FEATURE : Tantangan Bagi Petualang, Telusuri Sungai Rawa dan Rimba Menuju Taman Nasional Zamrud Riau
Rombongan ekspedisi mencari jalur baru menuju Taman Nasional Zamrud ini diikuti Bupati Siak Alfedri dan jajaran, Kepala BBKSDA Riau Suharyono
Penulis: Mayonal Putra | Editor: Nolpitos Hendri
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Menuju Taman Nasional Zamrud, di kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau dari jalur yang belum dilalui umum tentu memberikan kesan menarik.
Apalagi jalur baru ini melalui aliran sungai Rawa yang membelah hutan-hutan rawa gambut dan berhulu di danau pulau Bawah, Danau Zamrud.
Tribun berkesempatan mengikuti ekspedisi menyusuri Sungai Rawa menuju Taman Nasional Zamrud tersebut, Sabtu (11/7/2020).
Rombongan ekspedisi mencari jalur baru menuju Taman Nasional Zamrud ini diikuti Bupati Siak Alfedri dan jajaran, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Suharyono dan jajaran, polisi air, NGO lingkungan dan pegiat lingkungan di kecamatan Sungai Apit.
Ekspedisi ini merintis jalan lain dengan berbagai tantangannya menuju eksotisnya Taman Nasional Zamrud, yang menyimpan genangan dalam yang dikenal dengan Danau Pulau Bawah dan Danau Pulau Besar ( Danau Zamrud ).
Perjalanan dimulai dari pelabuhan nelayan, di sungai Rawa, kampung Rawa Mekar Jaya, kecamatan Sungai Apit.
Rombongan sudah dinanti belasan sampan mesin milik nelayan setempat.
Satu sampan diisi oleh 3-4 orang saja.
Pukul 09.00 WIB, rombongan berangkat dan iring-iringan belasan sampan mesin perlahan meninggalkan pelabuhan kusam itu.
Sampan yang tribun tumpangi sering berpapasan dengan sampan -sampan nelayan yang sedang memancing ikan.
Ternyata di kampung Kayu Ara Permai ini tidak hanya kaum laki-laki saja yang mendayung sampan ke sungai.
Kaum ibu juga membawa 5-8 kail dan membentang mata pancing di perairan berwarna coklat kehitaman itu.
Jika nasib baik, satu persatu mata pancing yang mengait umpan disergap toman, tapah atau lele hutan.
Namun bila hari tak beruntung, di situlah nelayan-nelayan lokal ini menguji kesabarannya.
Setidaknya begitulah keterangan Sutrisno (53), juru mudi sampan yang kami tumpangi.
Saat Sutrisno berpapasan dengan kaum pemancing itu, mereka saling melempar senyum.
Bahkan saling melambaikan tangan.
Kaum laki-laki dan kaum perempuan paruh baya di kampung ini, hampir separuhnya hidup dari aliran sungai, mencari ikan.
Sutrisno yang telah menghabiskan usianya sebagai nelayan Sungai Rawa, jalur menyeramkan ini tidaklah jalan asing baginya.
Ia sangat lihai mengendalikan kemudi sampan saat ada tunggul-tunggul kayu mati menancap di tengah sungai rawa gambut itu.
Semakin jauh kami meninggalkan pelabuhan, semakin lebat pula hutan yang dibelah sungai itu.
Pandan berduri menyemaki kiri kanan sungai, dan monyet bergelayut di dahan-dahan mahang.
Haluan sampan kami terpaksa menyibak arus bagian kanan untuk mengelak sebatang mahang rimbun yang tumbang ke sungai.
"Kalau hujan dan angin kencang banyak pohon tumbang ke sungai. Nanti kami nelayan yang membersihkan biar sampan mudah lewat," urai Sutriano lagi.
Semakin siang panas matahari semakin terasa menyengat kulit.
Beberapa sampan pun mati mesin akibat tersangkut reranting kayu mati di dalam sungai.
Sampan yang ditumpangi petugas BBKSDA Siak Muhammad Zanir sempat menabrak dinding sampan kami, hingga sampan kami menabrak pandan berduri.
Berkat kelihaian Sutrisno, akhirnya perjalanan bisa dilanjutkan.
Setelah 3 jam mengarungi sungai Rawa dengan suasana hutan yang lebat kiri kanan, kami belum juga sampai ke Taman Nasional Zamrud.
Kata Sutrisno, ini baru separuh perjalanan.
Sementara sungai semakin tampak mengecil akibat lebatnya rimba bakung mengepung perairan.
Jalan sampan tersisa hanya tampak seperti jalan setapak akibat lebatnya rimba bakung di punggung sungai itu.
"Di sungai ini sarangnya ikan tapah, toman, gabus dan lele hutan. Tapi mesti hati-hati juga," kata Sutrisno yang membuat kami sedikit bergidik.
Selain lebatnya tumbuhan bakung di sepanjang sungai, perjalanan ini semakin menantang.
Speedboat yang diitumpangi Bupati Siak Alfedri dan Kepala BBKSDA Riau Suharyono sempat tersangkut 2 kali.
Pada kali kedua, speedboat itu mati mesin dan perlu penanganan.
Belasan sampan mesin lain, termasuk yang kami tumpangi terpaksa harus meninggalkan rombongan bupati.
Sebab, langit tampak gelap dan perjalanan masih 2 jam lagi.
"Ya duluan saja, kami nanti menyusul," teriak Alfedri saat kami sapa.
Dua jam menjelang sampai di camp nelayan lokal, perjalanan semakin menantang.
Rimba bakung nyaris tak menyisakan jalannya sampan, sedangkan kiri kanan sungai sudah dihiasi tingginya pohon meranti.
Sesekali terdengar kecipak biawak di akar bakung. Kadang kami harus waspada bila ada hewan yang lain.
