Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

5 Fakta Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Sudah 36 Kali Digugat

Kini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold 20 persen.

Editor: Sesri
Kompas.com
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) 

Karena pasangan capres-cawapres yang terlalu banyak dinilai bisa merusak hakikat dilaksanakannya pilpres secara langsung oleh rakyat. 

MK memberikan penekanan agar pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, bisa melakukan rekayasa konstitusional dengan berpegang pada lima poin.

Pertama, semua partai politik tetap memiliki hak mengusulkan pasangan capres-cawapres.

Kedua, pengusulan paslon capres-cawapres oleh parpol dan gabungan parpol peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi. 

Ketiga, parpol peserta pemilu bisa bergabung untuk mengusung capres-cawapres sepanjang tidak menjadi "koalisi gemuk" yang menyebabkan terbatasnya pasangan capres-cawapres.

Keempat, parpol peserta pemilu yang tidak mengusung paslon capres-cawapres bisa dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional harus melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan penerapan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

5. Sudah 36 Kali Digugat

Aktivis pemilu sekaligus pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengapresiasi putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden tersebut.

Dia mengatakan, perjuangan masyarakat sipil dan pegiat pemilu sangat panjang sehingga bisa sampai pada titik ini. Gugatan ini "pecah telur" oleh gugatan empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khorul Fatna.

"Ini kemenangan rakyat Indonesia, 36 permohonan menandakan bahwa ambang batas pencalonan presiden memang bermasalah, bertentangan dengan moralitas politik kita," ujarnya.

Titi berharap, dengan putusan ini, seluruh partai politik bisa berbenah dan menyiapkan kader terbaiknya untuk maju menjadi calon presiden 2029.

Selain itu, dia mengingatkan agar DPR berpedoman pada putusan 62/2024 ini dalam merevisi Undang-Undang Pemilu 7/2017.

DPR, kata Titi, jangan coba-coba mengubah putusan MK tersebut, karena masyarakat sipil akan mengawal layaknya putusan MK terkait batas usia calon kepala daerah tahun lalu.

Selain itu, Titi menjelaskan putusan MK yang telah dibacakan bersifat erga omnes, berlaku untuk semua, dan berlaku saat diucapkan, kecuali dalam putusan ada penundaan pemberlakuan yang diucapkan secara spesifik.

Sebab itu, dia berharap agar para pembuat undang-undang, khususnya Presiden Prabowo Subianto, menjadi garda terdepan mengawal putusan ini.

"Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan putusan MK nomor 62 tahun 2024," kata dia.

Sebagian artikel ini tayang di Kompas.com

( Tribunpekanbaru.com )

 

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved