Pengakuan Mengejutkan di Sidang Kasus Uang Palsu Triliunan, Saksi Mahkota Sebut Motif Cuma Iseng

Sidang lanjutan kasus uang palsu berskala triliunan rupiah yang menyeret jaringan dari UIN Alauddin Makassar kembali digelar.

Editor: Ariestia
Kompas.com/Abdul Haq Yahya Maulana T
UANG PALSU - Sidang kasus uang palsu produksi universitas islam negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali digelar secara maraton d pengadilan negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dengan agenda mendudukkan bos sindikat ini sebagai terdakwa. Rabu, (9/7/2025). 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Sidang lanjutan kasus uang palsu berskala triliunan rupiah yang menyeret jaringan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu (9/7/2025).

Sidang terbuka yang dimulai pukul 13.00 WITA ini menghadirkan saksi mahkota bernama Syahruna, yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU).

Dalam keterangannya, Syahruna memberikan pengakuan mengejutkan saat ditanya oleh majelis hakim tentang motif mencetak uang palsu.

"Saya cuma iseng yang mulia," kata Syahruna menjawab pertanyaan hakim mengenai alasan di balik aksinya.

Majelis hakim yang dipimpin oleh Dyan Martha Budhinugraeny, dengan dua hakim anggota yakni Sihabudin dan Yeni, mengonfirmasi hubungan saksi dengan terdakwa.

Syahruna menjelaskan bahwa dirinya pertama kali mengenal terdakwa pada tahun 2013 dan langsung bekerja sebagai teknisi di perusahaan milik terdakwa.

Bahkan, ia sempat tinggal di rumah terdakwa yang berada di Jalan Sunu 3, Makassar.

Sidang ini mendudukkan 15 terdakwa yang menjalani agenda sidang berbeda-beda. Para terdakwa antara lain Ambo Ala, Jhon Bliater Panjaitan, Muhammad Syahruna, Andi Ibrahim (kepala perpustakaan UIN Alauddin Makassar), Sattariah, Sukmawati (guru PNS), Andi Haeruddin (pegawai bank BRI), Mubin Nasir (staf honorer UIN Alauddin Makassar), Kamarang Daeng Ngati, Irfandy (pegawai bank BNI), Sri Wahyudi, Muhammad Manggabarani, Satriadi (ASN DPRD Sulawesi Barat), Ilham, dan Annar Salahuddin Sampetoding.

Jaksa penuntut umum dalam sidang ini terdiri dari Basri Bacho, Aria Perkasa Utama, dan Sitti Nurdaliah.

Kasus pemalsuan uang ini pertama kali terungkap pada Desember 2024 dan langsung menggegerkan masyarakat.

Penyebabnya, lokasi produksi uang palsu tersebut berada di lingkungan Kampus 2 UIN Alauddin Makassar, tepatnya di Jalan Yasin Limpo, Kabupaten Gowa.

Uang palsu yang dicetak mencapai skala triliunan rupiah dan diproduksi menggunakan mesin berteknologi tinggi.

Tingkat kemiripan hasil cetakan sangat tinggi, bahkan disebut-sebut mampu lolos dari mesin hitung uang serta sulit dideteksi melalui X-ray.

Fakta Mengejutkan di Sidang Sebelumnya

Dilaporkan Tribun-Timur.com, fakta mengejutkan terungkap dalam sidang kasus sindikat uang palsu digelar di Pengadilan Negeri Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu (2/7/2025).

Terdakwa mengungkap sindikat uang palsu ini memiliki jaringan hingga ke Bank Indonesia (BI).

Sidang dipimpin Hakim Ketua Dyan Martha Budhinugraeny, menghadirkan terdakwa Andi Ibrahim, mantan Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar.

Dalam keterangannya, Andi Ibrahim menyebut nama Hendra, pedagang pakaian keliling yang kini berstatus DPO (daftar pencarian orang).

Hendra disebut memesan uang palsu senilai Rp1 miliar untuk ditukar menjadi uang asli Rp100 juta, dengan dalih dimasukkan sebagai ‘uang reject’ yang nantinya dimusnahkan dan diganti oleh BI.

“Menurut pengakuan Hendra, dia punya kenalan di BI, bisa mengatur penukaran uang palsu yang dimasukkan sebagai uang reject. Dia bilang uang itu nantinya akan dibakar dan diganti uang asli,” ujar Andi Ibrahim di hadapan majelis hakim.

Andi Ibrahim mengenal Hendra saat yang bersangkutan mencari temannya bernama Mubin Nasir, di kampus UIN Alauddin Makassar.

Dalam pertemuan itu, Andi Ibrahim menawarkan mesin offset milik sepupunya bernama Muhammad Syahruna, kepada Hendra.

Pertemuan selanjutnya di Jl Sunu, Hendra diam-diam merekam video mesin offset saat diperlihatkan Syahruna.

Di lokasi sama, Hendra mengeluarkan selembar uang pecahan Rp50 ribu, kemudian diuji dengan alat pendeteksi uang palsu, namun tertolak.

“Syahruna mengeluarkan kertas uang palsu miliknya dan mengatakan miliknya lolos pengecekan. Saat itulah Hendra menyampaikan butuh Rp1 miliar uang palsu untuk ditukar uang asli Rp100 juta,” jelas Andi.

Kepada hakim, Andi Ibrahim diberikan pemahaman oleh Hendra, uang yang akan ‘direject’ nantinya dihancurkan oleh BI dan diganti dengan uang asli. 

Uang palsu itu disamarkan seolah-olah sebagai uang rusak. 

“Katanya ada orang dalam di BI yang bisa bantu,” ujar Andi Ibrahim.

Sidang juga mengungkap video rekaman mesin offset yang direkam Hendra sempat beredar di media sosial, hingga akhirnya Syahruna diperintahkan oleh atasannya, Annar Salahuddin Sampetoding, untuk berhenti memproduksi uang palsu.

“Saya ditelepon Syahruna. Dia bilang, ‘Bos saya minta video itu dihapus’. Saya bilang saya sendiri tidak tahu kalau direkam,” kata Andi Ibrahim.

Dalam persidangan, Andi Ibrahim mengungkap sempat mengirimkan uang panjar Rp2 juta kepada Syahruna atas nama Hendra, sebagai uang muka pemesanan uang palsu

Tak lama, Syahruna kembali meminta tambahan Rp4 juta.

Namun setelah menerima panjar, Hendra tiba-tiba menghilang dan tak bisa lagi dihubungi.

Komunikasi sempat terputus, sebelum akhirnya Hendra mengaktifkan kembali nomornya, namun kemudian benar-benar tak dapat dilacak.

Kasus ini masih bergulir dan pihak kepolisian terus memburu Hendra yang menjadi kunci dalam jaringan sindikat uang palsu ini.

(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved