Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Berita Nasional

UU TNI : 14 Kementrian dan Lembaga Sipil bisa Diisi oleh TNI, Diluar Ini Harus Mengundurkan Diri

Inilah 14 lembaga dan kementrian yang bisa diisi oleh TNI aktif setelah Undang-undang TNi disahkan oleh pemerintah bersama DPR

Editor: Budi Rahmat
KOMPAS.com/Tria Sutrisna
PENGESAHAN RUU TNI - Rapat Kerja Komisi I DPR RI dan Pemerintah terkait persetujuan membawa RUU TNI ke rapat paripurna, Selasa (18/3/2025). Masyarakat mengungkap reaksi kekecewaan mengenai disahkannya Revisi UU (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang (UU). 

Media asing lainnya, The Guardian,  menyoroti pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang oleh DPR RI dalam artikel berjudul“Indonesia passes controversial law allowing greater military role in government”.

Pada awal pemberitaannya, The Guardian menuliskan bahwa UU TNI memungkinkan personel angkatan bersenjata untuk menduduki lebih banyak jabatan sipil.

“Sebuah langkah yang dikhawatirkan oleh para analis dapat mengantarkan kebangkitan militer dalam urusan pemerintahan,” tulis The Guardian, Kamis (20/3/2025).

Mereka melanjutkan, para aktivis di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini telah mengkritik revisi-revisi tersebut dan memperingatkan bahwa revisi yang telah disahkan DPR itu menandakan kembalinya Indonesia ke era Orba.

The Guardian menjelaskan, Orde Baru adalah masa di mana Indonesia dipimpin oleh pemerintahan otoriter Soeharto yang kemudian lengser pada 1998.

Sebelum undang-undang tersebut disahkan, tentara aktif hanya dapat memegang jabatan di organisasi-organisasi seperti kementerian pertahanan dan badan intelijen negara.

Perubahan ini memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat dipegang oleh perwira, termasuk Kejaksaan Agung, sekretariat negara, badan kontra terorisme, dan badan narkotika. Perubahan ini juga memperpanjang usia pensiun para perwira.

“DPR, yang didominasi oleh koalisi pendukung Prabowo, menyetujui perubahan yang telah direvisi tersebut dalam sebuah sidang paripurna pada hari Kamis,” tulisnya.

Nikkei Asia: Soroti peluang kembalinya dwifungsi militer

Media asing yang berbasis di Jepang, Nikkei Asia juga menyoroti pengesahan RUU TNI jadi undang-undang dalam artikel berjudul “Indonesian parliament grants military bigger role in government”.

Mereka memberitakan terkait para kritikus yang memperingatkan bahwa perubahan ini menandakan kembalinya dwifungsi militer, yaitu saat militer memainkan peran penting dalam pemerintahan dan pertahanan.

“Sebuah praktik yang diakhiri sebagai bagian dari transisi menuju demokrasi di Indonesia setelah penggulingan Soeharto pada tahun 1998,” tulis Nikkei Asia, Kamis (20/3/2025).

Nikkei Asia kemudian mengutip tanggapan profesor hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistowati Irianto.

Dia menggambarkan revisi undang-undang tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu dan merupakan pembalikan arah reformasi yang berbahaya.

“Kami tidak melihat adanya urgensi dari RUU ini. Sebaliknya, beberapa ketentuannya justru mengembalikan militerisme di Indonesia,” ujarnya.

Meskipun mengakui bahwa TNI memainkan peran penting dalam pertahanan nasional, terutama di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, ia menekankan mandat konstitusional militer tidak meluas ke pemerintahan sipil.

“Undang-undang bahkan belum direvisi, namun personel TNI sudah ditempatkan di pos-pos sipil,” imbuhnya.

The Straits Times: Menghidupkan ingatan akan rezim Orba

Media asing asal Singapura, The Straits Times juga menyoroti persoalan RUU TNI disahkan jadi undang-undang dengan judul berita“Indonesia passes controversial law expanding military’s role in governance”.

Mereka menulis berita terkait peran militer dalam pemerintahan yang semakin luas akibat undang-undang kontroversial tersebut.

Hal itu menjadi sebuah langkah yang menurut para kritikus sangat mengancam demokrasi.

“Langkah ini telah menghidupkan kembali ingatan akan dominasi politik TNI di bawah rezim Orde Baru,” tulis The Straits Times, Kamis (20/3/2025).

“Di mana para perwira militer memegang posisi-posisi penting di pemerintahan di bawah doktrin dwifungsi, yang memungkinkan mereka untuk mengontrol pemerintahan dan menekan oposisi. Praktik ini dihapuskan pada reformasi 1998,” lanjutnya.

Kemudian, media asing ini juga mengutip penilaian peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch, Andreas Harsono, yang menyebut bahwa ketergesa-gesaan pemerintah untuk mengadopsi amandemen-amandemen ini melemahkan komitmennya terhadap hak asasi manusia dan akuntabilitas.(*)

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved