Sepanjang objeknya adalah keberatan terhadap hasil pemilihan.
Dalam hal ini hasil yang signifikan. Pemohon memohon SK KPU untuk dibatalkan.
Dengan mendalilkan bahwa pemohonlah, sebagai peraih suara terbanyak.
Kalaupun ada pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana atau penetapan pencalonan, sebagai alat bukti pendukung.
Yang berkorelasi dengan perolehan suara. Tidak dapat sebagai objek sengketa di MK, karena bukan kewenangannya MK.
Keempat, ambang batas. Adalah selisih perolehan hasil antara Pemohon dan Terkait.
Ada batasan ambang batas yang sudah dirumuskan oleh Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2010 tentang Pemilihan (Pilkada).
Lebih lanjut, penulis akan bahas ini lebih rinci di bawah.
Karena ini sangat penting dan menentukan. Apakah permohonannya “Diterima” atau “Tidak Diterima”.
Karena ada terobosan yang dilakukan MK, sejak pemilihan 2020. Ini pernah terjadi di Kota Banjarmasin, Boven Digoel, dan Nabire serta beberapa daerah lain.
MK mengabaikan, ketentuan selisih ambang batas yang melebihi persyaratan minimal.
Namun, disubstansi pokok permohonan teridentifikasi ada peroses yang dilanggar dan tidak sesuai ketentuan oleh Termohon.
Di Kota Banjarmasin, putusannya sebagian dikabulkan dan dilakukan pemungutan penghitungan suara ulang (PSU) di sejumlah TPS.
Sedangkan, di Nabire terkait pencalonan. Permohonannya dikabulkan seluruhnya.
Di mana paslon peraih suara terbanyak didiskualifiasi sebagai paslon. Di seluruh TPS dilakukan pemungutan dan penghitungan suara ulang, tanpa mengikutkan paslon tersebut.