Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Mayat Wanita Mengeluarkan Cairan dari Payudara: TERUNGKAP Fakta Praktik Filter Payudara Abal-Abal

Selain itu, polisi juga menemukan percakapan pesan singkat di ponsel RCD. Ia mengeluhkan keluarnya cairan dari payudaranya.

Dok. Polres Jakarta Barat
Seorang transpuan berinisial ER alias Windi (54) menjadi tersangka atas dugaan malapraktik filler payudara di Jakarta Barat. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Jasad seorang wanita ditemukan di sebuah kamar hotel di kawasan Mangga Besar, Tamansari, Jakarta Barat.

Jasad Dia ditemukan pada Sabtu (19/2/2022) siang lalu.

Kecurigaan petugas hotel pada sebuah kamar yang terkunci, membawa pada sesosok wanita yang tergeletak di atas kasur dalam keadaan tak bernyawa.

Jasad RCD (35) ditemukan dalam keadaan kedua payudaranya mengeluarkan cairan dan darah. Payudara RCD, diduga mengalami pecah atau bocor.

"Korban meninggal di atas ranjang dalam kondisi kedua payudaranya bocor atau pecah, mengalir darah," kata Kapolsek Metro Taman Sari, AKBP Rohman Yonky Dilatha kepada wartawan, Selasa (22/2/2022).

Polisi menduga, RCD menjadi korban malapraktir filler payudara yang dilakukan secara ilegal.

"Kemungkinan iya (malpraktik), tapi bukan dokter ya. Kemungkinan ilegal," kata Kanit Reskrim Polsek Tamansari AKP Roland Manurung kepada wartawan, Minggu.

Selain itu, polisi juga menemukan percakapan pesan singkat di ponsel RCD. Ia mengeluhkan keluarnya cairan dari payudaranya.

"Dia (korban) WhatsApp teman-temannya, dia sampaikan bekas suntikannya ini keluar cairan, namun dia tidak mau ke rumah sakit," kata Roland.

Diduga menjadi korban malapraktik, jasad RCD pun sempat dibawa ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Namun, pihak keluarga tidak berkenan untuk dilakukan otopsi.

Pelaku penyuntikan diamankan

Berdasarkan penelusuran, polisi pun akhirnya mengamankan pelaku yang melakukan penyuntikan filler payudara kepada korban.

ER alias Windi (34) diamankan di kediamannya di Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten pada Senin.

ER merupakan seorang transpuan yang sudah menjalani praktik filler payudara sejak 2004. Belasan tahun berbisnis, ER diketahui tidak memiliki latar belakang medis, apalagi perizinan praktik.

"Dia (pelaku) bukan dokter dan dia tidak ada sertifikasi khusus kegiatan tersebut. Jadi, dia tidak memiliki izin akan hak (melakukan tindakan) tersebut," kata Rohman.

Kepada polisi, ER mengaku biasa melayani praktik filler payudara pada klien di Jakarta. Ia menerima layanan panggilan ke rumah maupun hotel.

Sementara itu, Roland menambahkan, selain melakukan praktik suntik filler kepada klien, ER mengaku pernah melakukan praktik serupa pada dirinya sendiri.

"Dulunya pernah, tapi dia tidak menjelaskan dengan spesifik," kata Roland saat dihubungi terpisah, Selasa.

Namun demikian, Roland tidak menjelaskan lebih jauh tentang kapan dan bagaimana ER melakukan praktik tersebut.

Tarif Rp 4 Juta

Dari keterangan pelaku, kemudian diketahui bahwa RCD telah membayarkan tarif suntik filler payudara sebesar Rp 4 juta kepada ER.

"Tarifnya Rp 4 juta, di mana Rp 2,5 juta dibayarkan secara tunai dan Rp 1,5 juta sisanya ditransfer," kata Rohman.

Saat melakukan suntikan pada Jumat, ER menyuntikan sejumlah cairan silikon di kedua payudara RCD.

"Suntikan di kedua payudara korban sebanyak 1.000 mililiter, jadi satu payudara berisi 500 mililiter," lanjut Rohman.

Bahan mudah didapatkan

Dalam melaksanakan bisnisnya, ER dibantu A (29), warga Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat. A pun turut diamankan kemudian.

Perannya, A biasa mengantar dan menjemput ER yang biasa menumpang bus dari Cikupa. Selain itu, A juga membantu mempersiapkan bahan dan alat keperluan praktik ilegal tersebut.

Terkait praktik suntik payudara pada RCD, A membantu membelikan silikon di toko kimia. A mendapat upah Rp 500.000 saat itu.

"A membeli cairan silikon di toko kimia seharga Rp 250.000, kemudian mengantarkan ER ke hotel untuk melakukan kegiatan tersebut," jelas Rohman.

Sementara alat praktik lainnya, dibawa ER dari kediamannya.

"Sedangkan bius (lidocaine) suntik, dan jarum serta obat ponstan juga amoxilin, dibawa ER dari rumah," jelas Rohman.

Saat menangkap keduanya, polisi menemukan sejumlah bahan dan alat praktik suntik filler payudara ilegal tersebut.

"Kami mengamankan 1 dirigen berisi cairan silikon oil, 28 ampuls cairan bius, dan 34 alat suntik. Selain itu, diamankan pula ponsel dan sepeda motor pelaku," jelas Rohman.

Selain bahan dan alat praktik tersebut, polisi juga menjadikan pakaian serta sampel darah dan cairan dari payudara korban sebagai barang bukti.

Filler payudara kedua

Untuk diketahui, praktik suntik pada RCD tersebut bukanlah kali pertama dilakukan. RCD disebut sebagai klien lama yang pernah melakukan suntik serupa pada 2011.

Rohman menyebut, RCD melakukan filler payudara untuk kedua kalinya lantaran payudaranya yang dirasa sudah kendur.

"Sebelum peristiwa (meninggal dunia) terjadi, korban meminta suntik payudara silikon lagi, karena payudaranya sudah kendur," ungkap Rohman dalam keterangan tertulisnya.

Ketika filler payudara pada 2011 silam, kata Rohman, RCD menerima 4 kali suntik silikon dalam satu paket.

"Suntikan pertama sebanyak satu paket itu dengan empat kali suntikan," kata Rohman.

Namun, Rohman tidak menjelaskan apakah dalam praktik suntikan kali ini, RCD direncanakan menerima hingga empat kali suntikan.

Lebih jauh, polisi saat ini masih mendalami kasus kematian RCD tersebut. Roland mengatakan, polisi juga masih mendalami berapa jumlah pasien yang pernah menggunakan jasa filler payudara panggilan dari ER selama ini.

"Kami masih mendalami, mungkin akan kami cari tau lebih lanjut terkait hal tersebut. Namun kami masih terfokus pada kasus kematian RCD," jelas Roland.

Di sisi lain, Roland tidak menutup pintu bagi pasien-pasien lain yang merasa dirugikan setelah mendapat suntiken filler payudara dari ER, untuk segera membuat laporan ke kepolisian.

"Kalau misalkan ada yang merasakan dirugikan atas suntikan tersebut oleh pelaku, bisa buat laporan di tempat dia melakukan suntik," kata Roland.

Adapun ER dan A telah diamankan di Mapolsek Tamansari. Keduanya saat ini sudah berstatus tersangka.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku disangkakan Pasal 197 dan 198 juncto Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara atau denda Rp 1,5 miliar.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved