Uni Emirat Arab Mesra dengan Israel, Bahrain & Oman Disebut Segera Merapat?
Selama ini Israel dan AS selalu mempertahankan keunggulan strategis kekuatan udara negara Zionis itu di kawasan Timur Tengah.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Sejak tahun 1972, Uni Emirat Arab melarang hubungan apapun dengan Israel.
Sehingga, nyaris tidak ada kesepatakan apapun antara kedua negara selama 48 tahun.
Pencabutan ini membuka jalan bagi Emirat Arab untuk menandatangani serangkaian perjanjian bilateral dengan negara Yahudi tersebut.
Keputusan pembatalan undang-undang boikot Israel telah ditandatangani Presiden UEA, Khalifa bin Zayed Al Nahyan.
Kabar dari Abu Dhabi ini diwartakan kantor berita Emirates (WAM) dikutip Russia Today, Sabtu (29/8/2020).
Keputusan boikot Israel itu pada 1972 ditandatangani orang yang sama yang mencabutnya. Keputusan baru ini membuat legal bagi warga Emirat, perusahaan, dan organisasi untuk memiliki hubungan langsung ke Israel.
Penduduk di UEA akan dapat melakukan perjalanan ke Israel, melakukan bisnis dengan perusahaan Israel, dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan lain tanpa kesulitan.
Keputusan tersebut sangat signifikan menyusul pengumuman normalisasi hubungan UEA dan Israel yang dimediasi Washington.
UEA-israel sepakat untuk menjalin hubungan diplomatik formal dan membangun kerangka kerja hubungan bilateral.
Bahkan kedua negara sudah melangkah sangat jauh, bersama-sama membangun pos pengawasan intelijen di Pulau Socotra, milik Yaman di Teluk Aden.
Keputusan Emirat menormalisasi hubungan dengan Israel menimbulkan kemarahan dan kontroversi di dunia Arab.
Turki menuduh Abu Dhabi mengkhianati Palestina demi keuntungan egois. Perjanjian normalisasi mengatakan Israel akan menunda usulan aneksasi wilayah Palestina yang telah mereka duduki.
Namun Perdana Menteri Isreali Benjamin Netanyahu secara de facto menolak ketentuan tersebut, dengan mengatakan rencana pemerintahnya tidak berubah.
UEA tidak memiliki hubungan formal dengan Israel sejak pembentukannya sebagai federasi berdaulat dari tujuh monarki Arab pada awal 1970-an.
Sheikh Khalifa yang juga merupakan emir Abu Dhabi ini menjabat sebagai presiden Emirat sejak 2004, menggantikan ayahnya, Zayed bin Sultan Al Nahyan.
Presiden Israel Reuven Rivlin mengatakan putra mahkota Abu Dhabi akan segera menjadi tamu kehormatan di Yerusalem setelah kedua Negara berdamai.
“Kepemimpinan diukur dari keberanian dan kemampuannya untuk menjadi terobosan dan berpandangan jauh ke depan," tulis Rivlin dalam sebuah surat kepada Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan.
"Saya berharap," kata pemimpin Israel itu, " langkah ini akan membantu membangun dan memperkuat kepercayaan antara kami dan masyarakat di wilayah tersebut."
Namun, pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Wassel Abu Youssef mengutuk undangan Rivlin, dengan mengatakan kunjungan pejabat Arab ke Yerusalem melalui jalur normalisasi akan ditolak.
Kesepakatan itu menimbulkan kemarahan dan kekecewaan di sebagian besar dunia Arab dan Iran, tetapi disambut dengan tenang di Teluk.
Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara tersebut, dan menyatakan perjanjian Emirat-Israel sebagai "pengkhianatan" oleh sebuah negara Arab.
Menteri Intelijen Israel Eli Cohen mengatakan kepada Radio Angkatan Darat pecan lalu, Bahrain dan Oman bisa menjadi negara Teluk berikutnya yang mengikuti UEA.
Namun Menlu AS Mike Pompeo yang berkunjung ke Bahrain, belum menemukan prospek yang diinginkan Israel dan Washington.
Emir Bahrain menegaskan, negara Palestina merdeka adalah kata kunci jika Israel menghendaki pemulihan hubungan dengan Negara-negara Arab.
Menteri Luar Negeri Oman, Yusuf bin Alawi bin Abdullah juga telah mendiskusikan isu ini bersama Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi melalui telepon.
Bin Abdullah menegaskan dukungan Oman "untuk mencapai perdamaian yang komprehensif, adil dan abadi di Timur Tengah dan kebutuhan untuk melanjutkan negosiasi proses perdamaian".
Pembicaraan itu harus memenuhi tuntutan sah rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka mereka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Masih soal normalisasi Emirat-Israel, perjanjian ini kemungkinan berdampak signifikan pada keinginan Emirat memiliki jet tempur F-35 dari AS. Nyaris tidak ada lagi rintangan dari Israel.
Selama ini Israel dan AS selalu mempertahankan keunggulan strategis kekuatan udara negara Zionis itu di kawasan Timur Tengah.
Di antaranya penguasaan peralatan tempur terbaru dan paling canggih. Israel belum memiliki kekuatan sepadan di Timur Tengah, dalam hal keunggulan udara.
UEA telah mencoba untuk membeli jet tempur generasi ke-5 buatan AS selama bertahun-tahun, tetapi gagal melakukannya meskipun ada hubungan dekat dengan AS.
Israel adalah ganjalan utama terkait niat Negara petrodollar dan kini mengembangkan wilayahnya sebagai hub penting bisnis dan jasa antara Eropa dan Asia.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Emirat Arab Hapus Aturan Boikot Terhadap Israel yang Berlaku Sejak 1972
