PERSPEKTIF
Pelayanan Kesehatan di Persimpangan Jalan
RSUD Arifin Achmad, Provinsi Riau kewalahan menampung pasien karena keterbatasan kamar rawat inap, terutama kamar rawat inap kelas 1
Penulis: Erwin Ardian1 | Editor: FebriHendra
Pelayanan Kesehatan di Persimpangan Jalan
Oleh : Erwin Ardian
Pemimpin Redaksi Tribun Pekanbaru
PELAYANAN kesehatan di Provinsi Riau tengah berada di titik krusial. Sepekan terakhir, laporan mengenai penumpukan pasien di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit besar di Pekanbaru, serta maraknya warga yang memilih berobat ke Malaysia, menjadi potret nyata bahwa sistem kesehatan daerah ini membutuhkan pembenahan serius.
Rumah sakit tipe A, seperti RSUD Arifin Achmad, kewalahan menampung pasien karena keterbatasan kamar rawat inap, terutama kelas 1 yang paling diminati peserta BPJS Kesehatan.
Fenomena ini bukan semata masalah teknis kapasitas ruang, tetapi cerminan dari ketidakseimbangan sistem layanan rujukan dan persebaran fasilitas kesehatan di Riau.
Dinas Kesehatan Provinsi telah mengakui bahwa hanya dua rumah sakit tipe A yang beroperasi di Riau, sehingga ketika kasus berat meningkat, pasien menumpuk di satu titik.
Sementara rumah sakit tipe B dan C di kabupaten-kabupaten belum sepenuhnya mampu menampung beban pasien secara optimal.
Akibatnya, banyak warga akhirnya mencari jalan pintas ke luar negeri. Seperti diungkapkan dalam laporan Tribun Pekanbaru, warga Rokan Hulu dan sejumlah daerah lain memilih berobat ke Malaysia karena merasa pelayanan di sana lebih cepat, efisien, dan manusiawi.
Mereka rela mengeluarkan biaya lebih mahal demi mendapatkan kepastian layanan — sesuatu yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara di negeri sendiri.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di saat pemerintah pusat dan daerah terus menggaungkan peningkatan mutu layanan publik.
Namun, di lapangan, birokrasi yang berbelit, kurangnya tenaga medis, dan keterbatasan fasilitas masih menjadi tembok tebal yang menghalangi cita-cita pelayanan kesehatan berkualitas bagi semua.
Rumah sakit di Riau, terutama milik pemerintah, masih terlalu sentralistik dan belum bertransformasi menjadi institusi pelayanan modern yang menempatkan pasien sebagai pusat perhatian.
Solusi jangka pendek seperti wacana pemanfaatan kamar VIP untuk pasien kelas 1 patut diapresiasi, namun langkah itu tidak cukup.
Pemerintah daerah perlu melihat persoalan ini secara sistemik: memperluas fasilitas rumah sakit rujukan, mempercepat pembangunan RS tipe B di daerah, serta memperkuat jejaring rujukan antar rumah sakit agar tidak terjadi penumpukan di IGD.
Penambahan kapasitas tanpa reformasi manajemen hanya akan mengulang masalah serupa di masa depan.
Selain infrastruktur, reformasi layanan publik menjadi kunci. Keluhan tentang antrean panjang, petugas yang kurang ramah, dan administrasi yang rumit menunjukkan bahwa problem utama bukan hanya jumlah ruang, tetapi budaya pelayanan.
Rumah sakit harus menanamkan nilai empati dan profesionalisme di setiap lini, sebab pelayanan medis bukan sekadar soal prosedur, tetapi juga soal kemanusiaan.
Pemerintah Provinsi Riau bersama BPJS Kesehatan juga perlu menyinergikan kebijakan agar akses pelayanan tidak timpang.
Rumah sakit swasta yang selama ini enggan menerima pasien BPJS perlu diberi insentif dan regulasi yang lebih fleksibel, sehingga beban rumah sakit negeri dapat terbagi. Tanpa kolaborasi antara sektor publik dan swasta, krisis pelayanan akan terus berulang.
Kita juga harus jujur mengakui bahwa banyak warga berobat ke luar negeri karena tidak percaya pada kualitas layanan dalam negeri.
Rasa tidak percaya ini tidak bisa dilawan dengan slogan, tetapi harus dijawab dengan peningkatan mutu nyata.
Dari pengalaman pasien, rumah sakit di Malaysia bukan sekadar menawarkan teknologi, tetapi juga kepastian waktu dan perhatian penuh terhadap pasien — dua hal yang masih menjadi kelemahan utama di Riau.
Di sisi lain, warga juga perlu diedukasi untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan secara berjenjang. Kesadaran masyarakat akan pentingnya layanan primer dan rujukan sesuai prosedur akan membantu menyeimbangkan beban rumah sakit besar.
Tanpa disiplin sistem, rumah sakit tipe A akan terus kewalahan menghadapi lonjakan pasien yang seharusnya bisa ditangani di fasilitas yang lebih rendah.
Akhirnya, masalah kesehatan adalah cermin dari tata kelola pemerintahan. Riau harus berani berbenah, karena pelayanan kesehatan bukan sekadar urusan medis, tetapi urusan keadilan sosial.
Ketika warga merasa lebih nyaman berobat di negeri orang, itu berarti ada pekerjaan rumah besar yang belum selesai.
Pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat harus bersatu memperjuangkan layanan kesehatan yang bermartabat — agar sembuhnya rakyat Riau tidak perlu menyeberang Selat Malaka. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.