Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Kembali Terkuak, Beginilah Etnis Uighur Diperlakukan di Camp Tahanan, Saat Tidur Tangannya Diborgol

Materi ini menambah bukti-bukti yang mendokumentasikan dampak dari kebijakan China melawan apa yang disebut mereka sebagai "tiga kekuatan jahat",

Editor: Muhammad Ridho
YouTube/War on Fear via Daily Mail
kebiadaban kamp china 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Model ganteng berdarah Uighur, Merdan Ghappar, 31, mengungkap bagaimana China memperlakukan mereka saat menjalani pelatihan di kamp penahanan.  

Entah bagaimana caranya, mantan model di perusaaan retail daring Taobao itu berhasil mengirimkan video mengerikan saat dirinya diborgol di tempat tidurnya.

Sambil memegang kamera dengan tangan kanannya, ia memperlihatkan pakaiannya yang kotor, pergelangan kakinya yang bengkak, dan satu set borgol mengekang pergelangan tangan kirinya ke rangka logam tempat tidur - satu-satunya perabot di ruangan itu.

Video Ghappar, bersama dengan sejumlah pesan teks yang diterima BBC, menunjukkan pemandangan dari orang pertama yang mengerikan dan sangat langka, tentang sistem detensi China yang sangat ketat dan rahasia.

Video itu dikirim langsung oleh Ghappar dari kamp penahanan.

Materi ini menambah bukti-bukti yang mendokumentasikan dampak dari kebijakan China melawan apa yang disebut mereka sebagai "tiga kekuatan jahat", yakni separatisme, terorisme, dan ekstremisme di wilayah Xinjiang, teritori yang belokasi jauh di barat daya negara itu.

Selama beberapa tahun terakhir, diperkirakan lebih dari satu juta orang Uighur dan etnis minoritas lain dipaksa masuk ke dalam jaringan kamp yang sangat ketat di Xinjiang, yang dinyatakan China menjadi tempat pendidikan sukarela untuk pelatihan anti-ekstremisme.

Ribuan orang telah dipisahkan dari orang tua mereka dan baru baru ini, penelitian terkini menunjukkan, perempuan dipaksa untuk memakai alat kontrasepsi.

Selain dugaan penyiksaan dan pelecehan yang jelas, video Ghappar tampaknya memberikan bukti bahwa, meskipun China berkukuh bahwa sebagian besar kamp re-edukasi ini telah ditutup, warga Uighur masih ditahan dalam jumlah yang signifikan dan ditahan tanpa tuduhan.

Model Merdan Chappar pindah dari Xinjiang ke kota Fushan, China Selatan pada 2009 untuk mengejar karir di dunia model.
Model Merdan Chappar pindah dari Xinjiang ke kota Fushan, China Selatan pada 2009 untuk mengejar karir di dunia model. (BBC/WU ZI YANG AGENCY)

Video itu juga berisi detil baru tentang tekanan psikologis besar yang diberlakukan pada komunitas Uighur, termasuk dokumen yang ia potret yang menyerukan anak-anak berusia 13 tahun untuk "bertobat dan menyerah".

Xinjiang yang tengah mengalami lonjakan jumlah infeksi virus corona, Ghappar gambarkan dalam kondisi kotor dan penuh sesak, memicu sorotan terhadap risiko serius penularan yang ditimbulkan oleh penahanan massal semacam ini selama pandemi global.

BBC mengirim permintaan komentar kepada Kementerian Luar Negeri China dan pihak berwenang Xinjiang tetapi tidak ada yang menanggapi.

Keluarga Ghappar, yang belum mendengar kabar darinya sejak pesan yang ia kirim berhenti lima bulan lalu, menyadari bahwa video berdurasi empat menit dan tiga puluh delapan detik tentang dia di selnya dapat meningkatkan tekanan dan hukuman yang dihadapinya.

tribunnews
Ghappar dalam video yang direkam sebulan penahanannya (bbc)

Akan tetapi, dia menyebut bahwa itu harapan terakhir mereka, baik untuk menyoroti kasusnya dan nasib orang-orang Uighur secara umum.

Pamannya, Abdulhakim Ghappar, yang sekarang tinggal di Belanda, percaya bahwa video itu dapat membangkitkan opini publik dengan cara yang sama bahwa rekaman perlakuan polisi terhadap George Floyd menjadi simbol kuat diskriminasi ras di AS.

