Dari pengamatan Tribun, di tempat pencurian minyak tersebut, berdiri bangunan dari kayu yang dijadikan warung berjualan makanan dan minuman.
Bangunan sederhana itu berada diantara pepohonan sawit. Dari jalan raya jaraknya berkisar antara 3 - 4 meter saja.
Di sisi kanannya, ada pula dua buah pondok kayu yang lebih kecil dari bangunan utama.
Di belakang warung itulah, para sindikat pencuri minyak mentah ini beraksi.
Mereka membuat modus seolah-olah sedang memarkirkan truk untuk sekedar duduk ngopi di warung itu.
Hal ini dilakukan demi mengurangi kecurigaan. Mereka juga sengaja memilih waktu pada malam hari untuk beraksi.
Para pelaku terbilang cukup mumpuni dalam menjalankan aksi pencurian minyak. Peralatan yang mereka gunakan juga cukup lengkap.
Mulai dari alat untuk mengebor pipa shipping line tempat aliran minyak mentah, alat las, instalasi berupa keran untuk membuka dan menutup aliran minyak, hingga selang panjang sekitar 100 meter untuk mengalirkan minyak dari pipa ke mobil tangki.
Pipa shipping line sendiri lokasinya ada di dalam tanah di seberang jalan, persis di depan bangunan warung tadi.
Cara kerjanya, mereka melakukan penggalian di satu titik sampai pipa shipping line kelihatan.
Selanjutnya mereka mengebor pipa itu, memasang instalasi semacam keran, mengelas, lalu dipasang ujung selang berwarna hitam.
Kemudian mereka membuat semacam lobang di bawah jalan aspal sampai menuju ke belakang warung.
Lobang tersebut dibuat untuk menanam, sekaligus jalan bagi selang pengalir minyak, supaya tak terlihat.
Untuk lebih menyamarkan lagi, di atas tanah yang jadi tempat lewat selang, ditutup dengan pelepah sawit.
Barulah di belakang warung tersebut, minyak mentah dialirkan keluar dari ujung selang satunya lagi, selanjutnya dimasukkan ke dalam mobil tangki yang sudah disiapkan.
Melihat alur tersebut, sistem kerja sindikat ini memang sangat rapi dan penuh perhitungan.