna air laut di sekitar gunung, Sutopo juga membagikan foto penampakan morfologi GAK, pada Minggu (13/1/2019).

Berikut penampakan Gunung Anak Krakatau pascalongsor ke bawah laut sehingga menyebabkan kawah berada di bawah permukaan laut.

Baca: Prostitusi Online Libatkan Mahasiswi, Ini 6 Fakta yang Perlu Kamu Ketahui

Baca: Remaja 14 Tahun yang Rawat Seorang Diri 2 Adik Balitanya Dikunjungi Wabup Pelalawan

Baca: Fotonya Ada di Baliho Prabowo-Sandi, Gatot Nurmantyo Minta Diturunkan Secepatnya

 Kondisi morfologi Gunung Anak Krakatau yang diunggah Sutopo Purwo Nugrohho di Twitter

tangkap layar Twitter Sutopo_PN
Kondisi morfologi Gunung Anak Krakatau yang diunggah Sutopo Purwo Nugrohho di Twitter

"Perubahan morfologi Gunung Anak Krakatau yang begitu cepat. Pascalongsor bawah laut (22/12/2018) menyebabkan kawah berada di bawah permukaan laut. Namun pada 9/1/2019 bagian barat-barat daya yang sebelumnya di bawah permukaan laut, saat ini sudah di atas permukaan laut," tulis Sutopo Purwo pada unggahan tersebut.

Dikabarkan sebelumnya, kondisi Gunung Anak Krakatau kini masih ditetapkan status Siaga (level 3) sejak 27 Desember 2018 lalu.

Meskipun data menunjukkan letusan gunung yang intensitasnya cukup tinggi, namun aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tergolong aman. 

Sejarah Gunung Krakatau

Dilansir dari WIkipedia, Krakatau adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra yang termasuk dalam kawasan cagar alam.

Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27 Agustus 1883.

Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia.

Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer.

Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Baca: UPDATE Perusakan Baliho di Pekanbaru, Partai Demokrat Akan Beri Bantuan Hukum pada Pelaku

Baca: Ramalan Zodiak Hari Ini Minggu 13 Januari 2019, Leo Emosi Menumpuk, Taurus Bakal Kecewa

Baca: Hasil Liga Inggris Liverpool FC vs Brighton, Mohamed Salah Jadi Penyelamat di Kandang Lawan

Selat Sunda

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global.

Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer.

Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska.

Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit.

Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.

Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut.

Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi.

Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut. Gunung Krakatau yang meletus, getarannya terasa sampai Eropa.

Gunung Krakatau Purba

Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883.

Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.

Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:

Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara.

Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.

Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda.

Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung.

Letusan gunung ini disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi.

Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.

Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki.

Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.

Munculnya Gunung Krakatau

Perkembangan Gunung Krakatau

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik.

Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.

Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus.

Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.

Erupsi 1883

Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, terjadi ledakan pada gunung tersebut.

Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geographic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarahmanusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.

Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern.

The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.

Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik.

Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.

Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter.

Tsunami (gelombang laut) naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.

Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat.

Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.

Anak gunung krakatau dibawah laut.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved