Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Kisah Inspiratif

KISAH Mahasiswa Asal Riau di Azerbaijan, Tak Bisa Pulang karena Lockdown hingga Rindu Sholat Tarawih

"Disini kita tarawih di rumah saja, karena belum pernah saya liat ada tarawih disini. Makanya rindu tarawih berjamaah di kampung," ujarnya.

Penulis: Nasuha Nasution | Editor: Nolpitos Hendri
Tribun Pekanbaru/Istimewa
KISAH Mahasiswa Asal Riau di Azerbaijan, Tak Bisa Pulang karena Lockdown hingga Rindu Sholat Tarawih 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Dua mahasiswa asal Riau Nurhaqmi dan Ilham Sandi Yoga Badri menjalani Ramadhan tahun ini di Negara Republik Demokratik Azerbaijan, berpuasa di negara perbatasan Eropa dan Asia ini ternyata bagi mereka bukan sesuatu yang indah.

Apalagi berada ditengah kalangan mayoritas muslim Syiah, dan ditambah kultur serta makanan yang jauh berbeda dengan Indonesia, membuat mereka harus bersabar melewati puasa di sana.

Parahnya lagi, mereka menjalani Ramadhan ditengah pandemi wabah covid-19, yang mengharuskan mereka harus berdiam di rumah karena penerapan pembatasan sosial atau Lockdown.

Keduanya saat ini sedang menjalani kuliahnya di Naxcivan University dengan mengambil jurusan International relations, keduanya sudah tinggal di Azerbaijan setahun atau dua kali Ramadhan.

Naxcivan sendiri merupakan Republik otonomi naxcivan, Provinsi yang terpisah dari negaranya, dipisahkan oleh negara Armenia.

"Kami sudah setahun di Azerbaijan, dan tahun ini merupakan kali kedua berpuasa di sini (Azerbaijan). Kami menjadi orang minoritas disini karena yang lebih dominan itu kaum Syiah," ujar Nurhaqmi saat mulai bercerita dengan Tribunpekanbaru.com melalui seluler.

Untuk mahasiswa Indonesia di Azerbaijan hanya 12 orang dari seluruh universitas di sana, hanya mereka berdua di Provinsi Naxcivan luar Ibukota Negara Baku, selebihnya di ibukota negara.

Untuk menjalani ibadah solat Tarawih sendiri, memang mereka sejak berada di Azerbaijan tidak pernah menjalankan tarawih di mesjid atau Musholla.

Mereka hanya menjalani ibadah di Rumah.

"Disini kita tarawih di rumah saja, karena belum pernah saya liat ada tarawih disini. Makanya rindu tarawih berjamaah di kampung," ujarnya.

Hanya saja untuk Solat Jumat, biasanya mereka menjalankan solat Jumat di sana dengan bercampur antara paham Sunni dan Syiah.

Tentu menyesuaikan diri dengan suasana yang baru bagi mereka awalnya sedikit sulit.

"Tapi kami harus menyesuaikan diri, karena suasana di sini berbeda dengan Indonesia, pengalaman berharga juga kami dapatkan dari negara ini," cerita Ilham didampingi Nurhaqmi.

Untuk makanan khas di Azerbaijan sendiri bagi Nurhaqmi dan Ilham sangat jauh dari kata cocok bagi lidah mereka orang Indonesia.

"Kami selalu masak sendiri di rumah, biasanya kita masak telur dan cabe, terkadang ikan sarden, sekali-sekali ayam," ujar mereka yang berangkat kuliah melalui Yayasan Pengkaderan Riau (Yapari) tersebut.

Puasa tahun lalu di Negara Berjuluk Negara Api itu, mereka bisa keluar sambil mengisi waktu melakukan kegiatan yang ada.

Namun untuk puasa tahun ini hanya dirumah saja dan tidak ada kegiatan lain selain belajar sholat tadarus tidur, sosmed.

"Karena kondisi ini terasa sekali lama puasanya. Apalagi puasa disini 16 jam," jelas Nurhaqmi.

Menurut Nurhaqmi dan Ilham, hal yang sangat dikangenin mereka menjalani Ramadhan di Azerbaijan masakan khas orangtua mereka di kampung yakni ikan teri cabe merah dan spesial saat buka puasa yang menjadi khas mereka di Riau pecal.

"Masakan orang tua yang sederhana ikan teri cabe merah, dikala bulan puasa ini kangen pecal, di sini kami nggak bisa jumpai," ujar Ilham yang setiap hari masak untuk kebutuhan buka dan sahurnya.

Azerbaijan menurutnya sudah lama menerapkan lockdown sehingga, untuk pertambahan jumlah korban tidak begitu cepat karena penerapannya sangat ketat.

Hanya ada 164 kasus dengan 7 orang meninggal.

KISAH Arie Bule Pemuda Asal Riau di Pakistan

Arie Bule seorang pemuda asal Riau harus menjalani puasa di Pakistan karena ia tidak bisa pulang ke Riau karena adanya lockdown akibat wabah Covid-19.

Hal itu membuat ia harus menetap di Pakistan dan menjalani pusa Ramadhan di sana.

Semua orang hampir di seluruh belahan dunia saat ini merasakan dampak pandemi wabah covid-19.

Terutama bagi kalangan muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Mereka tidak bisa maksimal meramaiakan masjid dan mushalla mereka sebagaimana bulan ramadhan biasanya.

Masing-masing pemerintah di berbagai negara membuat kebijakan penerapan Lockdown ataupun pembatasan sosial untuk mengurangi penyebaran virus yang mematikan itu.

Begitu juga halnya dengan kebijakan yang diterapkan Negara Pakistan, yang dikenal dengan jumlah penduduk muslimnya mayoritas dan masuk dalam jumlah populasi muslim terbesar di dunia.

Meskipun ada penerapan Lockdown di negara tersebut, namun mahasiswa asal Riau yang berada di sana masih bersyukur bisa menjalankan ibadah sholat Tarawih di masjid namun hanya dibatasi untuk kalangan tertentu untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Muhammad Arie Mufait yang kerap dipanggil Ari Bule, warga Riau yang saat ini menjalani puasa di Pakistan, di sana ia menjalani puasa menahan lapar dan haus mencapai 16 hingga 17 Jam.

Selama pandemi covid-19 ini Mahasiswa di Pakistan berpuasa di lingkungan kampus saja , dan kampus di Lockdown dikarenakan keadaan yang semakin sulit.

Bagi yang di dalam kampus tidak dapat keluar dari pekarangan kampus dan begitu juga sebaliknya.

"Saat ini kami mahasiswa diberikan makan atau sahur gratis setiap paginya oleh pihak kampus untuk meringankan biaya pengeluaran Mahasiswa selama covid-19 ini," ujar Arie Bule kepada tribunpekanbaru.com Rabu (6/5/2020).

Sementara untuk sholat terawih masih diadakan di dalam asrama yang berada di dalam kampus, dalam kampus ada 4 Asrama dan setiap 1 gedung asrama memiliki 1 mushalla untuk sholat.

"Alhamdulillah Mahasiswa Pakistan masih bisa merasakan sholat tarawih berjamaah bersama teman-teman Indonesia lainnya," ujar Arie.

Selama pandemi covid-19 ini mahasiswa di Pakistan juga diberhentikan semesternya sampai waktu yang tidak ditentukan.

Bagi Arie ini menjadi sebuah kesedihan karena ia baru belajar satu semester di sana.

"Selama covid-19 ini di Pakistan susah untuk mendapatkan air alami, dan sekarang mahasiswa harus meminum air keran (cooler) atau membeli air yang lebih mahal di kantin yang ada di asrama.

Bisa menguras uang apalagi situasi pandemi covid-19 ekonomi sangat tidak stabil dan banyak pekerjaan yang tidak berjalan seperti biasanya," jelas Arie.

Bagi Arie kesedihan yang paling dirasakannya, disaat semangat-semangatnya menuntut ilmu di negara orang, malah aktivitas perkuliahan dihentikan karena adanya virus tersebut.

"Sedih sekali rasanya baru satu tahun di Pakistan sudah merasakan hal-hal seperti ini, tapi kami di sini masih bersyukur, bisa sholat di mushalla tapi dengan jaga jarak, mungkin ada negara yang tidak bisa sholat itu sangat meneteskan air mata," ujarnya.

Apalagi ia melihat berita di Indonesia yang saat ini adanya pembatasan untuk tidak berjamaah di masjid, menurutnya sangat menyedihkan, apalagi biasanya masjid dipenuhi anak-anak tadarus.

