Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Terjadi Panic Buying atau Memborong Makanan di Toko karena Corona, Psikolog Ungkap Sisi Lain Manusia

Dr Cindy Chan menjelaskan jika 'latah' ini adalah tindakan yang terkait dengan psikologi manusia.

ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA VIA KOMPAS.COM
Sejumlah warga membeli masker dan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) di Pasar Pramuka, Jakarta, Senin (2/3/2020) lalu. Harga masker dan hand sanitizer di sentra alat kesehatan tersebut mengalami lonjakan dari 600 persen hingga 1.400 persen akibat permintaan konsumen yang meningkat drastis setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Kota Depok positif terinfeksi virus corona.(ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA) 

Faktor-faktor tersebut menyebabkan manusia takut mereka tidak memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri.

"Manusia merasa perlu memiliki kontrol, jadi mereka keluar dan membeli banyak barang: nasi, tisu toilet, dan merasa mereka sudah melakukan hal terbaik untuk diri mereka, yaitu mengontrol kebutuhan. Itu adalah sebuah fenomena pemikiran kelompok, mentalitas kawanan," jelasnya.

Dari pandangan ilmu saraf, saat manusia menghadapi ancaman, untuk kali ini, Covid-19, bagian otak bernama amygdala yang memproses rasa takut dan emosi, bekerja secara berlebihan.

Aktivasi berlebihan amygdala dengan sementara mematikan pemikiran rasional kita.

"Kita tidak bisa berpikir logis, dan mudah dipengaruhi oleh pemikiran kelompok, tindakan kita juga semakin irasional," ujar Chan.

Sementara itu Dr Sara Houshmand, psikolog konselor di Pusat Kesehatan Hong Kong, mengatakan jika dalam kondisi ekstrim, perilaku perlindungan diri ini seringnya menyugesti tindakan antisipasi berlebihan.

Pembelian latah dan panik juga memperkuat penilaian tidak akurat, meskipun hal tersebut memberi sensasi lega dan pengambil alihan kontrol, bertindak atas perilaku gelisah seringnya perkuat keyakinan jika saat itu kita sedang dalam bahaya.

Houshmand menyebut, "sebagian besar yang terlibat dalam perilaku ini sepakat jika tisu toilet tidak memiliki imunitas terkait virus corona.

Sehingga seiring berjalannya waktu, perilaku perlindungan diri ini justru membuat orang semakin stress dan gelisah yang akan mengganggu psikologi masing-masing orang."

Professor Psikologi di Universitas Hong Kong, Dr Christian Chan, menyebut jika tingginya level kegelisahan di gelombang kepanikan dan latahnya para warga tunjukkan kurangnya kepercayaan dengan pemerintah.

"Pertanyaannya adalah dari mana sumber info itu, siapa yang kamu percaya, dan hal itu yang sering kita lihat dengan orang-orang panik akan hoax.

"Dalam sejarah, kepercayaan rakyat dengan pemerintah sudah tercatat rendah, orang-orang percaya pada mereka yang memberi mereka masker wajah baik itu seorang radikal maupun hanya seorang reporter.

Pemerintah perlu meraih kembali kepercayaan orang-orang sehingga saat mereka bilang tidak ada lagi stok tisu toilet dan beras, orang dapat percaya."

Bahkan, ujaran dan nasihat "jangan panik" lebih buruk dari semua nasihat, menurut John Drury, Professor Psikologi Sosial di Universitas Sussex, Inggris.

Anjuran itu berdasarkan ketidakpercayaan pemerintah dengan "massa" yang berpotensi menjadi irasional.

Sumber: Grid.ID
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved