Dalam praktiknya, jika tidak terpenuhi selisih ambang batas, permohonan langsung Tidak Diterima, melalui putusan sela (dismissal).
MK pun kerap dijuluki sebagai “mahkamah kalkulator”. Hanya fokus kepada hasil selisih angka-angka saja.
Sementara substansi permohonan diabaikan, dan pemohon kehilangan kesempatan untuk membuktikan di MK.
Inilah yang oleh para pakar HTN menyebutnya, sebuah trobosan progresif MK. Meskipun, ambang batas ini masih sebagai syarat formil.
MK saat ini agak mengabaikan. Dan, akan diperiksa dan diputus bersama-sama pokok permohonan.
Namun, MK tetap memberikan syarat ketat. Bahwa di pokok permohanan pemohon, sudah harus terlihat ada substansi materi yang menguatkan bahwa terjadi selisih perolehan hasil yang signifikan.
Ada kekeliruan soal hasil penghitungan yang dilakukan oleh Termohon. Sehingga majelis perlu memeriksanya lebih dalam.
Namun, jika pemohon kurang dapat menyakinkan dipermohonan, MK tetap berpeluang tidak menerima permohonan melalui putusan sela.
Selisih Ambang Batas untuk mendalami cara penghitungan ambang batas suara, yaitu selisih perolehan suara maksimal.
Sebagai batasan syarat untuk dapat melakukan permohonan ke MK, disajikan beberapa simulasi.
Menurut Pasal 158 (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2010 junto Peraturan MK (PMK) No. 3 Tahun 2024 tentang Tata Beracara Sengketa Pemilihan di MK.
Untuk Provinsi dengan jumlah penduduk 0 – 2 juta jiwa, jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan yang sudah ditetapkan KPU Prov dengan pemohon.
Provinsi dengan penduduk 2 – 6 juta selisih suara paling banyak 1,5 persen.
Provinsi dengan penduduk 6 – 12 juta selisihnya paling banyak 1,5 persen.
Kemudian, provinsi dengan penduduk 12 juta ke atas selisihnya paling banyak 0,5 persen.