Merawat Peradaban Sejarah Kerajaan Dharmasraya dengan Pariwisata
jika peradaban dunia diyakini bermula dari Daerah Aliran Sungai, maka Dharmasraya yang dibelah Sungai Batang Hari, menyimpan sejuta kisah masa lampau
Penulis: Firmauli Sihaloho | Editor: M Iqbal
TRIBUNPEKANBARU.COM - Jika peradaban dunia diyakini bermula dari Daerah Aliran Sungai, maka Dharmasraya yang dibelah Sungai Batang Hari, menyimpan sejuta kisah masa lampau. Tidak hanya lisan, bukti-bukti otentik dapat dijumpai di Kabupaten yang resmi berdiri pada tahun 2004 silam.
Berjarak sekitar 200 kilometer dari Ibukota Padang, Dharmasraya dikelilingi bukit-bukit dengan areal perkebunan karet dan kelapa sawit. Ketika melintas, berbagai plang petunjuk lokasi menemani perjalanan dan dapat dibaca dengan jelas. Menariknya, di papan nama itu tertulis situs-situs sejarah seperti nama-nama Candi dan Kerajaan.
Candi Padang Roco dan Pulau Sawah yang berada di Jorong Sungai Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung contohnya. Akses menuju lokasi ini sudah cukup baik untuk dilintasi mobil dan sepeda motor.
Membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari Jalan Lintas menuju lokasi, pengunjung di sepanjang perjalanan dimanjakan pemandangan perbukitan nan hijau. Lanskap pedesaan asri menemani perjalanan. Seperti lahan-lahan pertanian milik warga semacam sawah dan kebun jeruk serta hewan ternak masyarakat yang masih berkeliaran. Sesekali view Sungai Batang Hari yang luas dan deras juga terlihat jelas.
Candi Pulau Sawah menjadi lokasi pertama yang dijumpai. Berada di sisi kanan jalan, pengunjung disambut bangunan papan warna-warni yang berdiri di atas embung dengan beberapa pondok. Diketahui, bangunan ini untuk mengakomodir para wisatawan yang berkunjung.
Menyusuri areal kebun karet sejauh kurang lebih 300 meter, pengunjung akan tiba tepat di bibir Sungai Batang Hari yang ditumbuhi pohon-pohon karet. Sementara itu, di sisi kiri terlihat beberapa gundukan tanah berada di areal kebuh karet yang begitu luas. Lokasi ini dipugar yang diketahui menyimpan peninggalan Kerajaan Dharmasraya. Hanya saja, proses penggalian terhenti oleh beberapa faktor.
Meski begitu, pengunjung masih bisa melihat dan menjumpai Candi Pulau Sawah berupa tumpukan batu bata yang berada di atas padang rumput luas. Lokasi Candi Pulau Sawah ini diyakini sebagai pusat Kerajaan Dharmasraya dulunya. Pasalnya, lokasi yang begitu luas hingga berbagai penemuman penting ditemukan di daerah ini, mulai dari artefak, candi, arca dan temuan arkeologis lainnya.
Beranjak dari Candi Pulau Sawah menuju Kompleks Padang Roco, pengunjung membutuhkan waktu sekitar 10 menit perjalanan, Di lokasi ini terdapat tiga candi berukuran sedang. Ketiga candi tersebut tersusun rapi meski tak seperti candi utuh lainnya. Berbeda dari Candi Pulau Sawah, lokasi Candi Padang Roco ini jauh lebih ramah pengunjung. Seperti taman bunga, pedestrian, pondok-pondok tempat berteduh, warung kopi hingga toilet sudah tersedia di sini.
Menyoal nilai historis, Candi Padang Roco juga menjadi bukti kebesaran Kerajaan Dharmasraya. Sebab, ada dua penemuan penting di lokasi yang kini dikelilingi kebun karet ini.
Pertama ialah artefak- artefak yang ditemukan berupa alas kaki patung atau Arca Amoghapasa. Namun, penemuan secara terpisah antara Arca Amogphasa dan alas kakinya. Alas kakinya ditemukan di Candi Padang Roco sedangkan, patung atau Arca Amogpahasa ditemukan di Rambahan Lubuak Bulang.
Adapun patung tersebut merupakan hadiah dari Kartanegara sebagai tanda persahabatan dengan Dharmasraya untuk Adityawarman yang kemudian dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Arca Amogphasa ini juga menjadi simbol bahwa harmonisasi dan diplomasi sudah terjalin baik di nusantara sejak dahulunya.
Di samping itu, di sekitar Candi Padang Roco ini juga ditemukan Arca Bhairawa atau patung bentuk perwujudan Adityawarman sebagai Raja Dharmasraya. Patung batu raksasa ini berukuran tinggi 4,41 meter dan berat 4 ton yang terbuat dari batu andesit. Arca ini disebut sebagai patung terbesar se Asia Tenggara.
Namun, cerita di atas hanya bisa didapat pengunjung lewat lisan saja. Kedua Arca tersebut saat ini berada di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
Setelah menapaki sejarah kerajaan Hindu-Budha, kini saatnya pengunjung menyeberang untuk mengetahui lanjutan kisah kerajaan Dharmasraya yang mulai menganut agama Islam yang berpusat di Kerajaan Siguntur.
Dari lokasi pertama, pengunjung bisa menumpangi ponton atau kapal yang bisa memuat sepeda motor sekitar 3 menit saja. Untuk tarif, satu orang penumpang cukup merogoh kocek sebesar Rp 5 ribu saja. Sementara bagi pengunjung yang membawa kendaraan, membutuhkan waktu sekitar 20 menit menuju lokasi dengan kembali ke jalan utama.
Di daerah Kerajaan Siguntur ini, terdapat peninggalan penting. Yakni Rumah Gadang Raja, Makam Para Raja dan Masjid Tuo Siguntur yang diperkirakan dibangun pada tahun 1443.
Ahli Waris Kerajaan Siguntur Tuan Acik Putri Marhasnida menjelaskan Kerajaan Siguntur berawal dari Kerajaan Melayupura Dharmasraya yang kekuasaanya dimulai sekitar abad 8 hingga 11. Kerajaan ini, lanjut Dia mencapai puncak kejayaan pada Abad 11 hingga 13 dengan menguasai seluruh Sumatera hingga ke Semenanjung Melaka di bawah kepemimpinan Raja Aditywarman bergelar Maharajadiraja
“Singkat cerita, pada abad 13, para keturunan Raja Aditywarman menyebar ke seluruh daerah kekuasaan dan mulai mendirikan kerajaan di sana. Disaat itu, muncul seorang Penyiar Agama Islam di sini bernama Muhammad Syafei dan memulai misi penyebaran ajaran Islam. Lalu, pada tahun 1443 Kerajaan Islam pertama muncul di Dharmasraya dengan nama Raja Sultan Muhammad Syah yang memimpin Kerajaan Siguntur,” kata Dia kepada Tribunpekanbaru.com, Jumat (27/12/2019).
Hasnida menjelaskan dirinya juga masih menyimpan beberapa peninggalan penting kerajaan, baik dari masa Hindu Budha maupun di masa Islam. Mulai dari stempel kerajaan, artefak, alat kesenian, pedang, keris hingga rencong Aceh yang terbuat dari Gading Gajah.
“Peninggalan itu kita simpan dengan baik di rumah. Hanya saja pengunjung belum bisa melihatnya. Belum saatnya untuk kami perlihatkan kepada masyarakat umum, ada momennya nanti,”kata Dia.
Selain benda, pihaknya juga melestarikan peninggalan berupa kesenian tradisional, seperti Tari Tongga dan Silek Songsong.
“Kita berharap dengan semakin dikenalnya Kerajaan Siguntur akan menambah referensi terhadap keberadaan Kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dan lokasi ini juga bisa dikunjungi kapan saja dan siapa saja yang ingin berwisata sejarah,”sambungnya.
Perempuan yang berprofesi Guru ini juga menuturkan bahwa masih banyak peninggalan Kerajaan Dharmasraya yang belum tergarap maksimal. Seperti lokasi di Candi Pulau Sawah yang belum digali seutuhnya.
“Kita memperkirakan ada sekitar 30 hektare lahan yang belum digali di sepanjang aliran Sungai Batang Hari. Jika itu selesai, maka akan banyak peninggalan-peninggalan yang ditemukan yang tentunya juga akan sangat bermanfaat bagi bangsa ini. Oleh sebab itu, kita juga terus mendorong pemerintah agar segera membangun Museum di sini” tuntas Dia.
• Kisah Warga Miskin di Siak, Tempati Rumah Terpal dan Makan Malam dengan Ubi Rebus
• Bunga Rafflesia Jenis Tuan-mudae Terbesar Mekar di Agam Sumbar
Menakar Pariwisata Dharmasraya
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Sumatera Barat melalui Bandara Internasional Minangkabau (BIM) bulan Oktober 2019 mencapai 5.276 orang. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 18,96 persen dibanding wisman September 2019 yang tercatat sebanyak 4.435 orang.
Bila dibandingkan dengan bulan Oktober 2018, wisman bulan Oktober 2019 mengalami kenaikan sebesar 30,27 persen. Wisman bulan Oktober 2019 ini memberikan kontribusi sebesar 0,39 persen terhadap total wisman yang berkunjung ke Indonesia (Wisman Nasional 1.354.396 orang).
Berdasarkan catatan BPS tersebut, Malaysia menduduki peringkat pertama untuk asal kebangsaan para wisman yang berkunjung ke Sumatera Barat, yakni 4.271 orang pada Oktober 2019.
Potensi ini mesti dimaksimalkan Pemerintah Dharmasraya secepatnya. Mengingat, antara Malaysia dengan Sumatera memiliki keterikatan sejarah. Bagaimana kekuasaan Kerajaan Melayupura Dharmasraya dulunya mencapai Semenanjung Malaka.
Terkait hal ini, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Dharmasraya, Benny Mandala Putra mengaku pihaknya memang sedang fokus menggarap potensi pariwisata Dharmasraya, khususnya Wisata Sejarah dan Budaya.
Dia menjelaskan saat ini pihaknya mensosialisasikan dengan total soal pengembangan destinasi wisata Dharmasraya.
“Karena masyarakat di sini rata-rata berprofesi sebaga petani sawit dan karet. Sehingga hasilnya tentu lebih banyak ketimbang menjadi insan pariwisata. Tapi kita tetap melakukan pendekatan-pendekatan melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang tersebar di 11 Kecamatan. Bahwa jika kedua aktivitas ini berjalan selaras tentu akan sangat menguntungkan bagi mereka,”kata Dia kepada tribunpekanbaru.com, Jumat (27/12/2019).
• Balas Pendapat Menteri PUPR, Anies Baswedan Sebut Harus Ada Pengendalian Air dari Bogor
• INFO BEASISWA Pemprov Riau 2020, Beasiswa S2 untuk Dalam dan Luar Negeri, Ada Beasiswa Bidik Misi S1
Benny mengakui untuk membangun ekosistem pariwisata yang baik membutuhkan waktu yang cukup lama. Mulai membangun kesadaran masyarakat hingga pembangunan infrastruktur pendukung.
Meski begitu, pihaknya telah menyelenggarakan beberapa iven pariwisata, seperti tour de singkarak, lomba dayung sampan, lalu diikuti berbagai macam festival. Sementara untuk destinasi wisata, Dharmasraya memiliki Gunung Medan, arena paralayang dan arung jeram.
“Yang terbaru ialah Festival Pamalayu yang telah dimulai pada Agustus silam dan diluncurkan di Museum Nasional. Lalu diikuti berbagai event seperti Talkshow, Arung Pamalayu yang diikuti 100 perahu hias menyusuri Sungai Batang Hari dari Jembatan Kabel hingga ke Candi Pulau Sawah dan beraneka ragam perlombaan. Sementara untuk puncak acara akan dimulai pada 2 hingga 7 Januari di Candi Padang Roco. Pada acara ini akan dipamerkan sejumlah artefak-artefak kuno, penampilan kesenian tradisional dan pada malam puncaknya ada penampilan artis Ibukota,”kata Benny menjelaskan.
Dia mengatakan Festival Pamalayu ini akan menjadi titik awal pembangunan pariwisata Dharmasraya. Pasalnya, Festival Pamalayu telah ditetapkan sebagai agenda tahunan dan masuk ke kalender pariwisata Sumatera Barat.
Pegiat dan Pemerhati Budaya Dharmasraya, Bustanol mengapresiasi langkah pemerintah untuk menggiatkan potensi Pariwisata Dharmasraya. Menurut Dia, Dharmasraya memang memiliki keunggulan untuk wisata sejarah budaya.