"Mereka berdua menghadapi kebrutalan untuk ras mereka," katanya.

"Tetapi sementara di Amerika orang-orang mengangkat suara mereka, dalam kasus kami hanya ada keheningan."

Pada 2009, Merdan Ghappar - seperti masyarakat Uighur lainnya - meninggalkan Xinjiang untuk mencari kehidupan yang layak di kota-kota besar China.

Setelah menempuh studi tari di Xinjiang Arts University, dia sempat bekerja menjadi penari dan kemudian, beberapa tahun sesudahnya, menjadi model di kota Fushan yang terletak di China Selatan.

Teman-temannya mengatakan, Ghappar dapat menghasilkan uang sebesar 10.000 Rmb, atau sekitar Rp20 juta per hari

Kisahnya tampak seperti sebuah iklan "China Dream" dari Presiden Xi Jinping, yang menggambarkan perekonomian negara itu yang dinamis dan tengah booming.

Tetapi orang-orang Uighur, dengan bahasa Turki mereka, kepercayaan Islam dan ikatan etnis dengan orang-orang dan budaya Asia Tengah, telah lama dipandang sebagai obyek kecurigaan oleh penguasa China dan menghadapi diskriminasi di masyarakat yang lebih luas.

Kerabat Ghappar mengatakan Ghappar diberitahu bahwa karirnya di dunia model akan lebih baik jika dia mengecilkan identitasnya sebagai komunitas Uighur, dan lebih mengedepankan karakter wajahnya sebagai "setengah Eropa".

Dan mesikpun dia menghasilkan banyak uang untuk membeli apartemen, mereka mengatakan dia tak bisa mendaftarkannya sebagai miliknya, akan tetapi menggunakan nama temannya yang berasal dari China.

Bagaimanapun, ketidakadilan itu tampak tak seberapa dibandingkan dengan apa yang yang terjadi padanya saat ini.

Setelah serangan brutal yang menargetkan pejalan kaki dan komuter di Beijing pada 2013 dan kota Kunming pada 2014 - yang disebut China dilakukan oleh separatis Uighur - negara telah mulai memandang etnis Uighur sebagai tidak hanya mencurigakan tetapi juga hasutan.

Menjelang tahun 2018, ketika China menerapkan sistem kamp penahanan dan penjara yang dibangun dengan cepat dan luas di seluruh Xinjiang - Ghappar masih tinggal di Foshan, di mana hidupnya tiba-tiba berubah menjadi lebih buruk.

Pada bulan Agustus tahun itu, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman 16 bulan penjara karena menjual ganja, sebuah tuduhan yang menurut teman-temannya dibuat-buat.

Akan tetapi, setelah dibebaskan pada November 2019, kelegaan yang ia rasakan setelah menjalani masa tahanan tak berlangsung lama.

Sebulan kemudian, polisi mengetuk pintunya, mengatakan kepadanya bahwa dia perlu kembali ke Xinjiang untuk menyelesaikan prosedur pendaftaran rutin.

BBC telah melihat bukti yang menunjukkan bahwa dia tidak dicurigai melakukan pelanggaran lebih lanjut, dengan pihak berwenang hanya menyatakan bahwa "dia mungkin perlu menjalani pendidikan di komunitas lokalnya selama beberapa hari" - sebuah eufemisme untuk kamp.

Pada tanggal 15 Januari tahun ini, teman-teman dan keluarganya diizinkan untuk membawa pakaian hangat dan teleponnya ke bandara, sebelum ia melakukan penerbangan dari Foshan dan dikawal oleh dua petugas kembali ke kota asalnya, Kucha di Xinjiang.

Ada bukti bahwa warga Uighur lainnya dipaksa untuk kembali ke rumah, baik dari tempat lain di China atau dari luar negeri, dan keluarga Ghappar yakin bahwa ia telah menghilang ke kamp re-edukasi.

Namun sekitar sebulan kemudian mereka menerima kabar luar biasa.

Entah bagaimana, dia berhasil mendapatkan akses ke teleponnya dan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan dunia luar.

Pesan teks Ghappar, disebut dikirim dari ruangan yang sama dengan video, melukiskan gambaran yang lebih mengerikan dari pengalamannya setelah tiba di Xinjiang.

Ditulis melalui aplikasi media sosial China WeChat, ia menjelaskan bahwa ia pertama kali ditahan di penjara polisi di Kucha.

"Saya melihat 50 hingga 60 orang ditahan di sebuah ruangan kecil tidak lebih dari 50 meter persegi, pria di sebelah kanan, perempuan di sebelah kiri," tulisnya.

"Semua orang mengenakan apa yang disebut 'pakaian empat potong', penutup kepala hitam, borgol, belenggu kaki dan rantai besi yang menghubungkan borgol ke belenggu."

Penggunaan borgol tangan dan kaki China ini dikritik di masa lalu oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia.

Ghappar diminta untuk memakai alat itu dan bergabung dengan sesama narapidana lain yang dikurung di dalam sel, ia menemukan tidak ada ruang untuk berbaring dan tidur.

"Saya mengangkat penutup kepala saya dan mengatakan kepada petugas polisi bahwa borgol itu sangat kencang sehingga pergelangan tangan saya sakit," tulisnya dalam salah satu pesan singkat.

"Dia berteriak keras pada saya, mengatakan 'Jika Anda melepas tudung Anda lagi, saya akan memukulmu sampai mati'. Dan setelah itu saya tidak berani bicara," tambahnya.

"Sekarat di sini adalah hal terakhir yang saya inginkan."

Dalam pesannya dia menulis tentang suara teriakan yang terus menerus terdengar dari tempat lain di kamp itu. "Ruang interogasi," katanya.

Dia juga menggambarkan kondisi yang jorok dan tidak bersih di kamp - kutu-kutu menghinggapi para tahanan dan mereka berbagi hanya beberapa mangkuk plastik dan sendok di antara mereka semua.

"Sebelum makan, polisi akan meminta orang dengan penyakit menular untuk mengangkat tangan mereka dan mereka akan menjadi yang terakhir makan," tulisnya.

"Tapi jika Anda ingin makan lebih awal, Anda bisa tetap diam. Ini masalah moral, apakah Anda mengerti?"

Kemudian, pada 22 Januari, ketika China berada di puncak krisis virus corona, berita tentang upaya besar-besaran nasional untuk mengendalikan epidemi tersebut sampai ke para tahanan.

Pesan teks Ghappar menunjukkan penegakan aturan karantina jauh lebih ketat di Xinjiang daripada di tempat lain.

Pada satu titik, empat pemuda dibawa ke sel berusia antara 16 dan 20 tahun.

"Selama periode epidemi mereka ditemukan di luar bermain semacam permainan bisbol," tulisnya.

"Mereka dibawa ke kantor polisi dan dipukuli sampai mereka berteriak seperti bayi, kulit di pantat mereka terbuka dan mereka tidak bisa duduk."

Polisi mulai memaksa semua tahanan memakai masker, meskipun mereka masih harus tetap berjubel di sel yang penuh dan sesak.

Ketika petugas datang dengan termometer, beberapa tahanan, termasuk Ghappar, terdaftar memiliki lebih tinggi dari suhu tubuh normal 37C.

Masih mengenakan "setelan empat potong", ia dipindahkan ke lantai atas ke ruangan lain dengan jendela terbuka di malam hari. Udara sangat dingin, membuatnya tidak bisa tidur.

Di sana, katanya, suara penyiksaan jauh lebih jelas.

"Suatu kali saya mendengar seorang pria menjerit dari pagi hingga sore," katanya.

Beberapa hari kemudian, para tahanan dimuat ke dalam minibus dan dikirim ke lokasi yang tidak diketahui.

Ghappar, yang menderita pilek dan hidungnya memucat, dipisahkan dari yang lain dan dibawa ke fasilitas yang terlihat dalam video yang ia kirimkan - tempat yang ia gambarkan sebagai "pusat pengendalian epidemi".

Sesampai di sana, dia diborgol ke tempat tidur.

tribunnews
Foto yang dikirim oleh Merden Ghappar menunjukkan tangannya diborgol di sebuah sel. (bbc)

"Seluruh tubuh saya dipenuhi kutu. Setiap hari saya menangkap mereka dan mengambilnya dari tubuh saya - sangat gatal," tulisnya.

"Tentu saja, lingkungan di sini lebih baik daripada kantor polisi dengan semua orang itu. Di sini saya tinggal sendirian, tetapi ada dua orang yang menjaga saya."

Rezim yang sedikit lebih santai itulah yang memberinya, katanya, peluang yang dia butuhkan untuk menyampaikan kabar.

Ponselnya tampaknya tidak diketahui oleh pihak berwenang di antara barang-barang pribadinya, yang beberapa di antaranya dapat dia akses ke tempat penahanannya yang baru.

Setelah 18 hari di dalam penjara polisi, ia tiba-tiba dan secara diam-diam berhubungan dengan dunia luar.

Selama beberapa hari ia menggambarkan pengalamannya. Lalu, tiba-tiba, pesan berhenti.

Tidak ada yang terdengar dari Tuan Ghappar sejak itu. Pihak berwenang tidak memberikan pemberitahuan resmi tentang keberadaannya, juga tidak ada alasan untuk penahanannya yang berkelanjutan.

Sangat sulit untuk memverifikasi keaslian pesan teks secara independen. Tetapi para ahli mengatakan bahwa rekaman video tampaknya asli, khususnya karena pesan propaganda yang dapat didengar di latar belakang.

"Xinjiang tidak pernah menjadi 'Turkistan Timur'", kata sebuah pengumuman dalam bahasa Uighur dan China dari pengeras suara di luar jendelanya.

"Pasukan separatis di dalam dan luar negeri telah mempolitisasi istilah geografis ini dan menyerukan mereka yang berbicara bahasa Turki dan percaya pada Islam untuk bersatu," kata pengumuman itu.

James Millward, seorang profesor sejarah di Universitas Georgetown dan seorang ahli kebijakan Cina di Xinjiang, menerjemahkan dan menganalisis pesan teks Ghappar untuk BBC.

Dia mengatakan pesan-pesan itu konsisten dengan kasus-kasus lain yang terdokumentasi dengan baik, mulai dari perjalanannya kembali ke Xinjiang dan awal mula dirinya tinggal di kamp yang padat dan tidak sehat.

"Deskripsi langsung tentang sel tahanan polisi ini sangat, sangat jelas," kata Profesor Millward.

"Dia menulis dalam bahasa Mandarin yang sangat bagus dan, sejujurnya, memberikan banyak detail mengerikan tentang cara orang-orang ini diperlakukan. Jadi, itu sumber yang sangat langka."

Dr Adrian Zenz, seorang rekan senior dalam studi Cina di Victims of Communism Memorial Foundation, dan sarjana Xinjiang terkemuka lainnya, menunjukkan bahwa nilai nyata video itu adalah apa yang dikatakan tentang klaim pemerintah China bahwa kamp sedang ditutup.

"Ini sangat signifikan," kata Dr Zenz.

"Kesaksian ini menunjukkan bahwa seluruh sistem penahanan orang, menyortir mereka dan kemudian memberi mereka peradilan ekstra ... bahwa ini sangat banyak sedang berlangsung."

Hal lain yang menguatkan kredibilitas kesaksian Ghappar adalah foto sebuah dokumen yang dikirim Ghappar setelah menemukannya di lantai salah satu toilet pusat pengendalian epidemi.

Dokumen tersebut merujuk pada pidato yang dibuat oleh Sekretaris Partai Komunis Prefektur Aksu, dan tanggal dan lokasi menunjukkan bahwa itu mungkin masih beredar di kota Kucha sekitar waktu penahanan Ghappar.

Seruan dokumen tersebut agar anak-anak yang berusia 13 tahun didorong untuk "bertobat atas kesalahan mereka dan menyerah secara sukarela" tampaknya menjadi bukti baru tentang tingkat pemantauan dan kontrol Tiongkok terhadap pikiran dan perilaku orang-orang Uighur dan minoritas lainnya.

"Saya pikir ini untuk pertama kalinya saya melihat pemberitahuan resmi terkait anak-anak yang harus bertanggungjawab atas kegiatan agamanya," ujar Dr Darren Byler, seorang antropolog di University of Colorado, Boulder yamg meneliti tentang etnis Uighur.

Terlepas dari risiko publikasi video dan pesan teks Merdan Ghappar yang dapat menempatkannya pada risiko hukuman yang lebih lama atau lebih keras, mereka yang dekat dengannya mengatakan mereka tidak lagi punya pilihan.

"Tetap diam juga tidak akan membantunya," kata pamannya, Abdulhakim Ghappar, dari rumahnya di Amsterdam.

Abdulhakim berkata bahwa dia terus berhubungan dengan keponakannya sebelum dia ditahan, dan dia meyakini - seperti telah didokumentasikan dengan baik dalam kasus-kasus lain - bahwa hubungan luar negeri ini adalah salah satu alasan Ghappar ditahan.

"Ya, saya 100% yakin tentang hal ini," katanya.

"Dia ditahan karena saya berada di luar negeri dan saya menjadi bagian dari demonstrasi menentang pelanggaran HAM China."

Aksi aktivisme Abdulhakim, yang dimulai pada 2009 di Xinjiang ketika dia membantu membagikan selebaran menjelang protes besar-besaran di kota Urumqi, adalah alasan ia melarikan diri ke Belanda sejak awal.

Protes di Urumqi kemudian meluas ke serangkaian kerusuhan yang berujung ricuh, yang menurut otoritas China, merenggut hampir 200 nyawa dan dipandang sebagai salah satu titik balik utama menuju pengetatan kontrol atas wilayah tersebut.

Ketika diberitahu bahwa pihak berwenang China berupaya menangkapnya, Abdulhakim membuat paspor dan pergi. Setelah itu, dia tak pernah kembali ke negaranya.

Daftar pertanyaan dikirim BBC kepada pihak berwenang China untuk mengkonformasi apakah Merdan Ghappar atau pamannya diduga melakukan kejahatan di China.

BBC juga bertanya mengapa Ghappar dibelenggu ke tempat tidur, dan untuk tanggapan dari pihak berwenang terhadap tuduhan penganiayaan dan penyiksaan lainnya.

Tidak ada pertanyaan yang dijawab.

Di mana pun Merdan Ghappar berada saat ini, hanya satu hal yang jelas.

Apakah keyakinannya sebelumnya atas pelanggaran narkoba itu adil atau tidak, penahanannya saat ini adalah bukti bahwa orang Uighur yang berpendidikan dan relatif sukses dapat menjadi target kamp penahanan.

"Pemuda ini, sebagai model fesyen, sudah memiliki karier yang sukses," kata Profesor Millward.

"Dia berbicara bahasa Mandarin yang luar biasa, menulis dengan sangat baik dan menggunakan ungkapan-ungkapan indah, jadi jelas ini bukan seseorang yang membutuhkan pendidikan untuk tujuan kejuruan."

Dr Adrian Zenz berpendapat bahwa ini adalah tujuan dari sistem itu.

"Sebenarnya tidak terlalu penting apa latar belakang orang itu," katanya.

"Yang penting adalah kesetiaan mereka diuji oleh sistem. Dalam satu titik, hampir semua orang akan mengalami bentuk penahanan atau re-edukasi, semua orang akan menjadi sasaran dari sistem."

Pemerintah China membantah bahwa mereka mempersekusi populasi Uighur.

Setelah kecaman keras terkait isu yang saat ini terjadi di Amerika Serikat, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, sambil mengungkit kematian George Floyd, mengatakan bahwa warga Uighur di Xinjiang lebih bebas dibandingkan dengan warga Amerika keturunan Afrika di AS.

Tetapi bagi keluarga Merdan Ghappar, yang dihantui oleh citra dirinya dirantai ke tempat tidur di lokasi yang tidak diketahui, ada hubungan antara dua kasus tersebut.

"Ketika saya melihat video George Floyd itu mengingatkan saya pada video keponakan saya sendiri," kata paman Merdan, Abdulhakim.

"Seluruh orang Uighur seperti George Floyd sekarang," katanya.

"Kita tidak bisa bernapas."

(bbc news)

Artikel ini dikompilasi dari bbc news berjudul: Uighur China: Model fesyen mengungkap kehidupan di dalam kamp penahanan, ''Sekarat di sini adalah hal terakhir yang saya inginkan'

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul TERUNGKAP Begini Etnis Uighur Diperlakukan di Kamp Tahanan, Ketika Tidur Tangannya Diborgol, https://medan.tribunnews.com/2020/08/09/terungkap-begini-etnis-uighur-diperlakukan-di-kamp-tahanan-ketika-tidur-tangannya-diborgol?page=all.

Editor: Tariden Turnip

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved