News analysis oleh: Prof Dr Yustina MSi, Guru Besar Pendidikan Sains Universitas Riau
PEKANBARU - Peraturan dan undang-undang kita sudah jelas, yang mengatur tentang illegal logging, mulai dari pengawasan, hingga hukuman yang diberikan kepada para pelaku perambahan hutan.
Namun apa yang tersurat dan tercantum dalam undang-undang, tidak sesuai dengan aplikasi dan penerapannya di lapangan. Sehingga kejadian terus berulang dan kembali terjadi. Seperti tidak ada efek jera bagi mereka, otak dari pelaku. Karena pada dasarnya mereka sebagai otak pelaku memang tidak tersentuh.
Kalau saja undang-undang tersebut diterapkan, dan benar-benar diaplikasikan, tentulah ada kata kapok dan jera bagi mereka. Dalam undang-undang ilegal loging itu diatur bagaiaman pengawasan, dan bagaimana hukumannya, itu jelas diatur, tapi hal itu tidak terlaksana.
Dengan kondisi sekarang, berharap kepada pemerintah kita sangat pesimis. Karena pemerintah sendiri tidak tegas dalam menindak dan menindaklanjuti persoalan ini. Sehingga yang banyak dikorbankan adalah rakyat kecil, sementara otak pelakunya tetap bebas berkeliaran mempersiapkan ilegal loging selanjutnya.
Kalau pun kita bicara soal hukuman seperti apa bagusnya, apa mungkin akan dijalankan oleh pemerintah. Berbagai pengamatan diberikan oleh para ahli, namun mengapa tetap saja kebijakan pemerintah tetap sama.
Kemudian kita bahas soal bagaimana pengawasan seharusnya, tak diberitahu pemerintah juga sudah mengerti bagaimana pengawasan yang seharusnya dilakukan. Tapi mengapa itu tidak diterapkan?
Sadar atau tidak, hampir setiap hari kita menyaksikan bagaimana janggalnya penerapan hukum di Indonesia. Hukum yang diterapkan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kalau soal rakyat yang ditindak, cepat dan begitu detail, tapi kalau pelakunya elit, kita bisa saksikan sendiri.
Dengan demikian, kita tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah. Dalam persoalan ini, yang harus digerakkan adalah kesadaran kita semua, seluruh komponen masyarakat mesti dilibatkan.
Bagaimana rakyat kompak untuk mengatasi hal ini. Bagaimana penebangan di daerah mereka tidak terjadi lagi. Kalaulah semua kompak dan semua elemen masyarakat dilibatkan dan disadarkan, maka diharapkan kondisi seperti ini tidak terjadi lagi.
Namun di sisi lain kita juga dilema. Karena banyak juga kejadiannya masyarakat disuruh oleh pihak luar yang mulai menguasai hutan kita.
Saya turun langsung ke lapangan saat bencana asap beberapa waktu lalu. Ketika saya minta beberapa kepala desa saat dialog untuk mensosialisasikan kepada masyarakat agar tidak bakar hutan, mereka mengatakan, tanah kami itu, tak ada yang punya kami lagi, tapi yang punya orang asing, yang sudah membeli lahan masyarakat, kemudian masyarakat diupah dan disuruh untuk membakar.
Saya bukan sekali itu saja mendapati halnyang seperti itu, beberapa lokasi lainnya juga sama, pihak asing membeli lahan masyarakat. Seperti kita tahu, untuk masuk ke daerah pihak asing memang tidak begitu sulit lagi.
Mereka di daerah dilema. Ketika ada orang lain masuk ke rumah kita, bagaimana anggota keluarga mengusirnya kalau ayah kita sudah membolehkannya.
Mereka masuk ke rumah kita harusnya bertindak sebagai tamu, tapi yang terjadi adalah, mereka bebas masuk ke ruang mana saja, dan bebas melakukan apa yang mereka inginkan. Saya yang sering turun dengan teman-teman, berkali-kali miris menyaksikan kondisi masyarakat. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)