Aksi Demonstrasi di Pati
Aksi Demonstrasi di Pati: Bisakah Bupati Sudewo Dilengserkan? Simak Aturan di Sini
presiden tidak memiliki kewenangan mutlak untuk memberhentikan kepala daerah tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Pagi buta, Alun-Alun Simpang 5 Pati telah berubah menjadi lautan manusia.
Sejak subuh, ratusan ribu warga dari berbagai penjuru Pati, termasuk Batangan, Puncakwangi, dan Kayen, tumpah ruah dalam aksi unjuk rasa besar-besaran.
Aksi yang diinisiasi oleh Ahmad Husein ini diperkirakan mencapai 100 ribu orang, menandai gelombang protes terkuat yang pernah melanda Kabupaten Pati.
Adapun Kabupaten Pati berlokasi di Provinsi Jawa Tengah, dikenal dengan julukan "Bumi Mina Tani".
Julukan ini mencerminkan identitasnya sebagai daerah yang makmur dan subur dengan sektor pertanian yang kuat.
“Persiapan hari ini diperkirakan 100 ribu lebih (massa). Melebihi tantangan sebelumnya yang hanya 50 ribu orang,” kata Husein dikutip Tribun Jateng (13/08/2025).
Tuntutan utama aksi ini adalah agar Bupati Pati, Sudewo, mundur dari jabatannya. Husein menegaskan bahwa mereka akan terus melanjutkan aksi sampai tuntutan tersebut dipenuhi.
"Kami akan tetap bertahan di sini (Alun-Alun Pati) hingga Bupati Sudewo lengser," tegasnya.
Selain itu, Husein juga mengimbau agar aksi berjalan dengan tertib dan aman, tanpa adanya tindakan anarkis atau perusakan fasilitas umum.
"Kami ingin menunjukkan bahwa Pati aman dan damai," tambahnya.
Teguh Istiyanto, Koordinator Lapangan Penggalangan Donasi Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, mengatakan bahwa pihaknya sudah menyarankan Bupati Sudewo mundur sebelum 13 Agustus agar situasi tetap kondusif.
"Kami menginginkan Sudewo mengundurkan diri sebelum 13 Agustus untuk menjaga martabatnya. Namun jika dia tetap enggan mundur, aksi ini akan berlanjut," ujar Teguh.
Baca juga: Dibayar Rp 12 Juta Sekali Zoom, Kisah Alex, Hacker Etis Muda Riau yang Pernah Raih Penghargaan NASA
Baca juga: Ini Daftar Kekecewaan Masyarakat yang Berujung Demo di Pati, Tuntut Mundur Bupati Sudewo
Teguh juga menegaskan bahwa aksi ini bukan hanya terkait dengan kebijakan kenaikan PBB, melainkan juga terkait dengan kualitas kepemimpinan Sudewo yang dianggap kurang memadai.
"Kami tidak mau menjadi objek uji coba bagi pemimpin yang belum siap," tambahnya.
Lalu, bisakah kepala daerah dilengeserkan, bagaimana tahapan dan mekanismenya?
Syarat pemberhentian kepala daerah
Dikutip dari Kompas.com, pemberhentian kepala daerah telah diatur secara jelas dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam ketentuan ini, kepala daerah dapat diberhentikan karena:
Berakhir masa jabatannya;
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah;
- Melakukan pelanggaran berat terhadap peraturan perundang-undangan;
- Terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman tertentu; atau
- Diberhentikan melalui mekanisme politik oleh DPRD dengan persetujuan Mahkamah Agung.
Dari regulasi tersebut, presiden tidak memiliki kewenangan mutlak untuk memberhentikan kepala daerah tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan.
Dalam konteks kepala daerah yang terjerat kasus hukum, proses pemberhentian tetap harus melalui jalur yang diatur dalam undang-undang, bukan sekadar keputusan politik pemerintah pusat.
Dikutip dari website UGM, Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM, Prof. Drs. Purwo Santoso, M.A., Ph.D., menyebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah harus dengan alasan kuat sesuai dengan Undang-undang.
Adapun pemberhentian kepala daerah telah diatur dalam UU. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Pada pasal 78 UU ini dirinci sejumlah persyaratan terkait pemberhentian kepala daerah.
Beberapa diantaranya berakhirnya masa jabatannya, tidak melaksanakan tugas secara berkelanjutan/berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, dan dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.
Berikutnya, melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, melakukan perbuatan tercela, diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh presiden yang dilarang dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, menggunakan dokumen dan atau keterangan palsu, serta melakukan perbuatan tercela.
“Ada sekian banyak prosedur untuk pemberhentian kepala daerah, salah satunya didakwa melakukan pelanggaran pidana berat seperti korupsi, pembunuhan dan lainnya,” terang dosen di Departemen Ilmu Politik Pemerintahan Fisipol UGM ini.
Tahapan pemakzulan kepala daerah
Proses pemakzulan kepala daerah di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, melibatkan beberapa tahapan penting.
Secara garis besar, pemakzulan dimulai dari inisiasi oleh DPRD, dilanjutkan dengan proses pemeriksaan oleh Mahkamah Agung, dan diakhiri dengan keputusan pemberhentian oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri.
Berikut adalah tahapan pemakzulan kepala daerah secara lebih rinci:
1. Pengajuan Usul Pemberhentian oleh DPRD
DPRD menginisiasi proses pemakzulan dengan mengajukan usul pemberhentian kepala daerah kepada Presiden (untuk Gubernur/Wakil Gubernur) atau Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati/Wali Kota/Wakil Bupati/Wakil Wali Kota).
Usul ini harus didasarkan pada alasan yang jelas, seperti pelanggaran sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan, atau melakukan perbuatan tercela.
Usul ini diajukan setelah melalui proses pembahasan dan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPRD.
2. Pemeriksaan oleh Mahkamah Agung (MA)
Usul pemberhentian dari DPRD kemudian diteruskan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan pemeriksaan.
MA memeriksa apakah alasan pemberhentian yang diajukan oleh DPRD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
MA akan memberikan keputusan apakah kepala daerah terbukti bersalah atau tidak.
3. Keputusan Pemberhentian
Jika MA memutuskan bahwa kepala daerah bersalah, maka pimpinan DPRD menyampaikan usul pemberhentian kepada Presiden (untuk Gubernur/Wakil Gubernur) atau Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati/Wali Kota/Wakil Bupati/Wakil Wali Kota).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.