Akar Konflik Keraton Solo Terungkap, Berawal Rebutan Tahta Usai Wafatnya Sang Raja
Para pewaris dan keturunan Keraton Solo terlibat bentrok. Bentrokan bermula dari rebutan tahta pada belasan tahun silam.
Putra tertua dari selir ketiga Pakubuwono XII, KRAy Pradapaningrum itu semula diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Suryadi.
Namun karena sakit-sakitan, sang nenek yang merupakan permaisuri Pakubuwana XI bernama GKR Pakubuwana mengganti nama GRM Suryadi menjadi GRM Suryo Partono.
Penggantian nama ini seperti lazimnya masyarakat kebanyakan mengikuti petuah spiritual dalam adat Jawa.
Pada 1979, GRM Suryo Partono yang merupakan putra laki-laki tertua berhak menyandang nama Hangabehi dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH).
Artinya, dia adalah seorang pangeran tertua yang disiapkan menjadi calon penerus takhta.
KGPH Hangabehi memiliki hobi bermain keyboard dan gemar menciptakan sejumlah lagu.
Ia juga menggemari olahraga bowling dan mengendarai motor.
Dalam pemerintahan Keraton Solo, KGPH Hangabehi pernah menjabat sebagai Pangageng Museum Keraton Surakarta.
Ia pernah mendapatkan anugerah Bintang Sri Kabadya I oleh Pakubuwana XII atas jasa-jasanya dalam mengatasi musibah kebakaran yang melanda Keraton Surakarta tahun 1985.
KGPH Hangabehi juga memperoleh gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Global (GULL, Amerika Serikat).
2. Kubu GKR Wandansari
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari atau yang karib disapa Gusti Moeng merupakan ketua LDA yang kini berkonflik dengan kubu Pakubuwana XIII.
Gusti Moeng atau Gusti Raden Ajeng Koes Moertiyah juga merupakan anak dari Pakubuwana XII.
Sehingga, ia masih bersaudara dengan Pakubuwana XIII yang saat ini menjadi raja Keraton Solo.
Gusti Moeng lahir pada 1 November 1960 sehingga saat ini, usianya 62 tahun.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/keraton_20170417_113629.jpg)