Bocah 9 Tahun Hidupi 2 Adiknya Tinggal di Pondok Kebun Tanpa Listrik,Ayah Merantau Ibu Gangguan Jiwa
Untuk mendapatkan uang Kris bekerja memetik kopi di kebun warga. Upah dari memetik kopi itu lah yang ia gunakan untuk membeli beras.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Cerita sedih menimpa kakak beradik asal Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masa kanak-kanak yang identik dengan keceriaan kini berubah menjadi penuh kerja keras.
Bocah 9 tahun di Nusa Tenggara Timur (NTT) berikut ini justru menjadi tulang punggung untuk dua adiknya yang masih kecil.
• Sudah Cek Rekening? 212.044 Pekerja di Pekanbaru Terima Bantuan Subsidi Upah Rp 600 Ribu Per Bulan
Hal ini dikarenakan tak pernah ada kabar lagi tentang ayahnya yang merantau hingga sang ibu alami gangguan jiwa sejak ditinggal ayahnya merantau.
Dilansir dari Kompas.com (TribunJatimcom Network ), ayahnya tak ada kabar setelah pergi merantau.
Sementara sang ibu mengalami gangguan jiwa sejak sang ayah pergi meninggalkan mereka pada tahun 2017 silam.
Sang ibu juga pergi meninggalkan rumah sambil membawa si bungsu.
Kris sebenarnya adalah anak kedua dari lima bersaudara. Mereka sempat tinggal bersama dengan neneknya di Kampung Woewali Desa Were 1, Kecamatan Golewa.
• VIDEO: Sebulan Hampir 40 Kg Sabu Diamankan Ditresnarkoba Polda Riau
Namun setelah sang ibu ganguan jiwa, mereka memilih tinggal di kebun milik ayahnya. Sementara sang kakak pertama yang berusia 12 tahun mencari nafkah di Kota Bajawa.
Otomatis sebagai anak paling tua di rumah, ia harus menghidupi dua adiknya.
"Sejak bapak dan mama mereka meninggalkan mereka, si Kris yang umur 9 tahun jadi tulang punggung mereka," ungkap Jeremias F Bhobo, pemerhati sosial Ngada, Selasa (25/8/2020).
Untuk mendapatkan uang, Jeremias F Bhobo bercerita, Kris bekerja memetik kopi di kebun warga. Upah dari memetik kopi itu lah yang ia gunakan untuk membeli beras.
• WADUH, Kasus Terkonfirmasi Positif Covid-19 di Kabupaten Siak Riau Bertambah 7 Orang
Mereka bertiga tinggal di pondok kecil di sebuah kebun tanpa ada orang dewasa sejak tiga tahun terakhir.
Pondok mungil tersebut tak ada listrik. Saat malam hari mereka mengandalkan lampu pelita untuk penerangan.
Setelah orangtuanya pergi, Kris dan Yoan otomatis putus sekolah karena tidak ada yang membiayai.
"Saat saya tanya, apakah ada kemauan mau lanjut sekolah, mereka bilang pasti mau asalkan ada yang membiayai," ungkap Jeremias F Bhobo.
