Eksklusif
Fitra: Mereka Lebih Takut KPK, Kades Berikan Setoran ke Oknum kecamatan dan Kabupaten
"Kepala desa masih harus memberikan setoran kepada pihak kecamatan dan kabupaten ketika ingin mencairkan dana desa," ujar Usman.
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebut pengaplikasian dana desa di lapangan masih banyak bermasalah.
Seperti praktek korupsi dan penggelembungan (mark up) banyak ditemukan, termasuk yang dilakukan oknum kepala desa.
Ini berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan Fitra dan penggiat antikorupsi lainnya di Riau.
Sebagian besar kades masih memikirkan dana desa untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Baca: Kiri Kanan Minta Setoran - Kades Ini Ngaku Pusing Kelola Dana Desa
"Temuan kami, terkait pelaksanaan dana desa di Riau. Pertama ketertutupan informasi tentang perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dana desa kepada masyarakat terjadi hampir disemua desa di Riau,"ujar ketua Fitra Riau Usman kepada Tribun Selasa (9/1/2018).
Kemudian menurut Usman, keterlibatan masyarakat masih sangat minim dalam semua proses pembangunan tersebut.
Namun ketika tim Marwah (Tim Gerakan aksi Kordinasi Supervisi Pencegahan Korupsi) berkunjung ke daerah, informasi mengenai laporan penggunaan dana desa dapat disediakan dan diumumkan di kantor desa.
Baca: Video: Dana Desa Jadi Sasaran Korupsi - Kades Diminta Bayar Rp 2 Juta untuk Verifikasi Pencairan ADD
Hal ini menunjukkan bahwa kepala desa berikut jajarannya lebih takut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) daripada kepada masyarakat yang seharusnya mendapatkan layanan.
"Kepala desa masih harus memberikan setoran kepada pihak kecamatan dan kabupaten ketika ingin mencairkan dana desa," ujar Usman.
Tidak hanya itu, lanjut Usman, masih terjadi modus korupsi mark up biaya pembangunan terutama pembangunan infrastruktur dan lapangan olah raga.
Perangkat desa masih meminta dana untuk pengurusan administrasi kependudukan dan lainnya.
Baca: Sang Anak Nangis Histeris saat Pergoki Ayahnya Berduaan dengan Wanita Lain, si Pelakor Kabur
"Jadi inilah persoalan yang terjadi dalam proses pembangunan melalui dana desa yang terjadi saat ini," ujar Usman.
Selain itu, yang harus diperhatikan lagi menurut Usman, penegak hukum juga terlalu represif dalam melakukan pembinaan.
Mestinya penegak hukum di Riau jangan terlalu represif dalam melakukan pembinaan terhadap kepala desa.
"Sehingga semangat atau ruh UU Desa tersebut bisa berjalan dengan baik sesuai dengan semangatnya. Karena UU Desa lahir sebagai salah satu jawaban atas kegagalan negara dalam membangun desa selama ini," ujar Usman.
Pembinaan cukup dilakukan dengan melakukan peningkatan kapasitas pemerintah desa dalam mengelola anggaran desa. Bukan melakukan pendekatan represif terhadap pemerintahan desa yang tidak benar.
"Kita akui masih ada kepala desa yang tidak sesuai dengan jalurnya. Namun harus dimaklumi bahwa semangat UU Desa harus menjadikan desa dan perangkatnya berdaya, bukan teraniaya oleh pendekatan pengak hukum yang represif," ujar Usman.
Terpenting lagi, mestinya UU Desa bisa menjadi jembatan emas agar desa mandiri, demokratis dan sejahtera.
Namun rupanya banyak pihak tidak rela, termasuk oknum kepala desa itu sendiri. Mereka tetap ingin ambil untung.
UU Desa yang revolusioner kini melenceng tak seperti roh awalnya.
Itulah salah satu yang mengemuka pada Sarasehan Refleksi 4 Tahun UU Desa No 6 / 2014.
Pada tahun 2018 ini Provinsi Riau mendapatkan dana desa dari pemerintah pusat sebanyak Rp 1.254.688.851.000.
Dana sebanyak hampir Rp 1,3 triliun itu dibagi ke 1.592 desa yang tersebar di 10 kabupaten, minus Kota Pekanbaru dan Kota Dumai.
Dana bagi pembangunan desa masih ditambah lagi dari Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang jumlahnya juga mencapai triliunan rupiah.
Pemerintah Provinsi Riau juga mengucurkan Bantuan Keuangan (Bankeu) desa dengan jumlah Rp 100 juta untuk setiap desa di Bumi Lancang Kuning.
Pembagian dana desa terbesar di Riau didapatkan 136 desa di Bengkalis, yang setiap desanya mendapatkan Rp 2,98 miliar pada tahun 2018 ini.
Sementara ADD yang diterima ibuan desa lainnya berkisar Rp 1,1 miliar sampai Rp 1,8 miliar per tahun. (TRIBUN PEKANBARU CETAK/uha)
Bagaimanakah tanggapan pengamat kebijakan publik terhadap maraknya pungli terhadap dana desa yang dikelola kades? Baca selengkapnya di Harian Tribun Pekanbaru EDISI HARI INI.