"Sekarang sudah tidak ada lagi, beruntunglah bagi daerah atau negara yang masih bisa melaksanakan sholat terawih dan tadarus, semoga semuanya ada hikmah yang indah di balik ini semua," ujarnya.

KISAH Pemuda Asal Riau Jadi Gharim Masjid di Yordania

Muhammad Rafli Kurniawan mahasiswa asal Riau, hanya bisa menjalani Ramadhan nya tahun ini di rumah karena wabah covid-19 di negara tempat tinggalnya sekarang Yordania.

Kesedihannya bertambah karena ditengah menghadapi wabah, ia jauh dari keluarganya di tanah air.

"Saya berpuasa di negara Yordania ini selama 15 jam , mulai pukul 4.15 - hingga 19.30 waktu Yordania, selama adanya lockdown di negara ini, kegiatan yang saya lakukan hanya dilakukan di rumah," ujar Rafli mulai bercerita dengan Tribunpekanbaru.com melalui seluler.

Mahasiswa jurusan Ushul fiqh Mu'tah university Yordania ini sekarang menjalankan aktivitasnya semua di rumah, mulai dari belajar, solat dan ibadah lain termasuk menghafal Alquran.

Biasanya bila tidak ada wabah covid-19 ini, ia sangat menikmati suasana Ramadhan di Yordania, karena disambut penuh suka cita masyarakat di sana dan selalu dijalani dengan penuh kebersamaan.

KISAH Pemuda Asal Riau Jadi Gharim Masjid di Yordania, Tak Bisa Pulang karena Lockdown Akibat Corona
KISAH Pemuda Asal Riau Jadi Gharim Masjid di Yordania, Tak Bisa Pulang karena Lockdown Akibat Corona. Foto : Muhammad Rafli Kurniawan di Yordania. (Tribun Pekanbaru/Istimewa)

"Sangat sedih rasanya bagi saya tidak bisa balik ke kampung halaman di bulan yang suci ini dan saya sangat sedih juga ketika tak bisa berbuka puasa dan sahur bersama keluarga tercinta. Ini kali ke dua Ramadhan saya tidak menjalankannya di negara yang sangat saya cintai Indonesia," ujar Rafli.

Rafli merupakan satu dari beberapa mahasiswa Riau yang dipercaya masyarakat di Yordania untuk menjadi imam Masjid yang berada di daerah Al-Mazar,Karak,Yordania.

Namun karena wabah covid-19 ini, ia tidak bisa menjadi imam di Masjid tersebut.

"Saya hanya ghorim tinggal di Masjid, orang arabnya menyediakan rumah buat kami tempati berada di samping Masjid nya," ujarnya.

Menjadi gharim ini sudah dilakoni Rafli bersama empat temannya yang juga berasal dari Indonesia yakni satu temannya dari Riau dan satu dari Papua sedangkan satu lagi dari pulau Jawa.

"Alhamdulillah kami diamanahkan jadi imam dan membersihkan Masjid di Yordania ini," jelas Rafli.

KISAH Pemuda Asal Riau Jadi Gharim Masjid di Yordania, Tak Bisa Pulang karena Lockdown Akibat Corona
KISAH Pemuda Asal Riau Jadi Gharim Masjid di Yordania, Tak Bisa Pulang karena Lockdown Akibat Corona. Foto : Muhammad Rafli Kurniawan di Yordania dan teman-temannya. (Tribun Pekanbaru/Istimewa)

Pengalaman Rafli menjalani Ramadhan di sana, mereka sangat senang ketika menjalani Ramadhan di Yordania, karena masyarakat di negara itu sangat menyayangi orang - orang asing yang ada disekitar mereka.

"Biasanya mereka memberikan berbagai macam makanan dan buah - buahan untuk kami berbuka, juga mereka memberikan kepada kami sedikit uang jajan, layaknya mereka memberikan uang jajan kepada anaknya sendiri," ujar Rafli.

Menurut Rafli, masyarakat Yordania melakukan hal itu bukan karena kasihan kepada mereka (mahasiswa), melainkan karena mereka sudah menganggap mahasiswa sebagai anaknya sendiri.

Kisah Inspiratif - Tribunpekanbaru.com / Nasuha Nasution.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved