Muara Takus, Tempat Belajar Ribuan Biksu yang Layak Jadi Warisan Dunia
Candi Muara Takus yang terletak di Kecamatan XIII Koto itu dahulu kala diyakini menjadi tempat berkumpulnya ribuan biksu untuk menuntut ilmu
Penulis: Hendra Efivanias | Editor: Firmauli Sihaloho
Muara Takus, Tempat Belajar Ribuan Biksu yang Layak Jadi Warisan Dunia
TRIBUNPEKANBARU.COM - Matahari masih terik ketika sekitar 3.500 umat Buddha berkumpul di komplek Candi Muara Takus, Kabupaten Kampar, Riau untuk memperingati hari Waisak Nasional 2563 BE/2019 akhir bulan Mei lalu. Panasnya yang cukup menyengat terlihat tak menyurutkan mereka berada di komplek candi.
Ada yang sibuk mempersiapkan lilin yang diletakkan dalam rangkaian kertas berbentuk teratai. Ada pula sekelompok remaja yang menyusun lilin dengar formasi berbentuk huruf-huruf. Beberapa orang lagi mengangkat rangkaian buah-buahan lalu meletakkannya di altar utama dekat patung Buddha berwarna emas.
Menjelang malam, ribuan umat yang tadinya masih ada di luar mulai memasuki komplek candi. Secara berkelompok, mereka kemudian duduk dengan alas seadanya di atas tanah. Kemudian, prosesi 60 biksu dan pemuka agama Buddha kemudian memasuki area altar.
Setelah merapalkan doa, para biksu kemudian melangkah mengelilingi komplek candi melakukan parade bendera serta parade pataka Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) oleh 26 provinsi. Parade itu diikuti ribuan umat.
Kirab ribuan manusia itu terlihat khusyuk dengan tanpa putus merapalkan kalimat doa sembari menggenggam lilin elektrik. Cahaya dari lilin itu terlihat seperti gerombolan besar kunang-kunang di tengah suasana malam yang cukup gelap di sekitar candi.
Kemudian, upacara dilanjutkan prosesi air suci, pradaksina, persembahan puja paritta, puja bakti dan meditasi, malam suci Waisak dan dana paramita, pemberkahan dan penutup puja bakti.
Menjelang tengah malam, acara ditutup dengan festival Candi Muara Takus yang ditandai dengan pelepasan 2.000 lampion ke udara.
Ribuan umat Buddha yang ada di situ bukan hanya warga Provinsi Riau. Karena peringatan hari Waisak nasional tahun ini dipusatkan di Candi Muara Takus, Karenanya, Keluarga Buddhayana Indonesia dari sejumlah daerah turut hadir. Bahkan ada yang berasal dari mancanegara.
Candi Muara Takus bagi umat Buddha sebenarnya tak kalah penting seperti Borobudur yang selama ini sudah jauh dikenal. Namun, gaung Candi Muara Takus memang tak senyaring Borobudur. Apalagi dalam daftar objek bersejarah yang kerap dikunjungi wisatawan.
Itulah sebabnya, saat hadir dalam peringatan Waisak, Gubernur Riau, Syamsuar berharap acara tersebut mampu menjadi magnet penarik wisatawan. Gubernur juga berharap candi tersebut ditetapkan menjadi warisan dunia oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Saat ini, candi itu disebut sudah masuk dalam daftar bakal menjadi warisan dunia di UNESCO. Dengan dukungan umat Buddha, gubernur berharap, penetapan Candi Muara Takus sebagai situs warisan dunia makin dipercepat.
Potensi Candi Muara Takus ditetapkan sebagai situs warisan dunia dianggap besar. Karena, komplek yang terdiri dari Candi Sulung, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka itu diyakini sudah ada sejak abad ke-7 lalu.
Di mata Sejarawan Riau, Suwardi MS, Candi Muara Takus merupakan peninggalan langka awal perkembangan agama Buddha. Khususnya di masa Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan penguasa Nusantara bagian Barat. Kekuasaannya melingkupi Thailand Selatan dan Semenanjung Malaya.
Buktinya, bisa dilihat dari prasasti Ligor yang ada di bagian selatan Thailand. Kerajaan Sriwijaya juga membuat sebuah terusan yang menghubungkan Laut Hindia dengan Cina Selatan. Untuk seterusnya terhubung ke Jalur Sutra yang di masa lalu menjadi jalur perdagangan terpenting. Jalur ini menurut Suwardi dipakai oleh tiap orang yang ingin ke India.
Candi Muara Takus yang terletak di Kecamatan XIII Koto itu dahulu kala diyakini menjadi tempat berkumpulnya ribuan biksu untuk menuntut ilmu. Satu di antaranya yaitu biksu asal Tiongkok, I-Tsing yang mempelajari bahasa Sansekerta sebelum menunaikan niatnya belajar Buddha Dharma di India.
Dilansir dari Historia.id, catatan I-Tsing atau Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin.
I-Tsing bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya.
Banyak keuntungan yang dapat dirasakan jika candi ini masuk situs warisan dunia. Salah satunya menurut Suwardi, akan semakin banyak peneliti yang belajar dan melakukan kajian di Muara Takus. Hal itu membuka kemungkinan semakin banyaknya fakta sejarah baru yang dapat tergali dari situs tersebut.
Suwardi meyakini, masih banyak yang bisa digali dari area sekitar Muara Takus. Karena, di masa pemerintahan Belanda dulu, area candi itu yang berhasil ditemukan baru sekitar 2 kilometer persegi. Di masa kemerdekaan, bertambah menjadi 25 kilometer persegi.
Terakhir, Suwardi menyebut ada ditemukan lagi ratusan area yang dipercaya menyimpan situs bersejarah.
“Itu masih yang di daratan, belum masuk area yang sudah ditenggelamkan untuk waduk Koto Panjang,” katanya kepada Tribun, Jumat (21/6/2019).
Karena itu, penetapan oleh UNESCO dianggap penting jika ingin lebih dalam menguak hubungan bangsa Cina, India dan Melayu (Sriwijaya) di masa lalu.
Cepat atau tidaknya penetapan oleh UNESCO memang cukup penting bagi berbagai pihak.
Tapi yang tak kalah penting, sejarah mencatatkan bahwa Muara Takus memiliki peran sentral yang mengharmoniskan berbagai orang dari macam-macam latar belakang. Yaitu rasa persatuan. (Tribunpekanbaru.com/Hendra Efivanias)
