Serangan Gajah Liar di Riau
Malam Menegangkan di Perlintasan Gajah di Pekanbaru, Anto Minta Datuk Tak Mengganggu
Gajah dianggap sebagai makhluk yang dihormati dan memiliki hubungan historis dengan masyarakat setempat.
Penulis: Budi Rahmat | Editor: Ariestia
Ringkasan Berita:
- Perlintasan gajah liar berada dekat permukiman warga di Rumbai Barat.
- Warga menyapa gajah dengan sebutan “Datuk/Atuk” sebagai bentuk penghormatan untuk menghindari konflik.
- Warga berharap pemerintah dan BBKSDA memberi solusi agar aman tinggal di jalur lintasan gajah.
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Ketua RT 02, RW 002 Kelurahan Rantau Panjang, Kecamatan Rumbai Barat, Pekanbaru, Slamet Riyanto yang akrab disapa Anto mengajak Tribunpekanbaru.com, ke lokasi perlintasan gajah liar di lokasi perkebunan kelapa sawit
Pertemuan Tribunpekanbaru.com dengan Anto memang disengaja pada Senin (3/11/2025) atau satu hari pasca Citra dinyatakan meninggal dunia, Sabtu (1/11/2025.
Citra diamuk gajah pada Kamis (30/10/2025) subuh sekitar pukul 04.30 WIB lalu.
Perlintasan gajah itu berjarak sekira 100 meter dari kediaman Ezra Citra Juniani Purba.
Lokasi perlintasan itu seperti ada jalan tanah.
Baca juga: Suara Gajah Terdengar Sedih Seusai Amuk Bocah Citra di Kebun Sawit Pekanbaru
Baca juga: Interaksi Negatif Gajah dan Manusia di Riau, Kehilangan Habitat Jadi Penyebab Utama
Pada bagian jalan yang dilintasi sudah dipastikan tak ada tanaman sawit.
Dari cerita Anto, karena sudah menjadi kepastian gajah melintas di wilayahnya, Anto mengatakan ia dan warga akan senantiasa waspada.
Menurutnya, usaha yang dilakukan menghalau gajah ketika mereka melintas.
"Gajah-gajah itu tidak bisa diusir. Saat mereka bergerak berjalan, saat itu kami akan mempercepat langkah gajah agar meninggalkan lokasi.
"Kami dengar sudah ada suara petasan dari hulu. Jadi kami akan waspada. Biasanya saya akan ingatkan warga yang rumahnya dekat dengan pelintasan untuk mengungsi," ujar Anto.
Dan ada kebiasaan turun temurun ketika Anto dan warga lain berkomunikasi dengan gajah-gajah tersebut.
Menyapa dengan sebutan Datuk dan kemudian meminta agar tidak mengganggu.
"Kami melihat gajah-gajah itu melintas. Ia masuk ke rimbunnya kebun sawit. Nah, saat itulah kami akan berkomunikasi dengan memanggil gajah itu dengan sebutan Datuk.
"Tuk jangan ganggu. Kami hanya mencari makan," terang Anto.
Dari literasi Tribunpekanbaru.com, memang kebiasaan masyarat Riau memanggil gajah dengan sebutan "atuk" atau "datuk" .
Itu adalah bentuk penghormatan.
Ini dilakukan karena gajah dianggap sebagai makhluk yang dihormati dan memiliki hubungan historis dengan masyarakat setempat.
Alasan di balik sebutan ini sebagai wujud penghormatan dimana masyarakat Melayu secara umum menghormati gajah karena ukurannya yang besar dan dianggap sebagai makhluk yang bijaksana dan tua.
Kemudian kata "datuk" sendiri memiliki arti sesepuh atau orang yang dituakan.
Sebutan Datuk ini juga sebagai simbol kebesaran.
Dimana sebutan ini juga menunjukkan bahwa gajah adalah makhluk yang disegani, sehingga penting untuk dihormati keberadaannya.
Itu juga sebagai menghindari konflik.
Dengan memanggil gajah menggunakan sebutan yang hormat, masyarakat berharap dapat mengurangi potensi konflik saat bertemu dengan gajah liar, terutama ketika gajah memasuki area permukiman.
Bagi masyarakat Riau, keberadaan gajah tak hanya sekedar sebagai hewan saja, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas mereka.
Karena itulah pangggilan Datuk pada gajah secara turun temurun digunakan sebagai alat komunikasi.
"Memang sudah sejak dulu menggunakan kata Atuk atau Datuk.Dan biasanya gajah itu akan pergi ketika ada sapaan Datuk tersebut," terang Anto.
Harapan pada Pemegang Kebijakan
Masih di pelintasan gajah. Tribunpekanbaru.com melihat dengan seksama. Pelintasan itu seperti jalan setapak menuju rimbunnya kebun sawit.
Pada area perlintasan, tak ada tanaman sawit tinggi. Karena sengaja memang tidak lagi ditanami.
Menurut Anto, wasit yang ditanami di sini (pelintasan) tidak bisa tumbuh sampai tinggi.
Gajah yang lewat akan memakannya, " ungkap Anto.
Sesuai dengan pernyataan Anto tersebut, dari penglihatan Tribunpekanbaru.com, yang tampak hanya tanaman sawit yang kering.
Kenyataan gajah yang kerap datang dan bisa membahayakan warga, Anto berharap pada pihak yang memegang kebijakan seperti pemerintah daerah dan juga BBKSDA untuk lebih perhatian.
"Tentu saja, warga berharap hidup dan tinggal beraktifitas dengan aman dan nyaman. Karena itu, butuh perhatian dan solusi agar tak menjadi masalah yang serius melibatkan warga," terang Anto.
Menurunya, gajah tetap menjadi hewan yang dilindungi, namun keberlangsungan warga berkehidupan dengan berkebun juga harus menjadi perhatian serius.
"Ini menyangkut nyawa manusia. Jadi harus menjadi perhatian serius. Karena itu kami berharap pihak terkait tersebut memberikan solusi dan peringatan sejak dini," papar Anto.
Katimin, Kepala Seksi Kelurahan Rantau Panjang juga mengungkapkan harapan yang sama.
Menurutnya pasca kejadian, ada komunikasi yang dilakukan dengan pihak BKSDA.
Komunikasi tersebut juga diringi dengan harapan bagaimana potensi konflik gajah dengan warga bisa diminimalisir.
"Pihak BKSDA langsung berkomunikasi dengan pihak kecamatan, kelurahan dan warga. Di sana tentu saja ada pengarahan dan kami sampaikan harapan," ungkap Katimin. (Tribunpekanbaru.com/Budi Rahmat)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/Perlintasan_Gajah_di_RT_02_RW_002_Kelurahan_Rantau_Panjang_Pekanbaru.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.