Sebelum sampai pada titik ini, kami juga melihat pemandangan yang menjengkelkan.
Camp-camp ilegal loging dan banyaknya kayu mahang yang sudah ditebang mengapung di sisi kiri sungai.
Benar saja, aktivitas itu ilegal dan menjadi catatan tersendiri polisi dan BBKSDA yang ikut dalam ekspedisi ini.
"Itu kayu mahang ditebang orang. Pondok-pondok yang tadi kita lihat itu pondok-pondok pekerjanya," ujar Sutrisno lagi.
Saat dikepung rimba bakung itu, tiba-tiba sampan yang kami tumpangi juga mati mesin.
Sutrisno dengan cepat memeriksanya.
"Oh BBM-nya habis," ujar Sutrisno.
Lalu ia menyulang BBM cadangan dalam jerigen ke tangki mesin.
Saat mesin sampan ini mati, bebunyian hewan-hewan di alam liar terasa memekak ke telinga.
Seekor elang dengan kepakan sayap yang panjang tampak mengintai ikan dari atas kepala kami.
Angin yang menerpa dedauan pandan berduri dan pohon rasau bersahutan dengan suara burung dari kejauahan, serta suara monyet berebut buah di hutan itu.
"Sebentar lagi kita masuk ke kawasan lindung Zamrud," kata Sutrisno memecah ketegangan kami.
Setelah mesin diengkol, akhirnya sampan kami melaju.
Menyibak lebatnya rimba bakung.
Jika tidak hati-hati, daun-daun bakung bisa "menampar" wajah kita saat haluan sampan mencari jalannya.
Perjalanan ini sudah menempuh waktu selama 5 jam.
Dari kejauhan terlihat pondok-pondok kayu.
Bangunannya cukup tertata, berbeda dengan potongan camp para pelaku ilegal loging tadi.
Itulah camp para nelayan lokal.
Sekilas mirip dengan camp tentara VieTaman Nasionalam saat perang melawan Amerika Serikat, seperti yang digambarkan dalam film Rambo.
Tumbuhan bakung tidak lagi banyak di kawasan ini.
Sejumlah nelayan, aktivis lingkungan kecamatan Sungai Apit itu dan karyawan BOB PT BSP-Pertamina Hulu menyambut kedatangan kami.
Sutrisno merapat ke pelabuhannya dan kami naik ke bangunan kayu.
"Silahkan makan dulu teman-teman, ambil nasi sendiri dan lauk sendiri ya," kata Setiono, dari pegiat Bina Cinta Alam (BCA), sekaligus panitia ekspedisi ini.
Di camp nelayan ini, tersedia asam pedas toman, gulai tapah dan goreng ikan salai selais kecil-kecil.
Peserta ekspedisi tidak sungkan-sungkan makan sepuasnya di sana, meski rombongan bupati belum tiba.
Maklum saja, waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Hampir semua peserta menahan perut yang keroncong selama perjalanan.
"Tadi prediksinya kita makan pas pukul 13.00 WIB, ternyata perahu tak bisa laju karena banyaknya rintangan di sungai. Jadi ya makan siang kita jam segini," kata Setiono lagi.
Sejumlah wartawan nasional yang hadir juga tampak makan dengan lahap.
Semuanya tampak kelelahan tetapi memberi kesan yang tak mungkin terlupakan.
Semuanya mengabadikan momen-momen menegangkan itu.
Setelah kami makan siang, tiba rombongan bupati. Bupati Alfedri dan Kadis PU Tarukim Siak Irving Kahar langsung naik ke camp itu dan bersih-bersih untuk salat Zuhur.
Mereka kemudian makan siang serta berfoto bersama.
Alfedri kerap memanggil wartawan untuk berfoto bersama pada momen ini.
"Sesekali wartawan yang dipotret, jangan motret terus. Ayo kumpul di sini, Tribun mana Tribun," kata Alfedri.
Ia menyebut, sungai rawa ternyata jalur yang paling menantang menuju Taman Nasional Zamrud, sekaligus eksotis.
Jalur ini bakal dikembangkan menjadi jalur kedua selain Dayun menuju Taman Nasional Zamrud.
Sebab, Taman Nasional Zamrud mempunyai zona pemanfaatan.
Pada zona pemanfaatan ini Taman Nasional Zamrud dibuka sebagai objek wisata dengan minat khusus.
"Kelestarian harus tetap dijaga, jadi perlu sedikit dibersihkan sungai Rawa untuk jalan speedboat. Kita tidak boleh mengurangi kelestariannya," kata Alfedri.
Sedangkan Suharyono juga mengaku terkesan dengan ekspedisi di Sungai Rawa itu.
Ia menyebut, nelayan di Taman Nasional Zamrud merupakan nelayan binaan BBKSDA, yang memanfaatkan hutan bukan kayu.
"Konsep wisata dengan minat khusus ini tidak terbuka seperti wisata umum lainnya. Konsepnya kita yang menyesuaikan dengan alam ini, bukan alam yang menyesuaikan dengan konsep kita," kata dia.
Alfedri dan Subaryono juga telah membangun kesepakatan untuk pengembangan wisata di Taman Nasional Zamrud.
Setelah sore asar menjelang, rombongan meninggalkan camp nelayan itu.
Siap-siap mengarungi danau kembar, yakni danau pulau bawah dan danau pulau besar. Kedua danau ini dikenal dengan danau Zamrud.
Perjalanan dari camp nelayan menuju danau pulau bawah sekitar 40 menit lagi.
Feature - Tribunpekanbaru.com / Mayonal Putra.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/feature-tantangan-bagi-petualang-telusuri-sungai-rawa-dan-rimba-menuju-taman-nasional-zamrud-riau.jpg)