“Dharmasraya merupakan Ibukota Kerajaan Melayupura dulunya. Tentu banyak sejarah yang menarik untuk digali dan diketahui oleh wisatawan. Lalu, keberadaan kerajaan-kerajaan yang masih eksis hingga sekarang di sini juga menarik untuk dikenalkan kepada masyarakat luas,”paparnya.
Kemudian, lanjut Bustanol, keberadaan Sungai Batang Hari juga semestinya bisa dimaksimalkan untuk mengadakan acara-acara pariwisata. Seperti menyusuri Sungai Batang Hari dengan Speed Boat lalu menyuguhkan ragam kuliner di sepanjang pesisir Sungai Batang Hari.
“Kurang lebih dikemas seperti yang ada di Sungai Musi di Palembang,”ucap Dia.
Pemuda yang aktif di berbagai organisasi dan menulis di beberapa media ini juga menekankan perlunya pembangunan sebuah Museum. Selain dapat menyimpan berbagai temuan arkeologis, keberadaan Museum menurutnya juga menarik kedatangan para wisatawan, khususnya para turis.
“Sehingga, Dharmasraya tidak hanya memanjakan mata para wisatawan tetapi juga memberikan pengetahuan baru bagi mereka,”pungkas Dia.
• Tak Mau Mengungsi Saat Banjir, Warga Lebak Ini Ditemukan Tewas
• TERBONGKAR Cara Licik Pegawai Pemprov Riau Tipu Wakil Gubernur, Berawal dari Disipilin Mantan Danrem
Pangsa Pasar Wisata Heritage
Salah satu organisasi dunia yang fokus pada bidang pelestarian peninggalan sejarah, The National Trust mendefinisikan Wisata Heritage atau pariwisata warisan sebagai suatu aktivitas perjalanan mengunjungi tempat sejarah peradaban yang secara otentik mewakili cerita orang-orang dari masa lalu dan masa kini yang mencakup segala aspek, seperti budaya, sejarah dan alam.
Berdasarkan berbagai penemuan dan literatur yang ada, maka sektor wisata heritage ini cocok untuk dikembangkan di Dharmasraya.
Menyoal pangsa pasar wisatawan heritage ini, Peneliti Carolyn Childs menulis hasil risetnya mengenai perkembangan wisata heritage dunia melalui situs mytravelresearch.com.
Dia menulis sebuah survei baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden yang disurvei setuju bahwa sejarah dan budaya memiliki pengaruh kuat terhadap pilihan tujuan liburan mereka.
Wisatawan jenis ini, katanya biasanya mengunjungi atraksi warisan budaya, mulai dari bangunan dan objek wisata bersejarah lainnya, situs arkeologi, galeri seni atau museum, konser, drama, situs warisan etnik atau ekologi, dan atraksi sejenisnya.
Para pelancong ini mengatakan bahwa perjalanan ini lebih berkesan daripada perjalanan liburan konvensional karena memungkinkan mereka untuk mempelajari sesuatu yang baru.
Statistik juga menunjukkan bahwa jenis wisata ini terus tumbuh dengan cepat, terutama di wilayah OECD dan APEC (termasuk Indonesia).
“Kami memperkirakan nilai global langsung dari Wisata Heritage ini menjadi lebih dari 1 miliar dollar US, dengan nilai wilayah Asia Pasifik sekitar 327 juta dollar US. Angka ini sudah bertanggung jawab langsung untuk lebih dari 50 juta pekerjaan di negara-negara APEC,” tulis Dia.
Menariknya, wisatawan heritage ini tinggal lebih lama dan menghabiskan lebih banyak uang secara umum daripada wisatawan lain. Faktanya, satu penelitian menunjukkan bahwa turis heritage menghabiskan pengeluaran 38% lebih tinggi per hari dan mereka tinggal 22% lebih lama dibandingkan dengan wisatawan jenis lain.
“Jadi itu sebabnya kami pikir Wisata Heritage ini sangat penting meningkatkan pemasukan ekonomi suatu Negara dan daerah. Destinasi ini harus berupaya memaksimalkan peluang-peluang yang telah ditawarkan,”tuntas Carolyn. (tribunpekanbaru.com/firmaulisihaloho)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/candi-padang-roco.jpg)